12

1.2K 209 16
                                    

Iris merasa tubuhnya ringan, lalu suara denting musik senar dapat ia dengar melalui telinganya. Sementara itu, tubuhnya perlahan jatuh dalam ruang hiperdimensional berwarma coklat muda seperti foto kuno yang telah memudar. Ruangan-ruangan itu bercabang ke segala arah hingga Iris merasa akan tersesat karena semua lorong terlihat sama saja di hadapannya.

Di ruangan itu, sebuah akar berduri tumbu menjulur, menutupi kilasan-kilasan masa lalu yang ia lihat serupa rekaman film bisu dengan suara iringan dentingan senar. Gadis itu terus terjun perlahan dan melihat seorang gadis kecil tanpa mata sedang tersenyum bahagia, bermain bersama bonekanya serta bersenda-gurau dengan seorang wanita paruh baya yang memiliki rambut panjang bergelombang sama dengan gadis kecil di depannya. Kilasan itu lalu dirambati akar duri, dan Iris sama sekali tidak mengenali siapa mereka. Namun, Iris merasa mengenali rambut gelombang itu yang mirip dengan rambutnya.

Iris terlihat seperti diterjunkan dari sebuah alat derek tak berujung di atasnya, rantai yang membelenggu tangannua terasa panjang karena tubuhnya yang terus terjun perlahan. Iris menengok ke kiri dan menemukan gadis itu sedang berjalan bersama seorang pria paruh baya sambil memegang es krim. Siapa dia? Iris pun tak tahu, ia tidak dapat melihat wajah mereka karena matanya yang hilang. Belum akar-akar duri itu segera saja membelit kilas balik yang ia lihat.

Namun, tubuhnya terus terjun, dan melodi senar itu terus berputar. Matanya terus melihat berbagai peristiwa dalam ruangan entah apa yang bercabang-cabang ke segala arah. Dan jumlah akar duri yang terus membelit kilasan itu semakin bertambah pekat, gadis itu sepertinya bergerak turun ke arah di mana akar duri itu tumbuh.

Ia pun kembali melihat kilas yang sama pada salah satu mimpinya, di mana gadis kecil itu terlihat ketakutan saat wanita dan laki-laki paruh baya itu diserang. Segera saja kilas balik itu kembali tertutup akar duri yang terus meliuk naik dan bercabang. Ketika Iris bertanya kapan ini berhenti, rantai yang ada di tangannha sudah menegang, menahan tubuhnya melayang di sebuah jurang pekat dengan dinding-dinding linimasa yang tidak ia pahami.

Lalu, Iris membuka matanya.

"Oh! Syukurlah kau sudah sadar!" sapa seorang wanita berambut pendek yang duduk di sebelahnya.

Iris mendapati dirinya tergolek tak berdaya di atas kasur berseprai lembut, kasur itu empuk dan hanya ia satu-satunya yang ada di sana serta gadis itu yang duduk di kursi beroda. Ruangan itu seluas kamarnya, dengan hanya satu kasur dan sebuah televisi tepat di depan pandangannya, juga sebuah kulkas mini dan rak buffet yang sekaligus dijadikan tempat televisi itu berdiri.

Saat Iris menolehkan kepalanya ke kanan, ia mendapati gadis yang sepertinya seumuran dengan dirinya tersenyum manis, ia meletakkan alat musiknya di sofa di dekat televisi, kemudian menarik kelambu hingga menunjukkan kaca seukuran lebar dan tinggi ruangan, di kedua sisinya di pasang jendela, jadi dapat dibuka sewaktu-waktu. Iris membelalak lebar saat mengetahui salju sudah turun, sebagian besar pemandangan yang ia lihat--rumah-rumah, sungai, kebun--sudah tertutup oleh salju.

"Ini hari kedua turunnya salju, dan sejak kecelakaan yang kau alami di Jembatan London, seharian kau tidak sadar. Jadi, aku memutuskan untuk membantumu." Gadis itu menoleh padanya--masih memasang senyum.

Iris berusaha mengangkat tubuhnya untuk bersandar, buru-buru gadis itu membantunya agar ia bisa bersandar.

"Anu ... terimakasih sudah membantuku," ujarnya saat ia berhasil bersandar, "tapi, kau siapa?"

Gadis itu mengulurkan tangannya, "Chelsea. Panggil aku, Chelsea."

Iris menjabat tangan gadis itu dan menyebutkan namanya. Pening di kepalanya berangsur hilang, tetapi rasanya ada sesuatu yang kurang.

"Sudah seharian aku tidak sadarkan diri?"

"Benar," jawab Chelsea, "Permisi sebentar, aku akan menelepon seseorang dan memanggil perawat." Chelsea beranjak keluar ruangan, meninggalkan Iris yang termenung menatap salju di luar jendela.

Sekitar satu menit kemudian, seorang perawat wanita dan seorang dokter memasuki ruangan tempat Iris dirawat. Mereka melakukan pengecekan sekilas, mengganti infus, mengecek bola matanya, menanyainya beberapa hal termasuk nama dan bagaimana Iris berakhir dirawat inap di rumah sakit ini. Iris dapat menjawabnya dengan lancar, tetapi ia merasa ada yang kurang ia sebutkan, ada yang hilang di ingatannya mengapa ia bisa menabrak birai jembatan dan terlibat dalam ledakan-ledakan aneh dari mobil-mobil di sepanjang jalan menuju Jembatan London.

Chelsea masuk bersama dengan seorang wanita paruh baya dan seorang laki-laki yang keduanya berambut pirang. Laki-laki itu tersenyum padanya, menunjukkan dua lesung pipit di kanan dan kirinya. Begitu juga wanita paruh baya itu yang langsung memeluknya, Iris merasakan perasaan hangat yang melimpah saat wanita itu memeluknya.

"Kau mungkin bingung saat ini." Wanita itu melepaskan pelukannya pada Iris. "Namaku, Rose Davies, panggil saja Nyonya Rose."

"Aku anaknya," laki-laki berambut pirang yang duduk di sofa langsung mengikuti penbicaraan. "Leo Davies, senang bertemu denganmu." Ia tersenyum lagi.

Iris mengatakan namanya sambil memasang wajah ramah meski ia tetap kebingungan dengan apa yang terjadi.

"Iris, aku akan memastikan sesuatu padamu," ujar Rose dengan lembut.

Iris menoleh padanya dengan ekspresi bertanya-tanya, tapi Rose keburu meraih tangan kanannya dengan lembut, ia menyentuh punggung tangan Iris yang bernoda hitam, kemudian menutupinya dan Nyonya Rose mulai memejamkan matanya.

Hidung Iris mencium bau segar bunga mawar entah dari mana di ruang tertutup itu, ia menyaksikan Leo dan Chelsea yang tersenyum padanya seolah berkata untuk yakin dengan apa yang dilakukan wanita itu. Iris merasa telapak tangannya sedang menerima cubitan-cubitan kecil, ia penasaran apa yang wanita itu lakukan, saat tangan Nyonya Rose beranjak dari punggung tangannya, ia bisa melihat sebuah lingkaran dengan cahaya semburat keemasan. Di dalam lingkaran itu tergambar motif tali yang berduri dan saling membelit tak berujung, lalu lingkaran lagi dan di tengahnya terdapat simbol gembok.

"Aku tahu siapa yang bisa melakukan sihir ini." Nyonya Rose terperangah.

"Sihir?" Iris bertanya-tanya.

"Jadi ... kau benar keponakan dari Stephenie Brooke?"

Saat Iris mendengar nama itu, sebuah peristiwa yang telah lalu langsung menyerang kepalanya, menyerbu masuk dalan jurang-jurang ingatannya yang sempat ia lupakan.

"Pegang kalung ini." Dialog itu, lalu orang-orang yang membawa bibi dan pamannya, ledakan.

Iris segera menarik tangannya dari Nyonya Rose dan memelotot ketakutan.

"Kalian salah satu dari mereka, kan?!" pekiknya. "Apa kalian juga akan membunuhku?! Di mana bibi dan pamanku?!"

"Iris, tenanglah!" Nyonya Rose meletakkan tangannya di kedua pundak Iris.

"Kami justru akan membantumu." Leo berujar dengan ekspresi yang serius.

"Karena hanya bibimu lah, yang tahu tentang sihir ini." Nyonya Rose kembali duduk di sebelah Iris.

"Dan kami yakin, kau adalah salah satu dari kami," ujar Chelsea dengan tak kalah seriusnya.

Iris masih memasang wajah takut, apapun bisa terjadi padanya, tidak ada jaminan orang-orang ini bukan orang-orang yang sama dengan komplotan yang menyerang rumahnya tempo hari.

"Bisakah, aku sendiri dulu?" Iris meminta persetujuan semua orang di ruangan.

Nyonya Rose beranjak keluar kamar sambil menepuk bahu Iris, disusul oleh Leo, lalu Chelsea sambil membawa alat musiknya. Chelsea sebenarnya tidak benar-benae beranjak pergi, ia berdiri di balik pintu setelah menutupnya, dan mendengar Iris terisak di dalam bangsal.

PANDORA: IrisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang