Bagian 7

408 28 0
                                    

Kadang sesuatu memang harus kita lihat terlebih dulu...

Postur yang gersang atau yang lembut...

Tapi sayangnya ada sesuatu yang pandai mengubah warnanya...

Sulit untuk dikenali.. dan sulit untuk diberitahu...

Aku memutuskan masuk sekolah hari ini, di dalam ranselku, benda yang berisi "Fur Elise‟ itu sengaja ku bawa, aku bermaksud akan mengembalikannya, jika dia tidak mau dikembalikan, aku akan memaksa, aku tak mau benda ini terus bergelimang bersamaku.

Dalam pikiranku masih berporos kata-kata mama, tawarannya untuk pindah sekolah, hari ini mungkin bisa menjadi hari terakhirku di sekolah jika tekadku sudah bulat, atau aku akan terus bertahan menghadapi semuanya.

Hari ini aku tidak normal, maksudku bukan aku, tapi keadaannya, tidak seperti biasanya, aku tidak datang lebih awal, ataupun menghindari orang-orang lagi.

Mobil-mobil pribadi berjejer di depan sana, ada beberapa kalimat yang identik, warna-warna mengkilat, merek-merek yang ternama.
Aku meneruskan langkahku menuju area sekolah, meski agak ragu, tapi kali ini aku sudah mulai memberanikan diri.

Langkahku terhenti sesaat ketika berada di dekat tempat piket, memandangi lapangan basket yang kosong dengan dedaunan yang berserakan disampingnya, petugas kebersihan belum menyingkirkannya dari sana, atau memang sudah dibersihkan, lalu dedaunan yang layu baru saja berguguran kembali karena tiupan angin. Siswa-siswa yang sibuk baru datang ke sekolah, ada yang sudah datang dan asik mengobrol di teras, kecendrungan wanita.

Sayangnya kelasku berada diujung, ada tiga jalan yang dapat ku pilih, berjalan di tengah lapangan basket, menepi di antara lapangan dan kelas-kelas sosialita itu, atau yang lebih buruk melewati lorong-lorong sekolah tepat di depan kelas-kelas mereka. Dan pilihan ketiga itu tidak mungkin kupilih.

Akhirnya aku memilih melangkah di tepi lapangan basket, meski jaraknya agak dekat dengan kelas kaum sosialita. Ketimbang menjadi pusat perhatian berjalan sendirian di tengah-tengah lapangan basket.

Pemandangan itu ku temukan lagi hari ini, mereka yang berada disana, di atas keramik yang terlihat mulai agak hangat, saling berbisik dan menatapku dari atas hingga ujung kaki.
Aku tak mengerti apa yang mereka lihat dari diriku, aku tak mengerti apa untungnya mereka lakukan itu.

Keadaan seperti ini ku jumpai dari teras ke teras yang aku lewati, bahkan ketika aku berada di terasku sendiri, teman sekelasku, sekaligus pasukan-pasukan dalam perang dingin ini, mereka membuat perang sendiri, perang sebelah pihak, dan aku tidak pernah menyetujuinya.

Setidaknya aku mulai merasa hidup saat berada di tempatku, kursi dan meja ini, dua benda yang kurasa dapat menyatu dengan jiwaku, mereka berasal dari alam, aku pikir mereka juga mempunyai nyawa dan getaran dari siklusnya, lalu menghasilkan gelombang hingga terekam di otakku. Sebenarnya bukan otak, tapi ada sesuatu yang lebih dalam dari itu, hanya saja aku tak tau untuk sebutannya.

Sesuatu membuatku mencari tahu, keadaan di bawah meja, tentang bunga tulip dan racikan kertas itu, aku menunduk mencari keberadaannya, dan tidak ada, tak ada si putih dan merah jambu yang selalu satu paket itu. Rupanya kemarin adalah paket terakhir, semuanya ku simpan baik dalam sebuah kotak yang ku letakkan di bagian bawah lemari kecil di dekat ranjang tidurku.

*****

"Pak, bisa saya bicara dengan bapak?" Aku menghentikan langkah pak Zaid ketika di depan pintu saat pelajaran sudah usai.
"Mengenai apa nak?" beliau menjawab pertanyaanku dengan respon yang baik.

"Ada sesuatu yang harus saya bicarakan dengan bapak" ku harap beliau dapat meluangkan waktunya sebentar untukku.

"Ada masalah dengan olimpiadenya ya?" pak Zaid berusaha menebak hal yang ingin aku bicarakan.

Indigo love storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang