CHAPTER 12

39 8 1
                                    

Author's POV

"Mereka aneh. Mereka berdua aneh. Bisa-bisanya mereka punya masalah dan tidak cerita padaku," omel Liam.

Liam memutuskan untuk mengunjungi Lucy. Akhir-akhir ini Liam memang sering mengunjungi gadis kecil penderita leukimia itu.

Di depan pintu kamar Lucy, terdengar suara lebih dari 2 orang.

Siapa mereka? Pikir Liam.

"Yasudah, nanti kami akan berkunjung lagi, semoga ka-" suara seorang pria lebih lama lebih terdengar jelas dan...

krekkk

Liam tersentak saat ada yang membuka pintu, dan yang pertama keluar adalah ayahnya Lucy.

"Oh, hi, Liam?" kata Mr. Talbot.

"Hi," jawab Liam diselingi dengan senyum termanisnya.

"Pasti kau ingin menemui Lucy, kan? Tapi sebelumnya, ini kakakku dan keluarganya. Mereka datang untuk melihat keadaan Lucy," jelas Mr. Talbot.

Liam hanya mengangguk.

"Dan ini, Liam. Dia sangat menyayangi Lucy. Lucy juga sudah menganggapnya sebagai kakak," ujar Mr. Talbot memperkenalkan Liam.

"Jadi ini, Liam? Perawat yang Lucy bilang brother-from-another-mother-nya?" tanya seorang wanita paruh baya yang adalah istri dari kakak Mr. Talbot.

"Ya, itu aku," ucap Liam sambil mengangkat kedua bahunya.

"Yasudah, kami pamit dulu. Ada hal yang perlu ku urus di kantor," kata pria ber-jas hitam yang tidak lain adalah kakak Mr. Talbot.

"Take care," kata Mr. Talbot.

Setelah keluarga dari kakak Mr. Talbot menjauh, Liam dan Mr. Talbot langsung masuk ke kamar Lucy.

"Hey, honey! Bagaimana keadaanmu?" tanya Liam.

"Seperti yang kau lihat tidak bail, tapi juga tidak terlalu buruk," jawab Lucy.

Liam berusaha untuk tidak meneteskan air matanya setelah melihat keadaan Lucy. Apalagi saat mendengar jawaban Lucy.

Liam berusaha keras. Sangat keras. Bagaimana tidak? Gadis kecil yang belum dewasa itu sudah terpasang berbagai alat medis. Mulai dari infus, oksigen, juga alat rekam jantung tertancap pada tubuh mungilnya.

Really, she's dying right now! Itulah kalimat yang ada di kepala Liam.

...

"Siang ini kita lunch di restoran biasa, yah?" ucap Liam memecah keheningan untuk yang ke sekian kalinya.

"Boleh," kata Niall.

"Tidak masalah," sambung Amber.

"Jadi kita tinggal menunggu shift sore datang," kata Liam sambil membolak-balik berkas yng sedang sikerjakannya.

Tidak lama kemudian, Will, Luke, dan Matthew datang.

"Para shift sore sudah datang rupanya," kata Amber.

Karena jam sudah menunjukkan pukul 2 siang, para perawat melakukan timbang terima tugas dari mornimg shift ke afternoon shift.

Mereka bertiga -Liam, Niall, dan Amber- langsung menuju restaurant terdekat untuk makan siang. Seperti biasa, mereka menggunakan mobil hitam kesayangan Liam.

"Pesanan kalian akan segera diantar," kata seorang pelayan.

Setelah memesan beberapa menu makanan, Niall tiba-tiba berdiri, "aku mau ke toilet."

"A-aku juga. Tunggu sebentar, Amber," kata Liam dan segera menyusul Niall.

Amber hanya diam terpaku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Liam tidak benar-benar ingin ke kamar kecil, dia menyusul Niall hanya untuk meminta penjelasan tentang mengapa kedua sahabatnya itu tidak saling bicara.

Ia tersentak saat Niall keluar dari toilet.

"Kenapa kau disini juga?" kata Niall sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Aku ingin menanyakan sesuatu," Liam menatap pria pirang itu dengan tatapan 'membunuh'.

Seakan sudah tau apa yang akan ditanyakan sahabatnya itu, Niall menjadi salah tingkah dan menghindari kontak mata dengan Liam.

"A-apa?"

"Kurasa kau sudah tau apa yang ingin ku tanyakan. Keanehan apa ini, Ni? Ada apa dengan kau dan Amber?" Liam masih memberi tatapan 'membunuh' itu.

Niall menarik napas sejenak, berpikir sejenak, "aku akan ceritakan semuanya padamu. Tapi tidak sekarang."

Seketika, ia mendahului Liam dan menghampiri Amber.

"Kalian lama sekali, sih. Makanannya sudah datang dari tadi," omel Amber dengan wajah cemberut.

"Lalu kenapa kau tidak makan saja duluan, huh?" ucap Liam.

"Bagaimana bisa aku makan duluan? Aku mau men-" dengan spontan Niall membekap mulut Amber.

"Sudahlah cerewet, ayo makan sekarang. I almost starved," Niall melepaskan tangannya dari mulut Amber.

Akhirnya si pirang bodoh itu mampu melawan ego-nya, Liam tersenyum tanpa disadari kedua sahabatnya.

Tanpa berbasa-basi, Niall langsung melahap makanan yang ada di hadapannya.

"Dasar tukang makan," ejek Amber.

Mereka bertiga tertawa bersama sehingga melupakan segala kejanggalan yang ada.

Sekali lagi, hanya Liam yang menyadarinya.

Aku tidak tahu apa masalah yang menimpa mereka. Tapi masalah sebesar apapun itu tidak bisa mengganggu persahabatan kami, ucap Liam dalam hati.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

HELLOOOOOO?
PLEASE GIVE ME FEEDBACKS :)
I LOVE YOUUU

LAST FIRST LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang