Pengenalan

121K 5.4K 426
                                    

My Happy Ending

Abimanyu, berdiri tegak menatap sosok mungil dari adik sahabatnya yang sedang menangis. Ia hanya bisa pasrah ketika Edgar meninggalkan adiknya yang masih berusia enam tahun itu berdua saja bersamanya. Sialnya, kenapa Edgar harus memilih meninggalkan adiknya daripada ikut membawanya ke kelas untuk mengambil bukunya yang tertinggal. Ya, seperi inilah hasilnya. Erina menangis begitu Edgar memasuki gedung kampus dan bukannya mencoba untuk menenangkan, Abi hanya bisa berdiri dengan melipat kedua lengannya di depan dada, menatap adik sahabatnya itu menangis tidak karuan.

Awalnya Abi akan membiarkan saja Erina menangis sampai kakaknya datang, tapi tatapan mata orang-orang yang melihatnya mulai membuatnya jengah. Mungkin orang-orang berikir bahwa dirinya sedang menculik anak kecil atau sedang menjahati anak kecil. Ada beberapa orang yang telihat ingin mendekati dan bertanya ada apa dengan gadis kecil itu, tapi mereka mengurungkan niatnya karena melihat sosok Abi yang tubuhnya memang sangat tinggi dengan mata biru gelapnya yang mencolok. Mata yang diwariskan oleh ayahnya yang berdarah Jerman. Mereka takut mendekat hanya untuk sekedar bertanya.

Detik ketika gadis yang sedang ditaksirnya ikut menoleh ke arahnya dengan tatapan penasaran, Abi memutuskan untuk membujuk Erina berhenti menangis. Dia tidak ingin imagenya hancur karena tangisan Erina.

Abi berjongkok di depan Erina, mengusap airmata yang jatuh tanpa henti di pipi gadis itu. "Cup...cup...Erina, jangan nangis nanti digigit kucing."

"Huaaaaa...." Eh, bukannya berhenti, tangisannya malah semakin kencang.

Abi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak punya adik, keponakan pun belum punya. Bagaimana cara mendiamkan Erina? Abi menunduk pada boneka barbie yang dipeluk oleh Erina. Boneka yang selalu menemani gadis itu kemana pun ia pergi.

"Boneka Barbienya lucu ya, siapa namanya?" tanya Abi.

Perlahan tangisan Erina berhenti, ia menunduk menatap bonekannya dan mengangkatnya ke wajah Abi. "Namanya Princes," jawabnya dengan suara serak dan wajah yang basah.

"Hanya Princes?" Erina mengangguk, sesekali masih terisak. "Bukannya, Princes Erina? Erina juga pantas menjadi seorang putri." Oh My God...Dari mana kalimat manis dan sok suit ini keluar? batin Abi.

"Benarkah?" tanya Erina sambil menarik ingusnya yang langsung membaut Abi mengernyit jorok.

"Tentu saja. Erina cantik, matanya besar, bibirnya tebal, kulitnya putih, rambutnya hitam, kan mirip seperti Princes."

Erina menatap boneka barbienya, ia sudah berhenti menangis tapi sesegukan itu masih ada. "Mas Abi mau jadi Prince-nya?" tanya Erina.

"Mau dong. Masa gak mau, princesnya kan cantik begini...Ayo Princes cantik jangan nangis lagi ya, nanti airmatanya abis. Airmata gak ada yang jual." Erina tertawa renyah. "Nah gitu, ketawa lebih enak dengernya daripada nangis. Telinga mas Abi jadi sakit."

Erina mengulurkan kedua tangannya ke arah Abi, mau tidak mau Abi pun membawa Erina ke dalam gendongannya. Sumpah, itu berat, tapi demi ketenangan ia rela menggendong gadis kecil ini.

"Mas, nanti Prince nikah ya sama Princes."

"Iya dong. Pasti itu."

"Janji mas?"

"Janji..."

.

.

.
**

Erina...

Itu mungkin hanya sebuah janji yang diucapkan dengan niat untuk membuatku diam, tapi untukku itu adalah janji yang benar-benar berarti untukku. Sejak itu aku mencintainya, tapi sejak itu juga dia menghindariku. Kenapa? Segala cara sudah kulakukan demi menarik perhatiannya, tapi tidak sekalipun ia kembali memandangku dengan tatapan teduhnya yang berwarna biru itu. Setiap kali aku mencoba menarik perhatiannya, dia pasti menatapku jijik, atau menatapku dengan tatapan benci. Mungkin caraku yang dulu salah. Memang, harus kuakui aku memang salah dulu.

Hei...aku masih kecil, aku belum tahu bagaimana caranya mendekati laki-laki. Kalau dulu aku memukulnya, melemparinya dengan boneka atau membuatnya marah untuk menarik perhatiannya. Sekarang aku akan menarik perhatiannya dengan cara yang lebih dewasa. Cara seorang gadis dewasa yang akan menggoda seorang laki-laki.

Ada yang bilang ini hanyalah cinta monyet, cinta anak-anak, aku hanya mengaguminya sebagai sosok seorang kakak atau pengganti Papaku? Percayalah jika itu memang benar, kenapa aku merasakan sakit yang luar biasa di dada ini ketika dia menikah dengan wanita lain? Kenapa aku masih saja berharap akan bisa bersamanya meski sembilan tahun sudah berlalu? Kenapa aku tidak bisa mencintai laki-laki lain? Kenapa aku terus memikirkannya? Dan kenapa aku begitu bahagia ketika tahu bahwa dia telah bercerai?

Apa ada yang bisa menjawabku? Kenapa?

Abi bilang ini hanyalah cinta monyet, baiklah akan kubuktikan padanya bahwa ini bukan sekedar cinta monyet.

Hatinya memang sekeras namanya, seperti batu. Tapi, batu pun akan berlubang jika terus ditetesi oleh air. Karena itu, aku akan terus berusaha untuk membuat hatinya yang sekeras batu itu menjadi pecah. Abimanyu Vernados Stein, kamu akan bertekuk lutut padaku sekarang. Muahahaha...

**

Abi...

Erina yang dulu selalu mengejarku dengan pedang kayu, memukulku, melemparku, mengganggu waktu belajarku, bahkan dia pernah mencoret-coret hasil print skripsiku yang siap dikumpulkan besok, membuatku sakit kepala dan langsung ingin mencekiknya saat itu juga. Jika tidak ingat dia adalah adik dari Edgar, aku pasti sudah memasukkannya ke dalam karung dan membuangnya seperti kucing liar.

Hal yang paling membuatku trauma untuk datang ke rumah Edgar adalah ketika dia memukul selangkanganku dengan pedang kayu. Kalian bisa bayangkan seperti apa sakitnya. Aku tidak tahu kenapa dia bisa senakal itu dulu. Si cebol yang menyusahkan, seperti itulah aku memanggilnya.

Tapi, sekarang dia tidak cebol lagi. Wajahnya yang dulu memang terkesan imut sudah tumbuh menjadi wajah seorang gadis yang cantik. Sembilan tahun tidak melihatnya, dia sudah berubah. Tidak lagi bermain pedang kayu, tidak lagi berlari-lari mengejarku, tidak lagi berwajah bodoh dengan ingus mengalir dari hidungnya. Dia gadis yang sangat cantik. Sungguh, sangat cantik. Aku mengakui itu.

Satu hal yang tidak berubah darinya, dia masih mencoba untuk menarik perhatianku. Aku selalu bilang itu cinta monyet, tapi dia selalu bersikeras bahwa dia sungguh-sungguh mencintaiku.

Bisakah aku percaya? Lucy saja yang dulunya juga mengaku sangat mencintaiku, tega berselingkuh dengan laki-laki lain. Apalagi Erina, gadis cantik yang masih sangat muda, digilai oleh banyak laki-laki yang usia mereka tidak terlalu jauh. Akan ada banyak sekempatan untuknya mencintai laki-laki lain.

Tidak Erina, aku tidak akan bertekuk lutut padamu. Carilah laki-laki yang usianya tidak jauh darimu.

.
.
.

Part pengenalan. Ini cuma pengenalan doang ya...
Aku lanjut begitu An Eternal Vow tamat. Tenang, satu part lagi kok. Hehehehe...abis itu Kyran-Naina dulu, baru ini yaaa...???
Wkwkwkwk... *dikeroyok masal*
Aku bakal update sebisaku aja... Terus berikan dukungan dan doanya. (kayak mau apa aja)

My Happy Ending [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang