Bagian 6

444 26 0
                                    

Tidaklah kau tau betapa terpuruknya aku...

Dengan keadaan ini, keadaan yang tak semestinya...

Keadaan yang dapat menyingkirkanku dalam sekejab...

Aku ingin sesuatu yang nyata...

Bukan pertanyaan yang tak kunjung usai...

Dia membuka pintu mobil untukku, aku masih tertunduk, kejadian barusan masih saja bergelimang dalam benakku, aku pulang telat karena insiden di sekolah, dan aku harus membersihkan pakaianku sebelum pulang ke rumah dan mengatakan pada mama bahwa aku baik-baik saja.

Sepasang sepatu masih berada disana, menunggu kakiku turun dari mobilnya, wajahnya terlihat bersimpatik, namun tetap saja menggambarkan si pembujuk itu. aku berkedip sesaat menstabilkan cairan yang melindungi selaput mataku. Menyerongkan sedikit badanku dan keluar dari mobil ini.

"Jangan cemas.." kali ini dia agak mengerti bagaimana keadaanku.

"Aku baik-baik saja.." parauku sambil memegang kedua tali ransel, aku masih menunduk sementara Aldo menutup pintu biru malamnya.
Terdengar ada yang membuka pintu rumahku, pasti mama yang ada disana, aku menoleh, kini ia berada di teras, dia agak cemas, mungkin karena aku pulang telat dari biasanya. Bagaimana mungkin aku pulang dengan keadaan kotor seperti tadi, aku hanya tak ingin membuatnya bersedih karena keadaanku buruk di sekolah.

Aku membuka pintu pagar kayu yang sederhana, menginjak pekarangan kerikil hingga menghasilkan bunyi yang sampai ke pendengaranku. Sebenarnya aku masih berfikir, apa alasan yang baik kenapa aku pulang telat. Sebenarnya aku tak pandai berbohong, aku lebih senang berkata apa adanya, tapi kali ini keadaannya berbeda, dan konsekuensi ini harus kulakukan untuk menjaga perasaan mama.

"Mah..." aku menyapanya, meraih tangan kanannya lalu menciumnya dengan penuh rasa hormat seorang anak kepada seorang ibu yang telah mengandung dan melahirkanku. Dia mempersilahkanku melakukannya dan si anak donator ini juga mengikuti apa yang ku lakukan.

"Kamu kok pulangnya telat Mi?" akhirnya pertanyaan mama itu membuatku menghela nafas.

"Tadi ada sedikit pengarahan dari sanggar tante, jadi kami agak telat" Aldo menyela saat bibirku mulai ingin bergerak mengatakan sesuatu meskipun agak kelu. Dan kali ini ia membantuku membuat alasan. Aku tak berani menatap mama setelahnya, aku telah menutup-nutupi sebuah keadaan.

*****
Aku lelah, aku tak bisa terus seperti ini, aku tak berani melawan, aku tak berbakat di bidang itu, sungguh. Ini menggangguku, membuat susunan pemikiranku menjadi kacau, aku tak dapat berkonsentrasi belajar di kelas, aku susah tidur karena merasa sesuatu yang begitu membebaniku, dan aku sulit untuk tersenyum akhir-akhir ini.

Sekolah itu mengusirku secara perlahan, apakah mungkin lebih baik aku pindah sekolah saja? Tapi itu terasa berat, masalah biru keungu-unguan itu memang berat, tapi ada sesuatu yang lebih dari itu.

Aku mengacak-acak rambutku, menutup kepalaku dengan selimut, mencoba menenangkan diri dan menyingkirkan semuanya.

Aku mengambil ranselku, ada sesuatu yang kubawa dari sekolah. Benda baru yang asing. Bunga dan secarik kertas itu. aku mengeluarkannya dari dalam ransel, menyisakan wanginya disana.

Kumasukkan benda itu ke dalam kotak bersama 3 bunga dan 3 carikan kertas sebelumnya, mengumpulkan mereka menjadi satu relasi di dalam benda yang berbentuk balok dengan penutup atas yang lebih besar dari kotaknya.

Ku letakkan kotak itu ke bagian lemari bawah, awalnya benda itu ku anggap tak berguna dan hampir ku buang, tapi aku memungutnya kembali dan menyimpannya.
Aku sempat curiga pada si pembujuk itu, selama ini dia agak selalu ada, bisa dibilang akhir-akhir ini kami dekat meski tak terlalu akrab, tapi rasanya tidak mungkin, dia bukan pria seperti itu, cerewet dan keras kepala, blak-blakan dan pemikir modern.

Indigo love storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang