Chapter 8

90 15 1
                                    

"Kamarnya yang mana Mar?" Ucapku setelah Amar selesai memparkirkan motornya di area parkir rumah sakit ini. Disini ada Zaki, Ivan, Taufiq, dan Robin juga.

"Iya Mar, dimane?" Ucap Zaki.

"Gatau, kemaren gue Cuma nganterin sampe IGD aja, abis itu gue disuruh pulang sama mamanya Difa karna udah malem," Balas Amar.

"Ah, Dasar Difa. Baru aja mau gue masukin ke squad udah kecelakaan. Difa tu seharusnya kaya gue, profesional bawa motor." Ucap Ivan. Dan Plak. Satu tamparan mendarat dengan mulus di pipi Ivan.

"Gila lu ya," Ucap Robin yang barusan menampar pipi Ivan.

"Bego lu Van, omongan lo pait bego" Timpal Taufiq.

"Udah dong. Yang mana ini kamarnya? Gue juga belum pernah kesini lagi. Elah ni rumah sakit gede amat lagi anjir" Ucap ku panik.

"Eh itu mamanya Difa kan?" Ucap Amar menunjuk wanita paruh baya yang sedang duduk termenung.

"Iya iyaaa!" kami membalas serentak.

Aku yang menghampirinya duluan dan meraih tangan Mama Difa untuk menciumnya.

"Difa lagi di operasi, doain aja yang terbaik." Hanya itu yang Mama Difa katakan. Dia terdiam dan kembali duduk.

Aku melihat ke dalam mata Mama Difa, tampak jelas bahwa mata itu mengandung kesedihan yang mendalam. Dia sangat terpukul sepertinya dengan keadaan Difa yang seperti ini. Mengingat Difa adalah anak bungsu. Aku yakin bahwa Difa adalah anak kesayangan Mamanya.

Tiba tiba Difa yang berada di atas bangsal keluar. Dan dokter segera berbicara dengan Mama Difa. Aku menghampiri Difa diikuti oleh Amar dan yang lainnya kemudian memegang tangan Difa. Lalu aku mengikuti suster yang ingin memindahkannya ke ruang yang lain. Difa menyingkirkan tangan ku dengan kasar. Aku hanya memegangi tangan ku dan terus menatap Difa dengan perasaan bersalah.

"Difa ku mohon," Aku berusaha memegang tangannya kembali.

"Lebih baik lo pulang dari pada memperkeruh suasana, Dazhar." Difa tiba-tiba memanggilku dengan nama yang biasa Rio pakai. Iya, Difa pasti berusaha untuk membuat aku merasa bersalah.

Aku hanya diam dan terus mengikutinya yang masih terbaring diatas bangsal.

Suster itu kemudian memindahkan Difa dari bangsal yang satu ke bangsal lainnya dengan telaten. Aku membantu memindahkan kepala Difa. Difa masih terus mengelak.

"Difa, kamu boleh benci sama aku. Tapi please biarin aku bantu kamu" Ucapku sambil terus membantu suster itu memindahkan Difa. Percayalah, air mata ini sedikit lagi akan tumpah.

"Gue juga gabutuh lo dari awal kali disini. Jadi mending lo pergi, balik ke sekolahan. Kan disana ada sahabat lo itu yang butuh lo." Difa menekan nada bicaranya pada kata 'sahabat'.

Aku kembali terdiam.

Suster itu kembali berjalan. Dan kami sampai.

"Dek, maaf Cuma keluarga aja yang boleh masuk saat ini ya." Ucap suster itu.

"Baik sus," Ucap Ivan.

Mama Difa kemudian datang, "Makasih ya kalian udah mau jenguk Difa disini." Ucapnya. Ekspresinya sungguh berbeda dengan ekspresinya sebelum Difa selesai di operasi. Ini lebih menunjukan bahwa Mama Difa bertambah sedih.

"Mar, gaada gunanya lagi gue disini. Anter gue ke mana aja tempat gue bisa teriak sendirian." Ucap ku. Amar mengangguk.

Aku berjalan mendahului Robin, Zaki, Ivan dan Taufiq. "Duluan ya gue" Ucap Amar pada mereka.

•―――•

•―――•

•―――•

BOYFRIEND Or BOY FRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang