"Afa bangun, sudah jam berapa ini? Afa ini anak gadis tapi bangunnya paling susah!" Ucap seorang wanita yang paling galak dirumahku. Iya, Bunda.
"Afa, Hei! Bangun ini tuh udah jam 6 pagi. Mau berangkat jam berapa ke sekolah?! Lihat itu Kakak dan Adik mu sudah siap di meja makan dan kamu aja masih belum bisa melepaskan diri dari selimut mu itu!" Bunda terus berdering layaknya alarm. Dia terus saja menggoncang-goncangkan tubuhku yang tergulai lemah diatas tempat tidur.
"Iya Bunda, Afa bangun..." aku menaikkan tubuh ku. Kau harus tau, rasa-rasanya ada beban seberat 5 ton yang menimpa tubuhku ini, tapi kalau aku tidak bangun, Bunda tidak akan berhenti mengoceh. Aku mengusap-usap mataku. Mengacak-acak rambut ikal panjang sepunggung ku yang sudah kusut. Menguap beberapa kali dan duduk terdiam. Mengumpulkan kekuatan dan nyawaku.
Aku menoleh ke arah jam dinding, dan silahkan kau tebak jam berapa sekarang. Jam 4 pagi. Gila. Sangat gila.
Bunda memang seperti itu. Terkadang aku masih sempat tertipu karna ocehan Bunda. Dengan malas-malasan aku keluar dari kamarku. Aku pergi melihat ke kamar Deza dan Kawi, kebetulan mereka sekamar di rumahku. Hanya berbeda ranjang saja. Dan benar saja. Mereka berdua masih tertidur. Dengan nyenyak. Dengan pulas. Lengkap dengan sedikit dengkuran kecil di sela-sela tidur mereka. Sepertinya kau sudah bisa menyimpulkan sendiri seperti apa menyebalkannya Bunda.
•―――•
•―――•
•―――•
"Bun, nanti mulai minggu depan Afa ada ekskul tari saman tiap hari ya" Ucapku di meja makan memecah suasana.
"Lho? Kok jadi tiap hari? Kemaren Afa udah saman hari Kamis. Bukannya samannya Selasa sama Kamis aja? Jadi hari Jumat ini mau saman lagi?" Balas Bunda yang mengajukan pertanyaan beruntun layaknya wartawan. Dia masih sibuk mengoleskan selai di roti untuk Deza dan Kawi. Mereka berdua memang tukang makan. Terlebih-lebih Kawi. Ini sudah roti ke 4 untuk mereka. Sementara aku butuh tenaga ekstra untuk menghabiskan roti ke 2 ku ini. Tapi yang aku heran, meskipun mereka berdua tukang makan badan mereka tidak melar. Bahkan ideal seperti biasa. Sedangkan aku, makan agak banyak beberapa hari saja berat badanku bisa naik sampai 5 kg.
"Itu lho Bun, kan sekolah Afa mau ada event gitu. Jadi nanti ekskul saman itu ngisi acara disana, jadi Afa ikut ngisi event itu latihan intensifnya mulai minggu depan, bukan hari Jumat ini" ucapku.
"Oh, Yasudah" Bunda menjawab. "Eza, Awi cepat berangkat sekolah. Nanti terlambat" Kata Bunda pada Deza dan Kawi.
"Iya Bun. Awi pergi dulu ya. Defa mau sama Deza atau sama Kawi?" Ucap Kawi padaku.
"Sama Kawi aja deh. Deza bilang kemaren dia mau nyampe di sekolah lebih awal." Ucapku. Mereka berdua memang pergi kesekolah naik sepeda motor. Dan kebetulan, sekolahku searah dengan sekolah mereka berdua. Bedanya, sekolah Deza akan searah dengan sekolah ku lewat jalur belakang. Kalau sekolah Kawi akan searah dengan sekolah ku jika lewat jalur depan. Jadi aku bebas memilih mau diantar oleh siapa pada pagi hari.
Tunggu, Aku ingin menjelaskan kenapa Aku memanggil 'Reza Trianta Muflih,' dan 'Alwi Vitofa Rizal' menjadi 'Deza' dan 'Kawi'. Jadi, Deza adalah singkatan dari Dek Reza. Sama halnya dengan Kawi, Kak Alwi. Akupun mendapat predikat yang sama dari mereka. 'Defa' dan 'Kafa'. Iya, Dek Afa, dan Kak Afa. Itu sudah menjadi panggilan kami sejak dulu. Dan itu masih berlaku sampai sekarang. Aku juga sampai sekarang masih belum mengerti siapa yang mencetuskan hal ini. Intinya, nama ku di keluarga kecilku ini menjadi 3. Afa, Defa, dan Kafa.
•―――•
•―――•
•―――•
"Nad, Pr Geografi udah belum? Gue liat dong. Lo pasti udah kan?" Kata perempuan berambut lurus pendek sebahu yang lebih tinggi kurang lebih sekitar 3 cm dariku. Geni. Dia adalah teman sebangku, teman ke kamar mandi, teman ke kantin, teman nyontek, teman curhat, dan teman semenjak awal MOS.
Aku akan menjelaskan sedikit tentang Geni. Dia punya nama lengkap Genisha Kemala Putri. Kulitnya putih, lebih putih dariku. Padahal dirumah, aku sudah menyandang predikat paling putih. Wajahnya seperti orang jepang. Hidung mancung, matanya agak bulat tetapi akan menjadi garis jika dia tertawa. Lalu pipinya agak kemerahan. Sudah jelas dia cantik. Semenjak hari pertama MOS aku sudah mengenal Geni. Aku juga sudah berpikir bahwa aku dan Geni akan menjadi teman yang baik. Aku sangat berharap bisa sekelas dengan dia, kelihatannya akan sangat menyenangkan dengan orang seperti Geni. Dan ternyata itu semua menjadi kenyataan.
"Ambil aja di tas, di tempat biasa" Ucapku sambil meletakkan tas di atas meja. Dan Geni langsung merogoh isi tasku. Aku keluar dan lari menuju kamar mandi karna daritadi hasrat ku untuk pipis sudah berada di ujung tanduk. Untung aku masih mempunyai urat malu. Jika tidak, aku pasti tidak akan segan untuk melepaskan pipis ku di atas motor Kawi tadi.
•―――•
•―――•
•―――•
"Nad, mau kekantin gak?" Ucap Geni disaat bel istirahat pertama sudah berbunyi. "Eh ikuuut!" celetuk Tisha. Selain dekat dengan Geni, aku juga dekat dengan Tisha. Begitu juga Geni. Dia juga dekat dengan Tisha.
Baiklah, aku akan menjelaskan tentang Tisha. Awal masuk sekolah, aku sangat tidak suka dengan perempuan dengan nama panjang Tishara Vania Renigh ini. Dia terlalu jutek tetapi bawel. Maksudku, jika ingin jutek ya jutek saja. Jika ingin bawel ya sudah, bawel saja. Permasalahannya, 'jutek dan bawel tidak akan pas jika dijadikan satu dalam sifat manusia'. Itu pemikiranku sebelum aku mengenal Tisha. Kali ini pemikiran ku berubah. Entah kenapa, aku bisa menghilangkan pemikiran ku tadi.
Tisha punya rambut sebahu yang bergelombang. Hidungnya kecil mungil dan agak pesek. Tetapi hidungnya itu yang membuatnya menjadi lucu dan manis. Menurutku. Dia lebih pendek dariku. Matanya agak sipit. Dan dengan matanya, Tisha dapat melancarkan aksi 'sinis'nya ke semua orang.
"Iyaudah, tungguin gue. Bentar lagi catetannya selesai kok" Aku menjawab tanpa menoleh ke mereka berdua dan terus melanjutkan catatan fisika ku. Sebenarnya bisa saja ku foto catatan yang ada di papan tulis itu dan ku salin di rumah. Tetapi pertanyaanya. Apakah aku mau menyalinnya? Jawabannya tentu tidak.
"Nada Zharfa Fabiola... buruan dong elah lama banget si" Geni mulai kesal, dia menekan nada bicaranya pada kata 'buruan'. "Buru elah. Sok-sok rajin lu, nyatet dirumah aja si. Duluan deh kita" Timpal Tisha. Dia langsung menggandeng tangan Geni keluar kelas dan meninggalkan ku.
"Iya iya, ini udah selesai. Elah jahat banget si pada ninggalin!" aku langsung menutup buku ku. Lalu sedikit berlari mengejar mereka berdua yang terus berjalan di depan ku.
Oh iya aku lupa menceritakan ini, kalau dirumah nama panggilan ku adalah 'Afa', 'Defa', atau 'Kafa' diambil dari nama Zharfa. Maka di sekolah nama panggilanku adalah Nada. Nama 'Afa', 'Defa', dan 'Kafa' hanya panggilan khusus untuk Ayah, Bunda, Deza dan Kawi saja.
•―――•
•―――•
•―――•
First chapter and i hope u like it, guys!
-ichaedh.
KAMU SEDANG MEMBACA
BOYFRIEND Or BOY FRIEND
Short StoryLebih baik yang mana? Kehilangan kekasih mu? Atau kehilangan sahabat mu? Iya, aku yakin kau pasti menjawab tidak keduanya. Atau bahkan, lebih baik kehilangan salah satunya. Tapi satu hal yang perlu kau tau. Aku akan lebih memilih kehilangan keduanya...