Entah kenapa setelah melalui semua ini, Vita mulai merasa ragu. Ragu jika nanti kebahagiaan memang benar-benar tak akan pernah didapatnya saat hidup dengan Radit nantinya.
Setelah pertemuan pertama yang menyebalkan itu, Vita bahkan tak bertemu lagi dengan Radit. Bahkan berkomunikasi via telpon atau sms pun tak pernah karena mereka tidak mempunyai nomor telpon masing-masing. Hubungan mana yang bisa bertahan tanpa komunikasi yang baik?
Vita menghela napasnya, meskipun merasa ragu namun ia sudah melewati ini semua hampir setengah perjalanan. Ia tak bisa menyerah begitu saja. Sudah kepalang tanggung. Dan ia yakin Radit juga tak akan melepaskannya begitu saja. Khas seorang laki-laki dominan yang mempunyai tujuan khusus, seperti dalam novel-novel romantis kesukaannya.
Perempuan bermata bulat itu berhenti mengaduk ketiga cangkir berisi teh hangat itu. Lalu mulai melangkahkan kakinya ke arah depan, menemui adik dan bundanya.
Hari ini memang hari minggu pagi yang ceria, waktu untuk semua keluarga berkumpul dan bersantai. Dan seperti kebiasaan keluarganya, seluruh keluarga akan minum teh hangat di ruang tamu. Andai saja ayah masih ada, mungkin pagi ini akan lebih bermakna. -bisik Vita dalam hati.
"Lagi pada ngapain nih?" Sapa Vita pada bunda dan adiknya yang sedang bersantai di ruang tamu.
"Ini nih Vina lagi minta diajarin perkalian susun, Vit. Padahal bunda lagi pusing." Keluh bunda sambil memijit pelipisnya.
"Bunda nggak apa-apa? Kita ke dokter aja ya." Vita segera meletakkan nampan berisi cangkir-cangkir itu lalu duduk di samping bundanya. Perempuan itu ikut memijit tengkuk sang bunda.
"Sudah. Bunda itu nggak apa-apa. Ajarin aja adekmu itu. Kasihan dia, besok dia akan ujian akhir semester tapi dia masih belum mahir perkalian." Bunda mengusap bahu Vita.
"Ya sudah. Sini yuk belajar sama kakak." Vita mulai ikut duduk di lantai dekat adiknya yang membuka bukunya di atas meja ruang tamu itu.
"Yang ini nih kak. Susah banget. Banyak nol nya." Vina mengetuk-ngetukkan pensilnya pada pinggiran buku.
"Kalau begini, nol nya dicoret aja dulu, seperlunya. Baru dikalikan secara susun, kayak gini. Coba dulu deh, pasti nanti ketemu jawabannya." Vita memberi sebuah contoh pada Vina lalu menyuruh adiknya itu untuk mencoba satu soal untuk dikerjakannya sendiri. Mata cokelat itu menatap sang adik dengan sepenuh rasa bangga, rupanya Vina cepat belajar. Seluruh kesulitan yang dialaminya saat mengumpulkan uang untuk biaya sekolah adiknya, sepertinya tak sia-sia. Ia berjanji dalam hati akan membiayai sekolah Vina sampai setinggi mungkin.
Tok... tok... tok...
Vita yang sebelumnya sedang asyik mengajari Vina perkalian susun dengan ditunggu oleh bunda kemudian terkejut mendengar suara ketukan pintu dari depan rumah.
"Permisi." Terdengar suara berat khas lelaki dari luar. Namun suara itu lebih terdengar bersahabat daripada suara lelaki yang biasanya menghampiri rumahnya akhir-akhir ini. Suara debt-collector.
"Duh, kayaknya debt-collector lagi deh Vit. Mana bunda lagi belum punya uang." Bunda meremas-remas jarinya, mulai ketakuatan.
"Masa sih bun? Kok debt-collector sopan banget gitu kedengarannya? Biasanya kan langsung gedor-gedor gak karuan." Vita menyangkal. Merasa sangsi atas apa yang diucapkan bundanya barusan.
"Yaudah deh, bunda cek dulu." Bunda mulai beranjak dari sofa.
"Iya bun." Vita memeluk bahu Vina yg sedikit ketakutan. Hatinya teriris melihat adiknya harus mengalami fase kehidupan yang seperti ini. Vina memang sering takut liat wajah debt-collector yang umumnya berwajah sangar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fly Me to the Heart (Pindah Dreame Dengan Judul yang Sama)
Fiksi UmumSetiap gadis pasti selalu bermimpi bisa menikah dengan prajurit negeri dan hidup bahagia selamanya seperti dalam dongeng. Namun benarkah menikah dengan abdi negara itu menyenangkan? Menurut seorang penulis lepas bernama Vita, itu bukanlah hal yg mem...