Bagian 3

524 26 0
                                    

Setiap orang punya dunia...

Aku juga mendapat dunia bagianku...

Dunia yang tak tersentuh oleh orang lain...

Tapi bagaimana ketika ada bagian dunia yang

tak membuatku merasa hidup di dalamnya...

"Selamat datang di komunitas baru kita. Sebelumnya kami sebagai pengurus akan memperkenalkan diri kami terlebih dahulu," ucap Arya diatas panggung kecil yang tingginya kira-kira 30 sentimeter di ruang aula.

"Nama saya Arya Pythaloka, di sini saya bertugas sebagai ketua sanggar. Apapun yang berkaitan dengan sanggar, saya yang akan bertanggung jawab," sambungnya. Ia menundukkan sedikit kepala sebagai penghormatan lalu melangkah mundur mempersilakan pengurus lain untuk memperkenalkan diri.

"Saya Safrina Andira Harun. Kalian bisa memanggil saya safrina, saya bertugas sebagai bendahara." Senior itu memperkenalkan dirinya dengan wajah juteknya. Aku tak tau seberapa banyak orang yang tak suka dengannya di sekolah ini. Nama belakangnya sama dengan nama belakang seorang dokter yang sering ku kunjungi untuk memeriksa perkembangan saraf di otakku.
Satu per satu dari mereka bergantian memperkenalkan diri kecuali Alfath, yang duduk di sudut panggung, menyilangkan tangannya di atas perut. Wajah dinginnya, aku melihatnya dari kejauhan. Lantas di bagian kepengurusan mana ia di komunitas ini. Tidak memperkenalkan diri dan tidak memberitahukan tugasnya. Senior yang lain terlihat tak mempermasalahkannya dan aku tak mengerti.

Aku duduk di kursi hampir paling belakang. Safrina terlihat menarik kursi dan meletakkannya di samping Alfath. Terlihat berbicara manja sambil meletakkan tangannya di salah satu lutut Alfath, tampak serasi. Alfath yang tampan, Safrina yang cantik bak seorang pemain film. Hanya saja dia dikenal dengan sikapnya yang jutek dan tinggi hati.

"Apakah itu kekasih Alfath?" ucap salah seorang yang duduk di belakangku.

"Mungkin mereka terlihat akrab," sahut seseorang lagi. Aku hanya diam dari sini mendengar pembicaraan mereka.

"Tidak, Safrina itu saja yang kecentilan. Dia terlalu terobsesi pada Alfath. Lihat saja, Alfath tidak terlalu menghiraukannya."

"Benarkah? Bagus kalau begitu, jadi kita bisa mengaguminya tanpa ada rasa cemburu kalau dia punya pacar. Iya kan?"

Mereka terus saja membicarakan pria yang disebut-sebut sebagai idola di sekolah ini. Mereka hanya mengagumi fisiknya, bukan dengan hatinya. Bagaimana suatu saat jika Alfath sudah tua meronta, aku tak menjamin penggemarnya masih bertahan se-fanatik itu.
Lagian apa untungnya terlalu mengagumi seseorang, toh semuanya sama saja. Sama-sama makhluk ciptaan yang tak ada apa-apanya jika di banding dengan kekuasaan Tuhan.

"Ternyata kau ikut juga ya?" Seseorang menempati bangku kosong di sebelahku.

"Aku terlambat, untungnya masih ada bangku yang tersisa." Ia meneruskan bicaranya sebelum aku menoleh. Ternyata Aldo, anak donator itu.

"Kenapa kau mengikutinya? Bukankah kau lebih senang menikmati waktu sendirian?" Rupanya mulut pria ini tak bisa berhenti. Aku belum berkata apa-apa dia sudah mengatakan beberapa hal dan menanyakan sesuatu yang bersangkutan dengan privasiku.

"Aku hanya ingin mencoba sesuatu yang baru." Aku menjawab pertanyaannya dengan datar, tanpa ekspresi, dan tanpa menatapnya.

"Sastra itu menyenangkan, kita bisa mengungkapkan perasaan kita melalui tulisan, dengan rangkaian kata-kata yang lembut." Mulutnya mulai berceloteh lagi. Aku tak terlalu mendengarkannya, mataku tertuju ke depan sana. Senior-senior yang menjelaskan tentang sastra dan drama, menjelaskan rencana-rencana yang akan dilakukan di komunitas ini, tentang pertunjukan teater, tentang pembelajaran menulis naskah puisi, cerita fiksi maupun naskah lainnya.
Kedengarannya menyenangkan, walaupun selama ini jiwaku ada di bidang eksak, aku tak punya bakat dalam tulis menulis. Tapi tak salahnya aku menggunakan otak kananku dan mencoba daya imajinasiku.

Indigo love storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang