Bab Enam

223 9 0
                                    

Briyan mengajak Raffa keluar kelas dengan isyarat dagu. Raffa pun mengikuti Ketua Kelasnya itu dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Kedua lelaki itu berjalan menyusuri koridor sekolah. Tujuan mereka adalah tangga yang menghubungkan lantai dua dengan lantai tiga.

Untungnya, tangga itu sepi.

Briyan menyender di ujung tangga sedangkan Raffa duduk di sebelahnya.

"Jadi." Briyan berdeham sejenak. "Lo beneran suka sama Rere?"

Raffa memutar bola matanya. "Apa tampang gue bilang kalau gue suka dia?"

Briyan tertawa lalu mengangguk.

"Lo salah," ucap Raffa. Lelaki itu meluruskan kakinya.

"Terus? Ngapain lo nanyain dia?" Briyan menaikkan kedua alisnya.

Raffa mengangkat bahunya. "Emangnya salah?"

Briyan meluruskan duduknya dan menepuk bahu Raffa. "Gue nggak tau lo ada urusan apa sama Rere. Tapi tenang aja."

Briyan menepuk dadanya."Lo jangan sungkan buat minta bantuan gue."

Raffa menarik napas dalam. Pikirannya kalut. Bantuan Briyan merupakan kesempatan emas baginya. Namun, apakah Briyan bisa dipercaya?

Akan sulit meminta bantuan lelaki itu tanpa menjelaskan perkaranya.

"Kok bengong?" tanya Briyan yang heran melihat kebungkaman Raffa.

Raffa mengacak-acak rambutnya. Ia duduk menghadap Briyan dan menatap lelaki itu dengan serius. Mau tak mau, ia harus mengambil resiko.

"Lo bisa dipercaya, nggak?" ucapan Raffa seolah menusuk Briyan.

Briyan tertawa. "Emangnya gue ini terlihat seperti pengkhianat?"

Raffa berdeham. "Oke, jadi gini."

****

Bel yang menandakan sudah berakhirnya proses pembelajaran menjerit keras. Para penghuni XII IPA 1 bersiap untuk pulang. Setelah mengucapkan salam dan doa, satu per satu penghuni kelas itu meninggalkan ruangan.

"Kalian duluan aja, ya," ucap Rere saat ia bersama ketiga temannya sudah berada di ambang pintu.

Jia tersentak. Gadis itu langsung merentangkan tangan dan menghadang siapa pun untuk lewat. Untungnya, hanya tersisa mereka berempat di sana. Para petugas piket hari ini sepertinya mangkir dari tugas.

"Lo mau ke mana? Toilet?" tanya Jia, "kita tungguin, kok."

Tasya menepuk bahu Jia. "Kalau ke toilet mah Rere nggak bakalan ngomong kayak gitu kali."

"Terus, lo mau kemana Re?" tanya Jia lagi sambil menatap Rere.

Rere pun tergelak melihat tingkah teman-temannya. "Gue ada janji sama anak OSIS."

"Emangnya mau ngapain?" tanya Tasya.

Dhea pun mengangguk paham.
"Biasa, sesepuh mau ngasih pencerahan," sahut Dhea sambil tertawa.

Rere menyikut Dhea.

"Jadi lo dulu anggota OSIS?" pekik Jia.

Ketiga temannya refleks menutup telinga.

"Nggak usah teriak juga kali!" bentak Tasya kesal.

Jia nyengir sambil mengangkat dua jarinya.

"Rere kan udah cerita. Masa' lo lupa?" Dhea mencubit gemas lengan Jia. "Lagian, gue juga anggota OSIS tapi lo kok biasa aja?"

Putih Abu-abu In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang