Setelah angin berhembus, sebelum hujan turun...
Ada gerimis yang terlupakan...
Dia berada disana, diantara kulit bumi dan gravitasi...
Menyelinap dibalik dinding yang buram...
Dibalik pertanyaan yang tak pernah dijawab...
"Terimakasih" satu sumber suara tiba-tiba saja ada di depanku. Saat aku duduk di bangku panjang di depan kelas melepaskan lelah usai memenuhi tugas giliran membersihkan kelas.
Aku menunduk memandangi lantai keramik putih dan sepasang sepatu sneakers ada disana, dengan ikatan talinya yang rapi. Seketika aku memandanginya semakin ke atas. Celana abu-abu dan baju seragam putih yang sengaja dikeluarkan. Seketika aku mengenali wajahnya, idola sekolah kemarin.
Alfath berdiri di depanku, menyandarkan tubuhnya ke salah satu tiang di teras sekolah.
"Untuk apa?" aku melontarkan pertanyaan. Hanya itu yang terlintas di pikiranku.
"Aku lupa berterima kasih kemarin ketika di kantin..." Ia tersenyum.
Senyuman yang terlihat tulus tidak seperti senyuman kakunya ketika di kantin kemarin. Mulutku terasa berada di alam bawah sadar, tidak ada satu katapun yang keluar setelah itu. Hanya bisa menatap Alfath dengan heran.Alfath membalikkan badannya dan melangkah pergi dari depan kelasku.
Aku menatap punggungnya yang semakin jauh dan menghilang di balik lorong-lorong sekolah. Hanya untuk itu, ia barusan dengan sekejap ada di depanku, dan dalam sekejap pula ia pergi.
Hari ini Clara tidak masuk kelas, ia harus menemani mamanya di rumah sakit. Katanya, penyakit yang di derita Tante Jane semakin parah. Terjadi gangguan pada katup jantungnya.
Sementara suasana di sekolah masih sepi, seperti biasa aku datang paling awal, dan yang kedua datang hari ini adalah Alfath. Ternyata dia tak sedingin yang ku kira, tidak seperti gosip-gosip yang beredar.
Aku menghela nafas, menikmati udara yang masih sejuk pagi ini. Ditambah suburnya bunga-bunga anggrek di dalam pot kecil yang bergantungan di bagian ujung atap di depan kelas.
*****
"Berapa semuanya mas?" tanyaku sambil membuka ranselku untuk mencari dompet."72 ribu rupiah, nona." Di tangannya masih memegang satu keranjang buah-buahan yang sengaja ku beli untuk menengok Tante Jane.
Aku mengacak-acak isi tasku, dompetnya tidak ada.
"Sebentar ya mas..." aku mendekati kursi yang ada di luar toko, membongkar isi tasku, dan dompetnya hilang. Mungkin tercecer di sekolah pikirku.
"Mas, dompet saya tidak ada, saya akan ke sekolah untuk mencarinya setelah itu saya akan kesini lagi." Aku mulai cemas, membayangkan tidak bisa menengok Tante Jane dan tidak bisa bayar bus untuk pulang jika dompet itu tidak ditemukan.
Aku membalikkan badanku menuju jalan raya. Untungnya toko buah ini berada dekat dengan sekolah, aku hanya perlu jalan kaki atau berlari jika ingin cepat sampai ke sekolah.
"Kau mencari ini?" Seorang siswa laki-laki tiba-tiba menahanku ketika aku berada di tepi jalan di depan toko buah. Dompetku ada di tangannya, kalau tidak salah namanya Aldo, anak donator tetap di sekolah. Kelasnya bersebelahan dengan kelasku, kami setingkat.
Dia juga bisa di kategorikan sebagai siswa yang banyak di gemari di sekolah, hanya saja mungkin dosisnya lebih rendah dari Alfath. Aldo yang dikenal suka melanggar aturan, walau tidak begitu sering.
"Iya.." aku terengah karena cemas, dia menyodorkan barang itu padaku. Aku meraih dompet itu dari tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo love story
FantasiKecelakaan itu membuatku lupa dengannya,dan biru keungu-unguan ini membuatku lelah