Bagian 4

536 26 0
                                    

Aku mencarimu...

saat senja akan berganti menjadi malam...

namun waktu itu terlalu singkat...

tak memberiku sedikit kesempatan...

biarkan aku terus sembunyi...

suatu saat kau akan tau siapa aku...

Aku memilih keluar dari ruang aula. Sepertinya hari ini adalah hari terakhirku mengikuti sanggar itu dan mengembalikan buku sastra Fariz, mengatakan padanya bahwa mereka membuatku menjadi asing.

Tak ada yang mencegahku atau menanyakan kenapa aku keluar dari ruangan. Karena pergerakan di aula paling belakang tidak tampak dari depan, toh ada pintu cadangan di belakang memudahkanku untuk meninggalkan tempat ini.

Di seberang sana, sepasang pintu berada di kejauhan, di depannya ada dua tiang layaknya bertugas sebagai pengawal istana, pikirku melayang pada perpustakaan itu, tempat dimana para siswa mencari sumber pengetahuan, di dalam ranselku, kotak musik itu.
Alfath tak ada di ruang aula, apakah mungkin dia ada disana? Mencari- cari benda miliknya yang sekarang ada padaku?

Tempat itu membuatku tertarik, bukan karena fungsi ruangannya, tapi karena penemuan tempat baruku yang ada di belakangnya, disana terdapat beberapa pohon yang rindang dan lumayan besar, semacan pepohonan di Bregagh Road yang ada di Irlandia itu. Aku tak menyangka ada tempat seindah itu di lingkungan sekolah. Kenapa tidak dari dulu saja aku menemukannya.

Tak ada siapa-siapa, tak ada Alfath, bisa jadi dia memang tak masuk hari ini. Aku membuka zipper ranselku, maksudku resleting yang diserap dari bahasa Belanda ritssluiting itu. Mengacak-acak isinya dan menemukan benda yang aku cari, replika benda yang berjenis grand piano itu, dimana jenis itu adalah piano yang sebenar-benarnya. Memiliki 88 tuts, kotak akustik yang ditidurkan dan senar-senar yang diketuk hammer. Hanya saja ini hanya replika kecil dan tidak dapat difungsikan.

Aku menyandarkan punggungku ke dinding belakang perpustakaan, membuka bagian penutup tuts, pasangan dansa terlihat sudah siaga berada di bagian atas tubuh piano.

Musiknya dimainkan, entah kenapa aku begitu menyukainya, komposisi musiknya yang begitu melegenda yang diciptakan oleh seorang komposer yang tuna rungu, menurut cerita Beethoven meninggal dunia pada 26 Maret 1827.
Banyak orang yang bertanya-tanya siapa sesungguhnya sosok Elise yang dijadikan judul lagu itu, ceritanya yang begitu misterius, sama seperti pemilik kotak musik ini, dia kembali menguasai bagian kognitifku lagi, pertanyaan-pertanyaan itu layaknya bagian atom positif dan negatif yang mengelilingi intinya. Bagaimana jika bagian atomnya bertabrakan, bagaimana jika merkurius berpeluang menabrak bumi, harus bagaimana aku? Mencari jawaban atas keingintahuan ini.

"Rupanya kau yang mengambilnya?" Suara itu kembali merambat pada gelombang udara. Tiba-tiba saja mulutku kelu, kali ini aku tertangkap basah lagi, padahal niat utamaku ingin melindungi benda ini lalu akan mengembalikannya nanti. Suara itu membuatku tersontak, penutup tutsnya lantas tertutup dan musiknya berhenti.

"Aku hanya ingin mengembalikan ini" aku memperlihatkan padanya piano kecil yang ada di tanganku, dia berdiri disana, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, wajahnya datar, rupanya dia tak pandai berekspresi. Dia tak merespon apa-apa, hanya berdiri di sana.

"Bagaimana kau bisa menemukan tempat ini?" dia selalu melontarkan pertanyaan.

"Semua orang dapat menemukannya, karena ini area sekolah. Aku hanya tak sengaja kemari ketika mendengar musik ini hari itu." Aku berharap dia segera mengambil benda ini dan aku dapat pergi.

"Kau pikir semua orang ya?" Dia tersenyum kecut. Seketika aku pucat pasi, aku selalu tak mengerti apa yang ia bicarakan.
"Ini ambil lah milikmu. Aku hanya melindunginya dari tetesan embun yang dapat merusak mesinnya." Aku mendekatinya, menyodorkan benda miliknya ini, namun sepertinya ia tak mengerti. Alfath masih saja berada disana, tanpa melakukan pergerakan apa-apa.

Indigo love storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang