BAGIAN 6. KUPANAH KAU DENGAN AMARAH ... ATAU ASMARA?

1.3K 110 13
                                    

(Ilustrasi: Bisma, disebut juga dengan nama Dewabrata.)

Bisma dan Amba beberapa saat hanya terdiam, tetapi keduanya tidak bergeming untuk beranjak dari tempatnya berdiri. Kemudian Amba menatap berkeliling lapangan, dia agak terkesan melihat tempat latihan yang tampak mewah dan lengkap, tidak seperti yang dilihatnya di Kasi.

"Tampaknya Tuan Putri terkesan dengan tempat latihan ini?" tanya Bisma yang memperhatikan ketertarikan Amba, mulai membuka percakapan.

Amba pun menoleh kepada Bisma dengan gerakan cepat, mengakibatkan rambutnya agak terayun dan tergerai indah bagai buih ombak samudra di mata Bisma. Mungkin sedikit rasa rindu telah tumbuh di hati Bisma gegara sikapnya sendiri yang selama ini justru malah menghindari Amba sejak pembicaraan malam itu.

"Oh, mungkin iya, Tuan Bisma," jawab Amba. "Sepertinya tempat latihan ini tidak sebanding dengan yang kami miliki di Kasi. Aku tidak bisa membayangkan kemahiran memanah seorang ksatria yang bisa menguasai tempat latihan sebagus dan seluas ini. Ksatria itu tentunya sangat cakap dan sakti, serta tentunya berjiwa pemberani."

Hati Bisma agak panas mendengar kalimat terakhir Amba yang bernada sindiran. Diraihnya sepucuk anah panah dan busurnya yang tersedia di rak tempat berlatih.

"Silakan Tuan Putri memilih sasaran mana yang ingin dibidik, aku akan coba menunjukkan seperti apa kemahiran para ksatria Hastinapura yang berlatih di sini," tantang Bisma.

Amba menunjuk sasaran yang paling jauh, tentunya dengan sengaja untuk menguji Bisma. Bisma pun segera merentangkan busur dan membidiknya sesaat. Anak panah pun dilesatkan dengan kecepatan tinggi kemudian melayang menancap tepat di tengah lingkaran sasaran. Amba memicingkan mata mencoba melihat hasil bidikan Bisma. Tetapi jarak yang terlalu jauh membuatnya tidak terlihat jelas.

"Aku tidak bisa melihatnya, Tuan Bisma, entah tepat sasaran atau meleset," ucap Amba. Bisma meraih lagi beberapa anak panah, lalu dilesatkannya lagi satu per satu ke arah sasaran yang sama. Kesemuanya pun menancap tepat di sekitar titik tengah sasaran. Begitu terus menerus. Sehingga Amba mulai bisa melihat kumpulan anak panah yang menancap seperti sebuah lingkaran hitam di tengah sasaran. Amba diam-diam berdecak kagum melihat kemahiran Bisma. Kekaguman yang sudah mulai tumbuh sejak pertama kali dia melihat keperkasaan Bisma saat sayembara di Kasi. Tetapi kekesalan Amba pada Bisma belum hilang sepenuhnya. Saat Bisma masih terus memanah dia tiba-tiba berjalan ke depan beberapa langkah lalu membalik badan menghalangi arah bidikan Bisma. Bisma pun terkejut dan serta-merta menahan rentangan busur panahnya.

"Tuan Bisma tentunya tidak akan kesulitan membidikan panah padaku dengan jarak sedekat ini!" seru Amba. "Ketahuilah bahwa aku sudah putus asa dan rela mati sejak kedatanganku ke Hastinapura, dan hanya Tuan Bisma yang tahu alasannya tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi silakan panahlah aku, Tuan Bisma!"

Bisma terkejut dan memandang wajah Amba dengan tegang, ketegangan yang justru tidak pernah dialaminya dalam pertarungan. Sementara Amba masih diam berdiri beberapa langkah di hadapan Bisma, menunggu reaksi Bisma. Bisma akhirnya membuang busur dan anak panah dari genggamannya ke tanah. Melihat itu, Amba lalu berjalan mendekati Bisma.

"Ah, aku sudah yakin dari awal bahwa Tuan Bisma memang ksatria yang sangat cakap dan pemberani," ucap Amba. "Maafkan karena aku tidak bermaksud meragukan kesaktian Tuan Bisma ataupun para ksatria Hastinapura. Tetapi tolong terus terang, mengapa Tuan Bisma menghindariku sejak malam itu?"

Bisma tertegun sejenak, lalu berkata, "Sebenarnya perkataan Tuan Putri ada benarnya, bahwa kesaktian tidak selalu disertai jiwa ksatria terutama bila disisipi keinginan untuk menyombongkan diri yang justru akan menimbulkan rasa bersalah di kemudian hari. Akhirnya aku menyadari saat Ibunda Setyawati menegurku karena aku menantang peserta sayembara di Kasi dan melarikan Tuan Putri beserta adik-adik ke sini. Aku juga harus memohon maaf terutama kepada Tuan Putri Amba."

MAHACINTABRATA SUKMA WICARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang