KEMARIN malam. Di kediaman Vino. Luka di tangannya itu memerih, disiram oleh cairan disinfektan oleh perawat. Vino meringis sedikit. Kamar yang biasanya senyap, kini terisi oleh empat orang yang mengelilinginya.
Luka itu akhirnya dibalut juga oleh kassa steril. Lebam diwajahnya diolesi salep dan beberapa luka di pelipis dan hidung dibiarkan mengering bersama cairan antiseptik yang dibalur diatasnya.
"Gimana, Dok, keadaan den Vino?" Pak Bagjo yang berdiri teratur disamping tempat tidurnya menanyakan hasil pemeriksaan pada dokter yang dengan teliti memeriksa hasil rontgenya.
"Secara keseluruhan semuanya baik, dari hasil rontgen, beruntung tidak ada tulangnya yang patah." Dokter menunjuk pada luka di lengan Vino. "Cuma yang di balut ini sebaiknya jangan kena air dulu. Antibiotiknya jangan lupa di minum setiap delapan jam sekali, jangan sampai ada yang terlewat."
"Baik, Dok," Pak Bagjo yang menjawabkan untuk Vino yang hanya terdiam.
"Baik, cepat sembuh nak Vino." Dokter menepuk pundak Vino. "Kalo begitu saya permisi dulu." Dokter dan perawat tersebut akan melangkah keluar sebelum akhirnya seorang lelaki paruh baya datang dan masuk ke dalam kamar. Beliau bersalaman dengan Dokter yang akhirnya keluar dari ruangan.
Lelaki paruh baya itu menatap Vino tenang dan dalam. "Mulai besok kamu pindah sekolah saja. Kembali ke Ausie." katanya dengan tegas.
Vino yang tadi berbaring, sontak mengangkat tubuhnya walau diserang linu yang menyeruak dari otot perutnya. "Saya nggak akan pernah balik kesana, Pa!"
"Kamu mau apa disini? Jadi preman?!" John Willy, papanya Vino, melebarkan mata penuh marah.
"Dan buat apa saya disana? Sementara mama disini sendirian!"
Mendengar hal itu John merendam amarahnya. "Disini ada perawat, ada bik Darmi juga, pasti banyak yang ngurus mamamu."
Vino menatap Ayahnya nanar, tak percaya mendengar perkataan itu. Bahasanya seolah mamanya adalah orang asing bagi ayahnya.
"Saya nggak bisa. Saya akan tetap disini walau Papa menentang."
"Kamu maunya apa?! Sudah buat malu dengan berkelahi di sekolah?! Sekarang malah jadi pembangkang ulung! Kamu itu penerus Huston group! Jaga reputasi kamu! Kalo begini terus saham perusahaan kita bisa turun cuma gara-gara kebodohan kamu! I don't wanna you to be such an idiot like that. Don't you understand?"
"No! I don't wanna leave this place. Never! Saya muak dengar Papa selalu mengutamakan perusahaan dibanding saya dan mama! Saya muak dengan aturan Papa!"
Ayah Vino mendengus, anaknya yang biasa tenang dan bersahaja kini terlihat dungu dimatanya. Papanya beralih pada Pak Bagjo yang masih berdiri tenang disamping Vino. "Besok sediakan tiket untuk Vino pulang ke Ausie. Paksa dia! Kalo perlu bawa saja keamanan di Hotel supaya mengawal dia pergi ke Bandara."
"Kalo Papa semena-mena begitu, lebih baik saya mundur jadi penerus." Vino menatap tajam pada ekspresi Papanya yang kewalahan. "Saya akan serahkan kursi itu pada Adam." Ancaman Vino itu mampu membuat Ayahnya terdiam dan memejamkan mata penuh pertimbangan.
"Pak Bagjo," ayahnya malah memanggil Pak Bagjo. "Kalo begitu rubah tiketnya ke Bali. Suruh anak ini minta maaf pada Pak Baskoro. Besok acara ulang tahun Alexa, biar dia bertanggung jawab sama apa yang telah diperbuatnya." Ayahnya kini mulai memandang Vino, "sampaikan salam Papa pada keluarga Baskoro. Papa minta kamu harus rajut lagi tali silaturahmimu dengan mereka."
Ayahnya pergi begitu saja tanpa banyak bicara lagi, tanpa menanyakan persetujuan pada Vino yang terdiam. Namun kali ini Vino memang tak akan menolak. Dia lebih memilih pergi ke ulang tahun Alexa dibanding harus meninggalkan ibunya dan meninggalkan satu nama yang hampir terpatri dihatinya. Khika. Seketika nama itu membuatnya rindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLOVER BESIDE YOU
Ficção AdolescenteTeman-teman gila, dibully karena berbadan mungil, sering lupa ngerjain PR, dan terjebak friendzone. Potret lengkap kehidupan Khika saat ini. Remaja biasa dengan segelintir aktivitas yang sama dengan remaja lain. Namun hidup Khika tiba-tiba saja ber...