3

4.9K 653 65
                                    

Seperti melihat film, ia melihat seluruh adegan saat itu dalam rona kecoklatan.

Seorang perempuan dengan wajah kabur yang tak dapat Iris lihat, juga seorang pria berkacamata yang sama-sama tak ia kenali. Mereka berbincang riang, tapi Iris hanya bisa mendengar semua suara layaknya diucapkan saling bersamaan--tumpang tindih dan menggema.

Lalu buram, kemudian dia melihat banyak orang, seorang perempuan yang ia lihat sebelumnya terlihat panik. Di belakang mereka berdiri jajaran orang-orang dengan jaket kulit hitam yang tudungnya dinaikkan, mereka juga memakai ... semacam topeng? Iris hanya bisa melihat bahwa wajah mereka ditutupi oleh sebuah benda berwarna putih dengan beberapa warna lain yang juga ikut buram.

Lalu ia melihat laki-laki berkacamata itu meneriakinya, ia sudah membawa sebuah trisula panjang. Laki-laki berkacamata itu memelesat maju bersamaan dengan munculnya kibasan cahaya yang menamatkan kilasan-kilasan itu.

Setelah mimpi aneh yang bisa ia ingat detailnya, ia juga menemukan telapak tangannya terasa panas dan menemukan noda hitam itu. Sebelum mandi, ditunjukkannya noda--atau luka(?)--aneh itu pada bibinya.

Setelah diraba, barulah bibinya memekik bertahan.

"Ada apa?" Pamannya berdiri, lalu meraih tangannya. Sekilas, Iris melihat ekspresi kaget yang berhasil ditutupi dengan baik.

"Kau harus periksa hari ini, Iris, aku akan membuatkan janji."

"Tapi, bukankah mungkin ini hanya ... kotoran?" ujar pamannya.

Bibi melihat paman dengan tatapan "Apa kau yakin? Kau sebenarnya tahu itu apa?". Namun, Iris juga segera memberi penghiburan sebelum keadaan bertambah runyam.

"Paman benar, mungkin ini hanya kotoran."

"Tapi itu tidak hilang, Iris. Bukankah aku tadi merabanya?" Bibinya benar.

"Beberapa kotoran jika sudah mengering juga akan seperti ini, 'kan, Bi?" dalih Iris.

"Iris benar," timpal sang paman.

Bibinya segera mengarahkan telapak tangannya ke depan muka, isyarat yang dibaca sebagai "berhenti".

"Aku akan membuat janji, aku punya kenalan dokter kulit. Iris, kau mandi!" Iris mengikuti titah bibinya. Nyatanya, dengan hanya berdalih justru membuat keadaannya semakin runyam, bungkam adalah tindakan yang tepat.

Saat ia menyalakan pancuran, bibinya masih bertengkar, suara mereka tertelan oleh gemericik air pancuran. Iris tak tahu mengapa, luka--atau apapun ini--justru membawa masalah di pagi hari.

"Daan ... begitulah ceritanya, lalu aku kabur setelah ibadah. Menurutku, ini tak masalah, aku bisa membuat janji dengan dokter lain hari."

"Berbahaya," ujar Jane setelah menyeruput teh hangatnya.

"Kenapa?" Iris gantian bertanya.

"Yah ... bukankah kalau lebih cepat ke dokter maka apapun itu di telapak tanganmu bisa diberi penanganan terlebih dahulu?"

Iris mengangguk paham. Sebenarnya bibi dan Jane tak ada salahnya, tetapi, Iris merasa ada sesuatu yang harus rela dikorbankan jika ia pergi ke dokter tanpa sebuah ... penyakit yang tidak terasa sakit? Baiklah, itu hanya sebentar saja, beberapa detik setelah bangun tidur, sisanya sudah tidak berasa apapun.

Tangannya terulur mengelus kamera DSLR, Jane yang melihat itu mendesah paham.

"Aku paham, kau tidak mau mengurangi jatah waktumu untuk ... menjalankan sebuah hobi." Iris tersenyum, senang bahwa temannya juga mengerti.

"Begini, berjanjilah kepadaku, sepulangnya kau dari sini, kau harus segera pergi ke dokter. Oke?"

"Baiklah," jawab Iris.

Sekitar sejam kemudian, pembicaraan mereka berakhir. Iris berpisah dengan Jane--ingin segera pulang meski dia bisa menebak apa yang terjadi di rumah. Jane pergi ke arah sebaliknya, melewati kafe dan pusat perbelanjaan lainnya. Di sebuah tikungan, ia berhenti. Suara alat musik tiup yang familiar, tanpa menoleh pun ia tahu siapa empu suara itu.

"Baru tiba di sini?" tanya Jane, setelah dia berputar menghadap lawan bicaranya.

"Ya, dan membawa kabar baik." Jawaban itu membuat Jane memicingkan mata.

"Tebak, siapa yang berhasil memadamkan Tekhne?"

Jane terkejut, ia segera mengendalikan air mukanya kembali ke semula.

"Jadi, perayaan besar?" Jane bertanya lagi. Sementara gelengan lawan bicaranya menjawab pertanyaan itu.

"Detailnya, akan kita bicarakan sementara, mendekatlah!" Perintah suara itu.

Jane berjalan mendekat ke pria yang membawa alat musik tiup itu, dan ketika sebuah siulan selesai dibunyikan, ia merasakan tubuhnya menjadi seperti jeli--ringan dan sangat rawan untuk hancur. Selubung cahaya merah melingkupi mereka berdua selama beberapa detik, sebelum akhirnya hilang, digantikan dengan sebuah ruangan megah setinggi delapan meter dengan dominasi cat putih.

Jane dan pria itu segera melangkah ke jajaran kursi yang tak jauh dari sana, menempatkan diri di sekeliling meja makan sepanjang enam meter yang terletak di tengah ruangan berukuran sepuluh kali sepuluh meter itu. Ornamen lain di ruangan itu hanyalah ukiran-ukiran vertikal yang menghiasi pilar-pilar korintia yang ditata membentuk ruang khayal persegi di tengah ruangan--seakan menunjukkan, di sanalah meja dan segala kegiatan berpusat.

Ukiran lain dapat dilihat memenuhi kedua sisi dinding, dan sedikit sisi dinding yang berpintu. Kedua dinding itu diukir berupa relief Penciptan Pandora. Jane bisa melihat Zeus di sana, menyerahkan sebuah guci pada seorang gadis yang cantik jelita.Berhadapan dengan pintu berkepala melengkung setinggi empat meter itu, sisi dindingnya dipenuhi dengan jendela berkaca bening. Di atas pintu-pintu kaca itu terdapat kaca patri dengan warna,warna yang disusun acak. Terik matahari yang diteruskan oleh kaca patri membubuhkan warna-warna yang menghiasi dinding putih--seolah lukisan abstrak yang mencoret kanvas.

Melihat pemandangannya, Jane sudah bisa menebak bahwa ia tidak berada di London. Di bawah langit-langit yang penuh ukiran berupa profil kotak-kotak serta kandelir yang menggantung sepanjang dua meter, Jane menghela napas.

Rapat besar.

Pendar cahaya merah mulai muncul satu persatu di dalam ruangan itu. Sepasang kembar, seorang pria gendut ber-tuxedo, dan  pria lagi yang mempunyai luka codet di salah satu pipinya. Setelah semuanya mengambil duduk di tempatnya, pintu kayu itu didorong terbuka.

Menyusul seorang gadis dengan rambut sedikit bergelombang yang digerai sepanjang punggung, memakai gaun formal warna ungu gelap sepanjang mata kaki. Ketuk-ketuk sepatu hak setinggi lima senti teredam oleh karpet merah yang digelar sepanjang pintu hingga sisi seberangnya.

"Lucy telah datang," ujarnya sambil memiringkan tubuh, salah satu tangannya direntangkan, menyambut seorang gadis kecil berusia empat belas tahun yang memasuki ruangan.

Gadis kecil itu tak kalah cantik dengan kakaknya yang menyambutnya, rambutnya yang telah digelung dihiasi oleh bunga tiruan dan anting berlian yang menggantung di kedua sisi telinga justru memberikan kesan glamor yang berkilauan. Ia memakai gaun ungu yang lebih gelap dengan potongan rok yang miring, di salah satu sisi yang pendek adalah kain ringan yang ditata merumbai dengan warna merah muda pastel yang lembut.

"Selamat datang di Athena, Yunani, kakak-kakakku!" Semuanya menundukkan kepala sebentar, lalu mengangkatnya lagi.

Si gadis berambut panjang mengantarkan Lucy duduk ke ujung meja makan, bertolak belakang dari pemandangan di luar sana.

"Tebak, siapa yang berhasil memadamkan Tekhne?"

PANDORA: IrisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang