Suasana kelas XII IPA 4 ribut. Para perempuan berkumpul dan bergosip ria. Lelaki tak mau kalah, mereka pun sibuk dengan obrolan masing-masing.
Beginilah suasana di saat jam kosong. Guru yang mengajar tak masuk karena sakit.
Tugas yang dititipkan pun tak mereka kerjakan. Mumpung dikumpul minggu depan jadi tak usah bikin sekarang, begitulah prinsip mereka.
Raffa memainkan pena di tangannya. Ia memutar pena itu bak drumer yang memegang stik drum.
Lelaki itu sedang berpikir. Menyusun kata yang tepat untuk bertanya pada Briyan. Entah kenapa lidahnya kelu sejak tadi. Suasana kelas yang sedang "konser" ini juga membuat konsentrasinya pecah.
Ingin ia berteriak dan menyuruh mulut-mulut itu untuk diam. Namun, apa daya. Dirinya baru resmi menjadi anggota kelas ini. Tindakan itu hanya akan menjadi aksi bunuh diri. Pendatang baru tak berhak mengusik penduduk pribumi, kan?
Alhasil, Raffa hanya bisa mengawasi Briyan dari jauh. Briyan sedang asik bercanda dengan para lelaki di kelas ini. Entah apa yang mereka bicarakan, Raffa tak tahu. Pun tak ingin tahu.
Brak! Pintu yang semula tertutup kini terbuka. Bunyinya keras hingga sebagian besar dari mereka terkejut.
Semua kasak-kusuk kembali ke bangku masing-masing.
Tiba-tiba munculah seorang gadis dari balik pintu itu.
Mereka pun menarik napas lega. Ada juga yang berdecak kesal. Mereka mengira gurulah yang muncul.
Raffa membulatkan matanya. Gadis itu adalah Rere!
"Hai, semua! Maaf ganggu. Gue pinjem ketua kelas kalian bentar boleh?" ucap Rere kaku.
Tampaknya gadis itu gugup karena semua mata menatapnya.
Sontak, semua mata menuju ke Briyan.
"Cewek lo nyari, tuh!" celetuk salah seorang di kelas itu.
"Ciee, mantan Ketos ternyata jadian sama bendaharanya?" timpal yang lain.
"Dia siapa, ya?" Ada juga yang bertanya.
Memang, Rere tak seterkenal itu.
Suasana kembali ricuh.
"Heh! Sembarangan aja kalian. Rere bukan cewek gue, kali!" bentak Brian yang diiringi gelak tawa seluruh kelas.
Siulan-siulan nakal pun bermunculan.
"Udah, deh. Ngaku aja. Nggak usah backstreet-an!"
Gelak tawa semakin menjadi-jadi.
Rere hanya diam. Gadis itu tak menanggapi dengan serius semua perkataan tadi. Angin lalu, baginya.
Briyan beranjak dari duduknya dan menghampiri Rere. Ia mengajak Rere untuk berbicara di luar.
Raffa menatap kepergian Brian dengan curiga. Apa ia bisa minta tolong lelaki itu? Sepertinya Briyan lumayan dekat dengan Rere.
****
"Lo ngapain Re? Tumben-tumbennya nemuin gue kayak gini."
Rere menarik napas sebentar, lalu menatapa Briyan dengan pandangan kesal. Sejujurnya, dia tentu sangat tidak ingin ke sini. XII IPA 4.
Dia sudah lelah berurusan dengan para penghuni IPA 4 ini, pertama pendatang baru itu, kedua Briyan. Dan, jangan lupa teman-teman Briyan yang ikut mengolok-oloknya tadi.
"Jujur ya, Iyan, gue sebenarnya males banget ke sini. Tapi, ya mau gimana lagi? Kalo aja Dhea enggak--"
"Tunggu, tunggu. Lo kenapa sih? Denger nih ya, nama gue tu Briyan dan penyebutannya itu Brai-ye-n. Nama keren gue jadi cupu kayak gitu."
Briyan hanya memandang Rere yang tertawa bingung.
"Apa yang lo ketawain?"
Rere menggeleng sambil memegangngi perutnya. Sungguh, Briyan yang di depannya ini sangat lucu. Bagi dirinya tentu saja.
"Lo kayak emak-emak tau nggak, ngomel mulu, terima aja kali, Iyan itu nama kesayangan dari gue buat lo. Btw, gue kesini buat bilang kalo Silsa ngajakin kita rapat sepulang sekolah nanti. Katanya sih, minta bimbingan gitu. Lo bisa, kan?"
Briyan berpikir, sepertinya dia tidak ada acara penting sepulang sekolah nanti. Jadi, tidak masalah.
"Oke, ruang rapat, kan?"
Rere mengangguk dan tersenyum, "Yap, kalau gitu gue balik deh. Ketemu di ruang rapat yaa, bye bye Iyan."
Briyan hanya memandang aneh sambil menggeleng kepada Rere yang mulai menjauh menuju kelasnya.
****
Dia kembali ke kelas, tapi tidak kepada perkumpulan para manusia tadi. Briyan kembali ke tempat duduknya. Dan kalau pun dia kembali ke perkumpulan pria penggosip tadi, dia pasti sudah jadi bual-bualan mereka. Briyan sudah beberapa kali menjelaskan kalau Rere itu bukan pacarnya atau semacam itu. Tapi tetap mereka tidak mau mendengar.
Dia duduk kembali di samping Raffa. Dia tidak habis pikir kenapa Raffa tidak mau bergabung dengan teman- teman yang lain.
Dalam beberapa hari ini, memang Briyan sudah cukup mengenal Raffa dengan baik. Dia memang anak yang tidak ingin bersosialisasi lebih. Itu jugalah yang sudah dia dengar dari Ibunda Raffa dan adiknya saat dia dengan tidak sengaja pergi ke rumah Raffa.
Alex. Mereka memanggil Raffa dengan sebutan itu. Jadi, kenapa dia tidak menyebut Raffa dengan Alex? Lagipula mereka adalah teman sekarang dan juga tante Fiona, ibunya Raffa yang memintanya untuk terus dekat dengan Raffa.
Dia masih memandang Raffa, dengan teringat tentang perkataan tante Fiona. Raffa menutup dirinya dari orang lain karena ia telah kehilangan seseorang yang berharga. Itu adalah penjelasan singkat dari tante Fiona pada dirinya.
"Lo, kenal Rere?"
Briyan tersentak, pertanyaan yang diutarakan Raffa membuat pikirannya menjadi buyar. Entah kenapa ini terasa aneh.
Sudah beberapa hari ini Raffa seperti seseorang yang tidak peduli. Bahkan, sudah beberapa gadis yang mendekati dirinya, tetap saja dia bersikap tak peduli dan bahkan, dia tidak ingat nama gadis yang baru saja menyapa nya.
'Tapi, ini ... Rere?' pikir Briyan.
"Lupain, nggak jadi." ucap Raffa yang melanjutkan membaca bukunya.
"Eh, sorry. Bukan kenal lagi, malah kita dekat. Rere itu sahabat gue Al."
Entah kenapa mendengar jawaban Briyan membuat Raffa menghela napas lega. Dia juga tidak tahu mengapa begitu, bahkan dia sudah tidak peduli jika Briyan memanggil nama kecilnya.
"Hn." Dia hanya membalas Briyan dengan gumaman kecil. Sekarang tidak ada lagi yang harus dipikirannya.
"Tumben lo tanya? Lo ... Naksir Rere ya?"
"Enggak."
Walapun Raffa tidak mengakuinya, tapi tetap saja Briyan bisa melihat gerak geriknya yang lumayan gelisah setelah pertanyaan yang Briyan berikan itu.
"Gue yakin kok, enggak usah bohong deh lo," ucapnya sambil menaikkan alis menatap Raffa.
"Terserah lo."
Briyan menatap Raffa serius.
"Lo, mau gue bantu nggak?"
Raffa lansung menutup bukunya dan menatap Briyan yang serius.
Ntah jawaban apa yang akan diberikannya kepada Briyan. Di satu sisi, jika dia menyetujui bantuan Briyan, dia akan merasa mengkhianati seseorang itu. Tapi, di sisi lain, jika dia menolak. Semua keraguan dan kebimbangan yang ada di pikirannya saat ini tidak akan terjawab.
Jika dia tidak dekat dengan Rere, dia tidak akan pernah tahu kebenarannya. Kebenaran tentang apakah Rere itu adalah Queen, seseorang yang selama ini berharga baginya, atau Rere dan Queen adalah orang berbeda.
.
.
.
.
.
*To Be Continue*
Silahkan berikan pendapat nya tentang chapter hari ini, vote dan komen ditunggu :)-Update setiap senin-
[21 Agustus 2017]

KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Abu-abu In Love
JugendliteraturPersahabatan, perselisihan, permusuhan, dan cinta adalah kata-kata yang menggambarkan masa-masa SMA. Tapi, kata yang terakhir menggelitik di telinga Rere. Cinta? Bahkan, dia sendiri tidak pernah merasakan perasaan aneh itu. Atau mungkin belum? Kare...