"Mahacintabrata" adalah serial novel modern bagi penyuka wayang atau siapa pun yang ingin tahu tentang seni warisan budayawan Indonesia ini. Kisah pewayangan akan diceritakan dengan bahasa yang sangat menarik dan mudah dicerna, sehingga membuat pemb...
(Ilustrasi: Bisma berdialog dengan Setyawati di tepi Sungai Yamuna, dalam kisah lain versi.)
Kepanikan terpancar di wajah Bisma mendengar berita yang mengejutkan tersebut. Raja Wicitrasena, harapan terakhir pemegang tahta Hastinapura yang sah tengah sakit keras padahal baru beberapa waktu yang lalu melangsungkan pernikahan. Terbayang pula oleh Bisma bagaimana sedihnya perasaan Ibu Ratu Setyawati, harus kembali menghadapi risiko kehilangan anaknya untuk kali kedua.
Amba pun terhenyak. Terlalu banyak peristiwa penting yang terjadi belakangan ini dan seakan itu belum cukup baginya. Sekarang tampaknya Bisma harus segera kembali ke Hastinapura, lalu bagaimana dengan dirinya? Apakah Amba harus mengikuti Bisma? Atau tetap menunggu di Kasi? Belum hilang pula rasa lelah dari perjalanan panjang sejak beberapa hari sebelumnya, sehingga pasti ayahnya, Prabu Kasindra, pasti akan memaksanya untuk diam dan beristirahat di istana Kasi.
Bisma tersadar dan menatap Amba bimbang. Amba balas menatap penuh arti, lalu berkata, "Pergilah, Kanda, pulanglah segera ke Hastinapura. Kirimlah kabar untuk kami di sini nanti dan mudah-mudahan Raja Wicitrasena segera sembuh."
Bisma terdiam beberapa saat karena kepalanya penuh dengan berbagai pikiran akibat kejadian-kejadian terakhir, sebelum akhirnya hanya bisa berucap pelan, "Terimakasih, Amba."
Raja Kasindra pun tak kuasa menahan kepergian Bisma yang segera, walaupun hatinya masih mengkhawatirkan masa depan dan nasib Amba, yang pada akhirnya diketahuinya bahwa hubungan Amba dan Raja Salwa memang benar-benar berakhir. Raja Kasindra terus membujuk Amba untuk menceritakan perjalanannya bersama Bisma, hingga Amba tak mampu menolak permintaan ayahnya. Pada akhirnya Raja Kasindra pun harus mengerti akan rumitnya hubungan antara putrinya dengan Bisma.
Bisma melajukan kudanya secepat kilat menuju Hastinapura, tanpa menghiraukan rasa lelah dari perjalanannya yang seolah tanpa henti selama beberapa waktu terakhir ini. Dan bila dipikir-pikir lagi, apakah tujuan perjalanannya itu? Serasa mengejar sebuah sesosok bayangan yang terus-menerus muncul di lembah pikirannya sepanjang waktu. Sosok seseorang yang menunjukkan suatu ruang kosong, ruang yang selama ini tidak pernah disadari keberadaannya di dalam hati Bisma. Dan sosok itu pun sudah menempati ruang kosong itu, kemudian menghiasnya dengan keindahan dan kebahagiaan yang sungguh bisa dirasakan oleh Bisma. Kini sosok itu telah jelas dan tampak bagi Bisma, tidak lain dan tidak bukan tentunya dia adalah Putri Amba.
Namun saat ini tidak tepat memikirkan itu, karena Hastinapura di ambang bencana. Raja Wicitrasena tengah sakit keras dan bila hal terburuk terjadi, kekosongan tahta akan melanda Hastinapura. Dan Bisma tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi tanpa kehadirannya untuk membantu beban dan tugas mengatur negara, bersama Ibu Ratu Setyawati. Dan entah bagaimana perasaan Setyawati bila harus kehilangan putranya lagi, Bisma pun sangat mengkhawatirkannya.
Sementara di Hastinapura, Raja Wicitrasena yang sakit keras terus memburuk kondisinya. Kesedihan melanda seluruh kerajaan, terutama di lingkungan istana tentunya. Ibu Ratu Setyawati yang paling sedih, karena harus kembali menghadapi risiko kehilangan putranya, sang penerus tahta kerajaan yang diwariskan Palasara dan Santanu kepadanya. Begitu juga kedua permaisuri, Ambika dan Ambahini, yang baru saja merasakan pernikahan tetapi kini hanya bisa menyaksikan suaminya teronggok tak berdaya di tempat tidur, bahkan seringkali seperti kehilangan kesadaran.
Bisma pun tiba di istana Hastinapura dan langsung menghampiri Wicitrasena untuk melihat keadaannya. Matanya seakan tak percaya melihat adiknya yang beberapa hari lalu ditinggalkannya dalam kondisi segar bugar dan suka cita layaknya pengantin baru, tetapi kini terbaring lemah dan tampak bagaikan di antara hidup dan mati. Ibu Ratu Setyawati menyambut kedatangan Bisma tanpa kuasa menahan tangis dan memeluk putra tirinya itu penuh kesedihan.
"Maafkan ibunda memanggilmu untuk segera kembali kesini, Bisma," ucap Setyawati terisak.
"Sudah seharusnya ibunda memanggilku, melihat kondisi Wicitrasena seperti ini," jawab Bisma. "Ibunda tidak usah mengkhawatirkanku, aku sudah ada di sini dan mari kita berusaha bersama-sama menyembuhkan Wicitrasena."
"Tidak ada tabib dan obat yang bisa menyembuhkan Wicitrasena, Bisma. Ibunda sudah tidak tahu harus melakukan apa lagi."
Bisma bisa merasakan keputusasaan ibunya, karena seolah-olah beban tahta kerajaan sewaktu-waktu bisa kembali kepada ibunya bila Wicitrasena wafat.
Dan ternyata Prabu Wicitrasena tidak kunjung membaik hingga akhirnya wafat beberapa waktu kemudian, meninggalkan kedua permaisuri tanpa memberi anak sebagai putra mahkota penerus tahta kerajaan. Duka pun menyelimuti istana dan kesedihan mendalam dialami Ibu Ratu Setyawati. Karena untuk kedua kalinya harus ditinggalkan putranya, ditambah walau yang sudah bertahta tetapi keduanya tidak meninggalkan putra mahkota. Dan kini Hastinapura dihadapi kekosongan tahta dan kebingungan karena belum ada putra mahkota yang disiapkan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setyawati dan Bisma pun harus mengambil langkah selanjutnya untuk menentukan nasib Hastinapura. Walaupun duka cita masih kental terasa dalam perasaan masing-masing, tapi kewajiban kepada negara dan rakyat tetap harus dilaksanakan.
"Bisma, anandalah yang ibunda paling harapkan bisa meneruskan tahta Hastinapura..." ucap Setyawati pasrah. "Aku sudah pasrah pada takdir Dewata, yang ternyata menghentikan garisan Dewata sendiri yang menjanjikan keturunanku nanti akan terlahir menjadi raja-raja terhebat di dunia..."
"Ibunda, aku sudah menduga bahwa ibunda akan berkata seperti itu..." sahut Bisma. "Tetapi aku sudah terikat sumpah dan sesungguhnya pula bahwa tahta Hastinapura bukanlah hakku. Tentu ibunda pun sudah menyadari hal tersebut, mengingat sejarah yang kita ketahui bersama."
Setyawati termenung, lalu berkata, "Aku tidak mungkin bisa memberikan keturunan lagi, ananda. Janganlah ananda meminta hal yang tidak kuingini..."
Bisma pun termenung dan berpikir keras, sebelum akhirnya mengutarakan sesuatu, "Maafkan aku, ibunda, tetapi aku mohon izin untuk mengunjungi putra ibunda, saudaraku Abiyasa, dan ayahanda Palasara di perguruan Saptarengga."
Setyawati terkejut dan bertanya, "Apa yang ananda kehendaki dari mereka? Tentunya tidak mungkin pula ananda Abiyasa berkenan menjadi raja di Hastinapura, serta kanda Palasara tidak akan mengizinkan hal itu terjadi."
"Aku hanya akan meminta nasihat dari kearifan kanda Abiyasa dan ayahanda Palasara, tentunya bila mereka mengetahui keadaan saat ini, mereka akan membantu dan memberi dukungan pada kelangsungan nasib Hastinapura. Bila ibunda mengizinkan, aku segera berangkat ke Saptarengga."
Setyawati merenungkan sejenak penjelasan Bisma, lalu berkata, "Baiklah, ananda. Aku berharap sekembalinya ananda dari sana, nasib Hastinapura akan lebih jelas."