14

1K 172 5
                                    

Itu dia!

Iris mengangkat wajahnya, menghentikan isak tangisnya dan mengluas senyum. Hujan salju di London yang dingin rasanya berhasil menghiburnya, bersinergi dengan alunan melodi lira milik Chelsea. Rasanya, Iris bisa mengingat kenangan orang tuanya, dan rasanya, ia bisa mengambalikan paman dan bibinya ke kehidupannya.

Ia beranjak dari bangkar, mengambil tongkat infusnya dan tertatih menuju pintu. Begitu pintu dijeblak, Chelsea berbalik dan tersenyum.

"Sudah lebih baik--"

"Apa kau bisa membantuku?!"

"He?" Chelsea terbengong, lalu terkekeh di depan pintu. Begitu menyadari bahwa suara tawanya terlalu lebar, ia segera membekap mulutnya dan mengajak Iris masuk.

Chelsea dengan telaten menuntun Iris menuju kasurnya, memegang tongkat infus Iris dan sesekali memegang bahu Iris. Seharian ia tertidur, wajar jika otot-ototnya agak kaku. Entahlah jika tidak dibantu oleh sihir musiknya, apakah Iris akan bisa bangun atau tidak.

Setelah gadis berambut pendek itu menidurkan kembali Iris dan membantunya bersandar, barulah ia siap menjawab pertanyaan Iris.

"Kami bilang, kami akan membantumu, jadi tentu saja kami bisa membantumu." Chelsea menggerakkan tangannya tegak lurus seperti hendak pamer otot.

"Kami harus segera menemukan bibi dan pamanmu. Karena, satu, kami mengendus rencana jahat sejak kira-kira sepuluh tahun lalu, dua, sepertinya endusan kami benar kalau yang menculik bibi dan pamanmu akan mencuat rencana yang 'sangat' jahat," ujar Chelsea sambil menekankan kata sangat.

"Apa itu?" Gelengan Chelsea menjaawab pertanyaan Iris.

"Informasi yang kami terima masih sedikit, tetapi, bibi dan pamanmu adalah pasukan terkuat di satuan pasukan kami. Bukan hanya mereka juga sih, kemungkinan pasangan kakak dari bibimu juga."

"Pasangan kakak dari bibiku ...." Iris termenung, lalu seperti mendapatkan ilham, ia tersentak, "maksudmu orang tuaku? Kau tahu orang tuaku?!"

Lagi-lagi gelengan Chelsea menjawab pertanyaan Iris. "Mereka sudah keluar dari satuan saat aku mulai direkrut."

Iris kembali murung, cepat-cepat Chelsea menenangkan Iris dengan mengatakan siapa yang tahu soal itu semua.

"Benarkah? Siapa?"

"Tentu saja, Nyonya Rose dan Master." Iris mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Sekarang istirahatlah dulu, aku akan memanggil Nyonya Rose lagi nanti saat makan malam." Chelsea beranjak dari ujung kasur Iris menuju ke jendela besar di salah satu sisi dinding.

"Ah, jangan ditutup!" Iris keburu menghentikan tangan Chelsea yang hendak menarik kembali kelambu bangsal.

"Aku ingin menikmati salju dulu."

"Eh?" Chelsea duduk di kursi roda di sebelah Iris. "Ada apa dengan salju?"

Iris tersenyum simpul. "Rasanya, lagu yang kau mainkan tadi bisa bekerjasama dengan salju di luar. Mereka bercampur baur ... dan mendadak, melodimu melemparku ke masa lalu." Iris melihat Chelsea yang antusias mendengarkan ceritanya.

"Aku mendadak bisa mengingatnya, aku kecil bermain dengan orang tuaku, meski yang aku bisa lihat hanya wajahku sendiri--wajah orang tuaku masih tidak dapat dilihat. Namun, aku melihatnya dengan jelas, dan rasanya hangat." Iris menggulung tubuhnya ke depan, bersandar pada lutut dan memeluknya erat-erat.

Chelsea ber-hm ria. "Aku yakin, Nyonya Rose akan bisa membantumu nanti."

"Anu, dua pertanyaan lagi!" Iris menghentikan Chelsea yang akan beranjak dari kursinya. "Apa lagu yang kau nyanyikan tadi adalah lagu favoritmu? Lalu ... bisakah kau menyanyikannya kembali?" Chelsea terkikik mendengar pertanyaan dan permintaan Iris.

"Ya, O Holy Night selalu membawaku kembali ke masa anak anakku, yang sering bergabung di koor gereja. Kedua, tentu saja aku bisa!" Gadis berambut pendek itu memejamkan matanya, dan tato di telapak tangannya bersinar keemasan.

Iris dibuat takjub oleh tangan Chelsea yang bercahaya. Saat gadis itu membuka matanya, maka ia mulai memetik satu persatu senar dengan lihai, sesekali ia mengayunkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, ganti Iris yang memejamkan matanya menikmati musik yang dihasilkan dari petikan Chelsea.

Melodinya yang lembut dan menenangkan, perlahan membawa Iris jauh dari brangkarnya, jauh dari bangsalnya, jauh dari rumah sakit itu, jauh dari dunia nyata tempat ia berada sekarang. Semakin lama, ia semakin dibawa berlayar oleh nakhoda ke pulau yang penuh dengan bunga tidur.

*

Leo dan ibunya bekerjasama di dapur kafe mereka yang tutup sejenak. Leo menghancurkan biskuit kreker menjadi remah-remah kecil seperti serbuk kayu di dalam blender, tak lupa, laki-laki itu mencampur gula dan garam serta mentega yang sudah leleh ke dalamnya. Ia menuangkannya dalam wadah panggang yang berbentuk seperti teflon tanpa gagang dengan kedalaman sekitar lima sentimeter.

Sementara ibunya memarut kulit lemon dan mencampurkannya dengan jus lemon, kulit lemon yang diparut akan menguatkan aroma lemonnya, sementara jus lemon akan berpern sebagai rasa utama yang akan meledak di mulut siapapun yang memakannya.

Setelah mencampur kulit dan jus lemon, Nyonya Rose mengambil wadah mangkok yang berisi krim keju serta alat pengaduk. Ia mencampur krim biasa dengan krim keju dengan cekatan, lalu memasukkan gula dan esens vanili, kemudian mengaduknya kembali hingga terasa cukup.

Leo memblender bluberi sambil mencampur sedikit air dan gula hingga teksturnya menjadi sekental sirop. Ketika adonan krim sudah jadi, Nyonya Rose menuangkannya ke atas serbuk-serbuk kreker. Setelah semuanya tertuang, Leo memainkan sirop bluberi di atasnya menggunakan sendok. Sirop-sirop itu melukis adonan kuning pucat yang siap dipanggang.

Leo memasukkannya ke dalam oven dan mengatur waktunya pada satu jam lebih dua puluh menit, dan pekerjaan Leo serta ibunya hanya tinggal menunggu.

"Semoga Iris menyukainya," ujar Leo. Rose menepuk pundak anaknya dan beranjak dari dapur menuju halaman belakang untuk mengangkat telepon.

"Halo, Nyonya Rose?"

"Oh, Chelsea, ada apa?"

"Iris memintamu datang nanti, rasanya, saat kau menjelaskan situasinya nanti, gadis itu akan setuju bergabung dengan kita."

"Oh, itu bagus. Lalu, dia sekarang sedang apa?" tanya Nyonya Rose.

"Tidur, aku baru saja menidurkannya."

"Pakai sihir?"

"Pakai ... sihir." Suar di seberang telepon terkikik pelan.

"Tidurlah, kau seharusnya sudah capek sekarang, 'kan?" Nyonya Rose kembali beranjak ke dapurnya karena di luar ternyata sangat dingin.

"Tidak terlalu ... tapi yah, aku mengantuk." Chelsea mulai menguap. "Wastikan Anda ke sini, oke?"

"Tentu saja."

Telepon ditutup. Leo bertanya ke ibunya siapa dan apa yang mereka bicarakan.

"Chelsea, dia baru saja menidurkan Iris, kita akan ke sana nanti dan menjelaskan situasinya sejelas mungkin agar Iris mengerti." Leo ber-oh ria mendengar jawaban ibunya. Lalu, seperti mendapat ide, ia membuka kulkas dan mengambil kotak makanan berisi keping-keping coklat tipis yang cukup untuk ditulisi sebuah nama di atasnya.

"Aku akan membuat kuenya semirip mungkin dengan apa yang kita berikan pada Iris saat hari ulang tahunnya." Nyonya Rose tersenyum.

"Baiklah, Ibu mau mengecek multivitamin dahulu. Chelsea membutuhkannya." Leo mengangguk sambil membuat krim khusus untuk menuliskan nama Iris di kepingan itu.

PANDORA: IrisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang