Bagian 5

439 26 1
                                    

Kadang cinta itu seperti sebuah aksioma...

Pernyataan yang bisa diterima kebenaran walau tanpa dibuktikan...

Lalu untuk apa para pecinta yang menuntut bukti...

Toh cinta itu sendiri datang juga tanpa alasan...

Keberadaan cinta yang selalu disebut-sebut sebagai sesuatu

Yang samar...

dan kadang cinta itu sendiri yang menyembunyikan keberadaannya...

"Naumi... ada yang mencarimu..." Mama memanggilku dari luar, siapa yang mencariku disaat aku uring-uringan di kamar sore ini. Aku mengikat rambutku dengan ikatan rambut, mengenakan sepasang sendal kamar yang terbuat dari bahan flanel yang lembut itu, dengan alas berwarna coklat dan krim pada penutupnya, setidaknya sendal ini melindungiku dari ubin yang dingin.

Aku keluar dari kamar, mama sedang berbicara dengan seseorang di ruang tamu, mungkin orang itu yang disebut-sebut mencariku barusan, aku mengelus-elus mataku karena sedikit terasa gatal, mungkin disebabkan oleh penyengat kecil atau partikel debu. Aku menuju wastafel yang ada di bagian dapur untuk mencuci muka.
"Saya tidak satu kelas dengan Naumi tante, tapi kelas kami bersebelahan.." tamu itu berbicara dengan mama, suaranya terdengar hingga ke dapur walau tak terlalu jelas. Bersebelahan? Seseorang mengatakan bahwa kelasnya bersebelahan denganku?

Aku meneruskan langkahku melewati dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga, Aldo? Tiba-tiba lesuku langsung hilang, untuk apa ia kemari?

"Saya boleh mengajak Naumi keluar kan tante?" Keluar? Aldo meminta izin pada mama untuk mengajakku, bukankah aku sudah bilang padanya kalau aku tidak bisa. Anak donator itu, si pembujuk, memaksa orang lain untuk mengikuti kehendaknya, menyebalkan.

"Oh boleh, asal pulangnya jangan terlalu sore ya nak Aldo.." mama mengizinkannya sebelum bertanya terlebih dulu padaku, lalu mata mereka tertuju padaku,

"Tapi ma.." aku menepik, aku tak ingin keluar rumah dan pergi dengan si pembujuk itu.

"Pergilah.. tak ada salahnya sekali-kali kau keluar rumah.." mama membelanya, senyuman Aldo mengambang setelah itu.

Dan akhirnya aku menurut, bukan karena Aldo, tapi karena mama.

*****
"Aku sudah bilang kalau aku tidak bisa, kenapa kau keras kepala?" Nada bicara kesalku ketika kami sudah berada di dalam mobil sport biru malamnya, tidak lagi pengap, rupanya AC mobilnya sudah diperbaiki.

"Lebih baik ikuti saran ibumu, daripada kau terus-terusan mengurung diri di dalam kamar," ucapnya setengah menyindir.

Aku hanya mengenakan celana jeans biru tua, baju merah yang terbuat dari bahan katun rayon dengan pita yang lumayan besar di kerahnya, melebar ke bawah dan menutup bagian resleting celana. Aku tak terbiasa menggunakan pakaian yang terbuka, walau sederhana, setidaknya pakaian ini nyaman dikenakan.

"Kita mau kemana?" aku melempar pertanyaan.

"Lihat saja nanti.." dia tersenyum lagi, aku masih saja merasa kesal karena mama lebih membelanya daripada aku.

*****

Aldo menepikan mobilnya, ini memang masih sore, tapi papan yang bertuliskan nama sebuah tempat itu sudah dihiasi dengan lampu-lampu merah kecil yang berkelap-kelip. Itu adalah sebuah bar, kenapa dia membawaku kemari?
Aku tak pernah ke tempat ini sebelumnya, bar itu sendiri adalah istilah yang pertama kali digunakan pada tahun 1592 di Prancis untuk menyebut tempat yang hanya menyajikan minuman beralkohol, seperti brandy, bir, dan wine setahuku.

Ini payah, Aldo mengajakku ke tempat yang sangat asing bagiku, dan aku tidak menyukainya. Rasanya aku ingin lari saja dari sini dan pulang sendirian.

Indigo love storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang