Dua orang gadis tampak berlari-lari sepanjang koridor sekolah mereka. Setiap sesekali mereka melirik pada jam tangan yang ada di pergelangan tangan kiri mereka, berharap waktu akan berhenti pada saat ini juga.
Hari ini adalah awal tahun ajaran baru bagi mereka, awal mereka menduduki bangku kelas tiga SMA. Untungnya, hari ini upacara bendera tidak dilaksanakan berhubung cuaca yang tak bersahabat, alias hujan. Kini pandangan mata mereka hanya tertuju pada satu titik, yaitu pintu kelas XII IPA 1. Kelas yang menjadi tempat dimana mereka akan menghabiskan sisa tahun terakhir mereka di putih abu-abu ini.
"Renandia Maharani?"
"Saya pak!" Semua orang dikelas tersebut menatap gadis itu, Renandia, atau biasa dipanggil dengan sebutan Rere.
Rere menghela napas lega, setidaknya dia sudah berada dikelas itu sebelum namanya disebut. Tapi, jangan sebut kelas, karena gadis itu hanya berada di dekat pintu.
Pak Adi, yang merangkap sebagai wali kelas sekaligus guru matematika mereka itu hanya menatap kedua gadis tersebut singkat. Guru yang satu itu memang jarang mengeluarkan suaranya, palingan dia hanya menghela napas dan kembali duduk.
"Kamu yang disebelah Renandia?"
"Dhearina Sallova pak," Jawab Dhea dengan wajah menunduk. Wajar saja, karena ini kali pertamanya dan Rere terlambat. Dan sudah dipastikan mereka akan duduk dibangku belakang kali ini.
"Baik, hari ini saya beri toleransi. Tapi ini yang terakhir, silahkan duduk dibangku yang tersedia."
Kedua gadis itu hanya dapat mengangguk bersyukur mereka tidak diberi hukuman oleh guru itu. Sepertinya, hari ini adalah hari keberuntungan mereka.
Mereka memerhatikan kelas itu sebentar, mencari dimana tempat duduk yang bisa mereka tempati. Dan hanya satu tempat yang tersisa di kelas itu. Paling belakang, paling pojok, didekat jendela yang menghadap ke lapangan sekolah.
****
Pelajaran sudah berlansung sejak dua jam yang lalu, dan kedua gadis itu juga sudah sibuk dengan kegiatan tulis-menulis mereka. Saat ini, tulisan yang berada di buku mereka adalah hal yang berbau dengan Biologi. Menggambar struktur alat pernapasan belalang beserta nama dan fungsinya."Dhe!"
"Apa?"
"Lo ada penghapus gak?"
Mendengar pertanyaan Rere tadi, Dhea langsung saja mengambil kotak pensilnya dan memeriksa, mencoba mencari sebatang karet penghapus di dalam sana. Dan hasilnya? Nihil. Tidak ada satupun karet penghapus didalam sana.
"No, gue gak punya. Coba aja deh lo pinjam sama anak depan," ucap Dhea sambil menunjuk arah depan dengan dagunya.
"Oke."
Rere menatap kedua bangku yang ada didepan mereka dengan pandangan ragu, mereka berdua sama-sama tahu kalau tidak ada yang mereka kenal diantara kedua gadis di depan itu. Dan ini adalah pilihan terakhir.
"Permisi." ucapnya kepada kedua gadis itu.
Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Hingga detik ketiga puluh pun tak ada respon yang diterimanya.
"Gue dicuekin!" Rere menyikut Dhea yang tengah asik dengan aktivitas menggambarnya.
"Coba aja lagi. Lagian lo juga sih yang nggak hati-hati, baru juga bikin satu garis udah salah duluan. Udah, ah. Jangan ganggu gue!" Dhea kembali berkutat dengan kertas putih dihadapannya.
Rere manyun. Bibirnya maju beberapa senti. Terbesit keinginan dari lubuk hatinya yang paling dalam untuk menjitak kepala sahabatnya ini. Tapi, ya sudahlah. Dhea memang begitu orangnya. Selalu fokus dengan apa yang dikerjakannya. Jangan coba untuk mengusik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Abu-abu In Love
Teen FictionPersahabatan, perselisihan, permusuhan, dan cinta adalah kata-kata yang menggambarkan masa-masa SMA. Tapi, kata yang terakhir menggelitik di telinga Rere. Cinta? Bahkan, dia sendiri tidak pernah merasakan perasaan aneh itu. Atau mungkin belum? Kare...