"Re, ayo makan!" teriak Sang Ibu dari bawah.
"Iyaa Ma, bentar. Duhh mana sih tu name tag?! Perasaan nggak dibawa ke mana-mana deh, cuma diselipin ke baju doang, kok masih bisa hilang ya?"
Rere masih sibuk membongkar kamarnya, berharap benda yang dicari itu segera ditemukan. Kan sayang kalo harus beli baru lagi, dia cuma tinggal setahun ini belajar.
Lelah mencari, Rere mulai menuruti anak tangga di rumahnya, untuk menuju ruang makan. Mungkin, setelah makan nanti pikirannya akan terbuka untuk menemukan benda itu.
"Nyari apa, sih, Re? Kok lama amat," ucap Sang Ibu padanya, sambil menyanduk nasi ke piring Rere.
"Itu loh Ma, name tag Rere nggak ketemu."
"Kok bisa, sih?"
Rere mengeleng. "Ya, Rere juga nggak tau ma, tiba-tiba ngilang gitu aja. Aneh kan, Ma?"
Rissa menatap anak gadisnya sambil membelai kepala Rere, "Ya udah, ntar kamu beli lagi aja, dari pada kena hukum, kan."
Rere hanya mengangguk dan melanjutkan untuk mengambil lauk pauk yang akan ia disantap. Dia tidak sabar untuk menyantap makan malamnya, terlepas dari kepenatan mencari sesuatu, masakan ibunya memang sedap, selalu menggugah selera.
"Oh, ya Re, tadi papa nelpon mama, loh."
Rere berhenti sejenak dan menatap ibunya, ingin tau. "Terus papa bilang apa, Ma? Dia baik-baik aja, kan?"
"Tenang, mereka baik-baik aja, kok. Pokoknya, kita selalu berdoa buat kebaikan papa dan kakak kamu di sana, ya."
"Pasti dong, Ma. Mama tenang aja."
Rere menatap Sang Ibu sebentar dan melanjutkan kembali makan malamnya.
Orangtua Rere memang masih lengkap, tapi tenang, mereka tak berpisah dalam artian negatif, kok. Cuma karena keadaan saja. Sang Ibu yang harus menemani Rere di Indonesia dan Sang Ayah harus mengurus kakaknya yang terbaring lemas di rumah sakit. Tepatnya di London, Inggris.
Sekarang, dia hanya dapat berharap penyakit kakaknya sembuh dan mereka bisa berkumpul bersama lagi.
****
Dhea masih memerhatikan Rere yang sejak tadi seperti memikirkan sesuatu, tapi entah kenapa Rere tidak menceritakan apapun pada mereka. Biasanya, kalau ada masalah yang ia pikirkan, dia selalu bercerita kepada mereka."Lo lagi mikirin apa, sih, Re? Dari tadi bengong mulu," tanya Dhea yang membuat Tasya dan Jia menatap Rere ingin tahu.
"Bukan masalah ribet sih, ya cuman aneh aja."
"Terus?" Tasya menatap Rere lagi sambil memakan kripik yang mereka beli di kantin tadi.
"Name tag gue hilang. Gue nggak tau bagaimana bisa dan kenapa ya, yang jelas di mana pun gue cari tetap nggak ketemu."
"Tapi kan Re, kalo name tag lo hilang, terus yang lo pake itu apa?" tunjuk Jia pada name tag yang tertempel pada bajunya.
Rere memukul jidatnya pelan. "Duh Jia, please ya, kalo gak hilang ngapain gue perlu repot-repot mikirinnya sampe kayak gini. Dan juga ya, ini baru gue beli tadi di Kopsis."
Bentuk donat tercetak di bibir Jia. Ia paham.
"Itu cuma masalah sepele, Re. Ngapain diambil pusing?" hibur Dhea.
"Nah, bener tuh kata Dhea," sahut Tasya.
"Iya, sih." Rere pun hanya bisa pasrah.
Ini bukan lebay atau apa, hanya saja name tag itu sudah menjadi saksi perjalanan Rere selama di sekolah ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/68738615-288-k170026.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Abu-abu In Love
Genç KurguPersahabatan, perselisihan, permusuhan, dan cinta adalah kata-kata yang menggambarkan masa-masa SMA. Tapi, kata yang terakhir menggelitik di telinga Rere. Cinta? Bahkan, dia sendiri tidak pernah merasakan perasaan aneh itu. Atau mungkin belum? Kare...