6. Malaikat Penjaga

52.2K 5.3K 859
                                    

Keren banget...gara" baper di part sebelumnya yang komen sampe 440an. Hahaha...

Happy reading...sorry for typos

===o0o===

Abi menatap miris tubuh kecil Erina yang terbaring koma di tempat tidur. Selang oksigen sudah dilepas hari ini, begitu juga dengan mesin pendeteksi detak jantung yang kemarin dengan setia selalu menemani Erina. Syukurlah hari ini keadaannya sudah membaik, meski belum sadar dari tidur panjangnya, kondisi Erina sudah bisa dipastikan akan beeubah jauh lebih baik. Hanya tinggal menunggu dia bangun, itu yang dokter katakan setelah alat-alat itu dilepaskan.

Abi meraih pelan tangan Erina yang tidak terpasang infus, mengecup pelan punggung tangan gadis itu. Sembilan tahun, Erina masih sembilan tahun dan dia sudah mengalami kejadian seperti ini. Koma karena tabrakan mobil yang diakibatkan oleh sikap tidak acuhnya. Seandainya saja hari itu dia menoleh ketika gadis itu memanggilnya, seandainya saja dia berbalik dan menghampirinya, maka Erina tidak akan mengalami semua kejadian ini.

"Erina kapan bangunnya sih? Mas Abi kangen nih." Abi mengusap kepala Erina. Belum ada respon nyata dari Erina dan itu tidak membuat Abi menyerah untuk membuat gadis itu terbangun.

"Kalau Erina mau buka matanya, mas janji akan terus jagain Erina. Mas janji akan jadiin Erina satu-satunya perempuan di hidup mas."

.

Abi menemui Edgar yang saat ini sedang menunggunya di cafe langganan mereka. Dia memesan kopi latte kepada pramusaji sebelum benar-benar mendekati sahabatnya itu.

Edgar menoleh pada Abi. Alisnya terangkat melihat penampilan Abi. Sedikit berantakan dengan jenggot yang baru tumbuh di wajahnya. Untuk pegawai kantoran, Abi terlihat mengenaskan.

"Gimana Erina?" tanya Abi.

"Udah lebih baik," jawab Abi. "Kenapa lo nggak jenguk dia lagi? Erina terus-terusan nanyain lo."

Abi menggeleng. "Lebih baik dia jauh-jauh dari gue atau hal buruk bakal terjadi."

"Pesimis banget."

"Terserah lo mau bilang apa."

Hening sejenak. Abi larut dalam pikirannya sendiri, sedangkan Edgar menatap Abi dengan tatapan menyelidik.

"Gue tau ini bakal terdengar gila, tapi gue mau nanya, lo suka nggak sama adek gue?"

Abi tertawa, "Lo emang terdengar gila."

Edgar menaikkan bahunya. "Kalau lo emang suka, gue bakal ijinin lo macarin adek gue asal lo janji mau nunggu dia gede."

Abi diam, dan tidak bersuara lagi setelahnya.

##

Erina duduk di depan meja rias, melepaskan handuk yang melilit di rambutnya. Tangannya bergerak otomatis mengeringkan rambutnya dengan hair dryer, tapi matanya tidak mengikuti gerak tangannya, dia menatap kosong ke botol lotion yang terletak di atas meja riasnya.

Setelah selesai menangis tersedu-sedu yang memalukan di pelukan ibunya, Erina mandi dan masih menangis selagi tubuhnya basah diguyur air hangat. Menyisakan warna merah dan bengkak di matanya. Seperti seseorang yang baru saja terserang penyakit mata.

Setelah rambutnya hampir kering sepenuhnya, Erina mengambil bagian yang tadi terkena permen karet. Melihat permen karet itu, membuatnya kembali teringat pada masa lalu, alasan kenapa dia tidak pernah ingin memotong pendek rambutnya, lalu alasan-alasan kenapa dia mengikuti semua yang Abi katakan padanya. Dia mempertahankan rambut panjangnya karena Abi menyukainya, dia mengambil jurusan Arsitek karena Abi memuji hasil gambarnya, dia selalu menghindari makanan manis karena Abi tidak ingin Erina terkena penyakit Diabetes, dan masih banyak lagi. Semua karena Abi.

My Happy Ending [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang