Niat aku buat cerita ini awalnya emang pgn buat Erina nangis sampe yang baca ikut nagis. Pas ngehayal ini aja aku sampe berderai airmata (lebay). Hahaha...Rasa sakit cinta nggak kesampean itu benar-benar dalem, nusuk ke dasar hati.
Erina itu antara polos sama bego nggak jauh beda, cinta dan obsesi juga beda-beda tipis.
Abi disuruh menderita? Heuum? Kalian pikir dia selama ini nggak menderita? Kalian kan nggak tau...huahahhaa
Sountrack hr ini liat di mulmed ya. Lagu ini yang terus aku putar pas nulis part ini.
Siap-siap baper.
Playlist: Imposible - James arthur
Enjoy...and sorry for typos
===o0o===
Erina berjalan dengan tertatih-tatih, menyamai langkah kaki Abi yang lebar-lebar. Dari cengkraman tangan Abi di lengannya, Erina tahu bahwa laki-laki itu pasti sedang marah besar. Erina tidak bisa menebak apa yang membuat Abi sangat marah saat ini. Kehadirannya di tempat ini tanpa sepengetahuan Abi, atau karena pakaiannya yang tidak sopan? Erina tidak bisa menebak, dia juga tidak berani menduga-duga. Perasaannya saat ini campur aduk, antara rasa sedih dan malu atau rasa takut menerima kemarahan Abi.
Abi membawa Erina masuk ke dalam kamar kecil wanita yang berada di lantai bawah, beruntung di dalamnya tidak ada siapa-siapa sehingga Abi bisa dengan sesukahatinya ikut masuk ke dalam toilet itu. Dia mendorong Erina masuk ke dalam, lalu menutup pintu dan menguncinya.
Kamar kecil itu teridir dari dua bilik toilet dan dua washtafel dengan cermin besar di atasnya. Erina berdiri dengan tangan kanan mengusap lengan kirinya yang tadi dicengkeram kuat oleh Abi, sedikit terasa sakit, mungkin akan memar di sana. Matanya menatap takut-takut ke arah Abi. Laki-laki itu berdiri tegak dengan kedua tangan berada di pinggang, menatapnya dengan tatapan yang sulit Erina artikan. Dia tidak berani berbicara, hanya bisa menunggu kemarahan yang akan Abi keluarkan.
Namun, sudah lebih dari lima menit berdiri di sana, Abi belum mengucapkan sepatah kata pun. Hanya berdiri dengan tatapan nyalang dan aura yang mencekam. Erina mencoba menelan salivanya, namun entah kenapa terasa sangat sulit. Airmata yang tadi sempat turun langsung menghilang karena ketegangan yang ada di kamar kecil itu.
“Mas,” panggil Erina ragu-ragu. “Erin nggak salah, Pandu yang ajak Erin ke sini, terus bajunya juga belum sempat ganti. Tadi Erin mau ganti, tapi Pandu bilang nggak usah ganti soalnya tadi dia bilang pestanya pakai ada DJ gitu...Sumpah, mas. Erin bukannya sengaja kok.”
Penjelasan dari Erina tidak membuat kemarahan Abi sedikit mereda, malah semakin memanas. Kerutan di dahinya terlihat jelas. “Kalau pestanya beneran ada Dj, kamu mau datang dengan baju seperti itu?”
Erina menggeleng cepat. “Enggak, Erin pikir mas suka liat Erin pakai baju ini. Tapi..." Erina terdiam sejenak. "Mas nggak suka ya?"
Abi mengeraskan rahangnya, menahan teriakan atau bentakan yang hampir saja keluar dari mulutnya. Tangannya memijat kepalanya yang tiba-tiba saja terasa berdenyut. Ia mendesah, "Mas tanya, apa yang akan Edgar bilang kalau lihat kamu pakai baju ini?"
Erina mengernyit. "Marah," jawabnya.
Abi menurunkan tangannya agar pandangannya sepenuhnya tertuju pada Erina tanpa ada yang menghalangi. "Dan kamu pikir mas suka lihat kamu dandan seperti ini?"
Erina berusaha menahan getaran di bibirnya, matanya sudah kembali terasa panas. "Erin cuma pengen coba-coba aja. Siapa tahu emang mas suka, taunya malah nggak suka." Tangannya bergerak menghapus airmatanya yang berhasil lolos. "Erin cuma pengen terlihat seksi karena mas suka sama cewek seksi."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Happy Ending [TELAH TERBIT]
Romance[SEBAGIAN CERITA DIUNPUBLISH DEMI KEPENTINGAN PENERBITAN] Kisah cinta perbedaan usia yang sangat jauh. Erina yang berjuang untuk membuktikan bahwa cintanya bukanlah cinta monyet, harus bersaing dengan cinta masa lalu Abi, yaitu dokter cantik -Alice...