Chapter 4

110 18 0
                                    

Mataku terbuka tiba-tiba. Aku sangat lelah hari ini. Kuputuskan untuk terlelap di bawah selimutku tepat disaat aku mengetahui Rio ternyata selama ini menyukai ku.

Ku lihat jam dinding ku yang berwarna hijau tertempel di dinding yang di cat hijau juga. Masih menunjukan pukul 2 pagi. Berarti aku sudah tertidur 5 jam lamanya.

Aku hanya terduduk diam dengan rambut panjangku yang kusut. Entah apa yang ada di pikiran ku saat ini. Coba kau bayangkan. Aku baru saja mendapat status baru sebagai pacar Difa, namun di hari yang sama juga aku bisa saja kehilangan status sahabat ku dengan Rio.

Aku benar benar tidak mengerti. Aku terus memandang kosong kearah depan. Aku benar-benar tidak tau apa yang harus aku lakukan. Jika saja Rio mengatakan ini lebih awal. Aku pasti tidak akan menerima Difa. Tidak akan. Tapi itu bukan berarti aku akan membalas cinta Rio juga.

Aku berjalan ke arah kamar mandi yang berada di sisi kanan dalam kamar ku. Aku melangkahkan kaki kearah kaca. Menekan saklar lampu yang berada di sebelah kiri pintu. Lalu menghidupkan keran air di wastafel. Dan membasuh lembut wajah ku.

Hanya satu pertanyaan yang ada di pikiran ku saat ini. Apakah aku kuat untuk menjalani ini? Akan sangat sulit rasanya jika Rio juga menyukai ku disaat aku menjalani hubungan dengan Difa. Aku menatap kosong ke arah kaca. Aku benar-benar bimbang.

Aku hanya takut untuk mengambil sebuah keputusan. Dan aku lebih takut lagi disaat aku nanti akan menyadari bahwa keputusan yang aku ambil adalah salah.

•―――•

•―――•

•―――•

"Halo, kenapa Nad" ucap Geni dari ujung telepon.

"Gen, gue mau cerita ke lo. To the point aja ya" balas ku.

"Dasar lo, dari dulu ga pernah mau basa basi kalo mau cerita. Ya udah buruan ceritain" Jawab nya.

"Gen. Difa nembak gue. Iya gen gue seneng banget," ucapan ku terpotong. "Ha demi apa? Serius?" Geni memotong ucapanku. Sudah menjadi kebiasaan Geni memotong pembicaraan orang lain. Kurasa itu adalah Hobinya.

"Gen, Listen to me first, please." Aku menjeda ucapan ku. "Iya, Difa nembak gue kemaren. Pas gue baru pulang nonton sama Tisha, dia juga yang jemput gue. Terus pas hari senin pas pulang sekolah, dia jemput gue pulang. Terus dia ngajak gue makan dulu. Dia nembak gue disitu. Gen, gue seneng banget dia nembak gue. Tapi," sambungku.

"Tapi apaan?" Geni memotong ucapanku. Lagi.

"T.. tapi.. si Rio juga suka sama gue. Bahkan tanpa diceritain pun dia udah tau duluan kalo gue jadian sama Difa. Gen. Asal lo tau. Kalo Rio ngomong lebih awal, gue gaakan nerima Difa jadi pacar gue." Aku menyambung cerita ku.

"Lha? Kalo lo seandainya ga nerima Difa, emang lo mau nerima si Rio? Lagian kan gue udah bilang sama lo. Lo tuh sama Rio sahabatan tapi kaya orang pacaran." jawab Geni yang menganalisa kembali ucapanku.

"Ngga, tapi seengganya gue..." kembali ku jeda ucapan ku. Geni hanya diam, sepertinya dia menunggu aku bicara. "Tapi apaan?" Geni akhirnya angkat bicara sepersekian detik setelah dia mengetahui bahwa aku tidak melanjutkan kalimat ku.

"Udahlah, udah dulu ya Gen. See you" Aku mengakhiri ceritaku dan menutup telepon rumah ku begitu saja. Ku rasa Geni juga akan mengerti mengapa aku menutup teleponnya.

Aku menuju dapur masih dengan seragam putih abu-abu ku. Membuka kulkas. Dan aku tidak mendapat satu makanan apapun di dalam. Yang ada hanya bahan-bahan makanan yang belum diolah.

Bunda sedang pergi arisan dengan teman-teman kantornya dulu. Kawi dan Deza juga masih ada kerja kelompok. Ayah belum pulang dari kantornya. Dan yang tersisa di rumah ini hanyalah aku.

Aku memang tidak memakai pembantu. Karena rumahku tidak terlalu luas, dan juga Ayah dan Bunda tidak suka jika ada orang asing yang berada di rumah selain keluarga ku. Dan akhirnya, kewajiban seperti mencuci piring, memasak, menyapu, mengepel, mencuci dan hal-hal rumah tangga lainnya menjadi kewajiban ku dan Bunda. Dan itu sangat melelahkan.

Aku akhirnya kembali ke kamar ku. Aku sedang tidak mood untuk membuat makanan. Dan juga tidak mood untuk memesan makanan.

Aku meraih ponsel ku dan mencari nama 'Rio' yang ada di buku kontak ponsel ku. Aku bimbang apakah aku harus menelponnya atau tidak.

"Kenapa?" ucap Rio dingin dari ujung telepon. Aku akhirnya mempunyai keberanian untuk menekan icon telepon yang berada di samping nama Rio di kontak ku.

"Ngg. Eh.. itu, gue pengen ngomong" Balas ku. Nada bicara Rio berbeda. Dia sebelumnya tidak pernah berbicara dengan nada yang seperti ini.

Rio's POV

"Buruan ngomong" aku memaksa Dazhar berbicara. Untungnya aku berbicara lewat telepon dengannya. Jika tidak aku pasti tidak akan kuat untuk menatap matanya itu.

"Lo kenapa?" Ucapnya.

"Retorik pertanyaan lo. Gabisa gue jawab. Lagian gaada jawabannya juga" tukas ku. Dan sedetik kemudian aku menyesal telah berkata seperti ini kepada Dazhar. Padahal aku ingin sekali dia tau betapa sesak dada ku saat ini.

"Io, gue mau jelasin" nada bicaranya parau. Seperti orang yang sedang sakit flu.

Aku hanya diam. Aku tidak tau harus berkata apa pada Dazhar.

"Kenapa lo baru bilang ke gue kalo selama ini,"

"Selama ini gue sayang lo?" dengan cepat ku potong ucapannya. "Gue ga mau kehilangan lo." Aku menyambung ucapanku.

"Ta... tapi kan kalo lo bilangnya dari dulu, seengganya gue gaakan nerima Difa..." kentara sekali kalau Dazhar gugup berbicara denganku.

"Lagian kalo lo ga nerima dia? Emang lo bakal nerima gue?" aku mengajukan pertanyaan yang berkesan mencecar Dazhar.

"Ya seengganya gue ga akan kehilangan lo!" Dazhar meng-gas ucapannya, dan menekan nada bicaranya pada kata 'kehilangan' "Lo tau gak si? Gue tu emang ga suka sama lo. Tapi gue tu sayang sama lo sebagai sahabat. Lagian gimana bisa gue suka sama lo? Kalo dari dulu sejak awal kita temenan sampe sekarang setiap lo ngechat atau curhat sama gue, yang lo curhatin tentang cewe mulu?! Si Nia lah, si Rahma lah, si Wira lah. Siapa lah itu!" nada bicara Dazhar meninggi di setiap katanya.

"Ya karna gue cuma mau ada bahan omongan sama lo. Puas?"

Klik.

Aku menutup telepon ku. Aku sudah tidak kuat lagi berbicara dengan perempuan itu. Sungguh, aku benar-benar iri jikalau nanti Dazhar membalas chat ku tidak secepat dan sepanjang dulu lagi.

Dazhar masih mencoba menghubungiku lewat LINE.

(Message Via LINE)

Nada Zharfa Fabiola: Pokoknya gue tetep mau sahabatan sama lo.

Nada Zharfa Fabiola: Gue gamau tau. Gue mau tetep sahabatan sama lo.

Nada Zharfa Fabiola: Please respon gue... gue lagi chat sama orang, bukan tembok.

Aku hanya meninggalkan jejak 'read' di setiap pesan yang dikirimkan Nada.

Fario Purnama Wicaksana: Okay. I'll stay.

Aku tidak kuat lagi menahan nafsuku untuk membalas pesan itu. Tanganku serasa bergerak dengan otomatis untuk mengetik balasannya.

•―――•

•―――•

•―――•

BOYFRIEND Or BOY FRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang