- Acceptance -

12 1 0
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 19.00. Aku memilih bersandar pada dinding sambil duduk berselanjar kaki di atas tempat tidur, memeluk boneka beruang yang diberikan Nana saat ulang tahunku tahun kemarin dengan erat. Nana duduk tak jauh dariku--hanya saja dia memilih bersandar dekat kepala tempat tidur. Saat ini memang kami berdua berada di kamarku--Nana bersikeras untuk mencari-tahu-apa-yang-sebenarnya-terjadi setelah melihat perilakuku yang menurutnya tidak biasa akhir-akhir ini. Tidak ada yang bersuara--aku masih ragu untuk menceritakan semua yang ada di pikiranku pada Nana atau tidak, sementara Nana sibuk dengan ponselnya. Beberapa saat berlalu, ketika aku melihat Nana menurunkan ponselnya, dan memfokuskan perhatiannya padaku.

"Jadi..? Apa masalahnya..?" Dan sebagai teman dekat selama 6 tahun, Nana sudah pasti tahu luar-dalam mengenai diriku, sehingga aku tidak perlu bicara untuk itu--untuk memberitahu bahwa aku sedang punya masalah.

Mengumpulkan keberanian dan kesungguhan hati, aku pun mulai bicara, "Aku--" dan terpaksa harus terhenti ketika terdengar suara pintu terbuka. Dan dari balik pintu, muncul Kak Hiro yang kemudian berjalan masuk sambil membawa nampan berisi 2 gelas minuman.

"Kelihatannya aku tidak mendengar suara pintu diketuk tadi.." Nana berucap dengan nada khasnya--bukan Nana namanya jika bukan ahlinya menyindir orang.

"Aku membawa minuman untuk kalian berdua~" Kak Hiro mengabaikannya--lebih tepatnya, berpura-pura tidak mendengarnya--dan menaruh nampan di meja belajarku. "Silahkan menikmati~" Kak Hiro tersenyum lebar padaku dan Nana, lalu berjalan kembali menuju pintu. Sebelum dia menutup pintu, dia masih menyempatkan diri untuk menengok ke belakang, kali ini tatapannya focus pada Nana, tersenyum jahil. "Kapan kau akan putus dengan Makoto? Aku masih setia menunggumu, kau tahu~"

Dan pintu itu buru-buru tertutup begitu Nana mengangkat tangannya yang memegang bantal. Aku hanya tersenyum kecil melihat Nana menghela napas. "Astaga.. Aku masih tidak percaya Kak Makoto bisa berteman dengan orang macam itu.." Nana mendecakkan lidah kesal. "Kenapa semua orang di sekitarmu kelakuannya aneh seperti itu sih.. Pertama dia, lalu pangeran kotak susu itu muncul--" Nana menatapku prihatin. "What a bad luck you have, Rei-chan.."

"Jangan sampai Kak Hiro mendengar hal itu. Kau bisa habis dijahili olehnya.." ucapku mengingatkan.

"Aku tidak peduli dengannya. Sekarang," Nana beranjak duduk di sebelahku, memposisikan tubuhnya ke arahku, menatapku lekat. "Jadi, kapan kau akan bicara terus terang padaku..? Atau kau masih perlu waktu..? Ini sudah--" Nana menengok ke arah jam di dinding. "..Masih banyak waktu. Aku bisa menunggumu sampai tengah malam, dan berakhir dengan aku menginap di sini. Aku tidak keberatan dengan hal itu.."

Aku diam sejenak, sebelum perlahan mulai bicara. "Aku.. Entahlah, tapi.. Aku rasa, aku banyak berpikir saat ini.."

"Soal pangeran kotak susu itu..?" Nana tersenyum jahil.

"Jangan memanggilnya seperti itu. Kau tahu.. itu kedengaran sangat aneh.." Aku menggelengkan kepala pelan.

"Bahkan sekarang kau lebih membelanya.." Nana bergumam kecil--yang tentu saja masih bisa kudengar. "Jadi.. ada apa lagi dengan dia..? Katamu, dia tidak berbuat yang macam-macam padamu. Dia juga tidak berkelakuan aneh lagi.. Jadi, apa masalahnya..?"

"Aku.." Bayangan kejadian di UKS waktu itu kembali terlintas di benakku. "Aku hanya merasa.. apakah selama ini.. aku hanya.." Aku menghela napas pelan. "Maksudku.. aku tidak tahu, apakah pemikiranku tentang dia selama ini hanya merupakan bentuk simpati semata atau tidak.."

"Simpati..? Semacam rasa.. 'mengasihani'..? Nana berkata dengan hati-hati sambil membentuk tanda kutip di tangannya--dan aku hanya bisa diam menanggapinya. Nana memegang lenganku lembut. "Kenapa kau bisa berpikir seperti itu..?"

MilKy LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang