17. Diserang dan Menyerang

1.1K 172 30
                                    

Mataku terus menerus menelusuri buku pegangan yang kuterima dari Elis sejak kemarin malam hingga setiap kalimatnya melekat kuat dalam memori otakku.

Pelintas zaman, elder, generasi pertama, original dan bawahan, serta produk gagal.

Elder... Nara adalah elder, produk gagal... Maraditya adalah produk gagal. Generasi Pertama... Fei, Wen, dan Mei. Lalu original... Zen adalah original, dan dia bukan bawahan karena kurasa dia tidak begitu lemah untuk dipanggil bawahan. Pelintas zaman para aruna yang lebih kuat dibanding Elder karena usia mereka. Teringat olehku kata-kata yang kuterima tadi siang sepulang dari Kiota.

"Tidak ada yang tahu siapa, di mana, atau berapa jumlah pasti pelintas zaman ini. Ada kemungkinan para aruna tau, tapi entah itu benar atau mereka yang terlalu pelit buat kasih tau, info soal keberadaan para pelintas zaman belum bisa dikumpulin."

Jawaban Elis terngiang di kepalaku. Jika elder saja sering disebut monster, sebutan apa yang pas bagi para pelintas zaman ini? Ibliskah?

"Gue masih nggak habis pikir gimana bisa yang paling lemah terhadap perak dan hematit malah yang paling kuat," gumamku berpikir keras.

"Mereka boleh lemah," Anggi mengimbuhi ucapanku. "Tapi yang harus lo ingat, Ka, apa lo bisa mengalahkan mereka sebelum badan mereka lemah gara-gara perak dan hematit kita?"

Jawabannya belum tentu. Original yang tingkat resistensinya lebih tinggi namun jauh lebih lemah saja masih belum bisa kukalahkan dengan mudah. Kejadian saat aku mengalahkan Adel bisa dibilang kebetulan karena tidak pernah lagi berulang. Itu adalah saat pertama dan terakhir aku membunuh seorang elder dengan tangan kosong.

Akan sangat bagus jika momen itu bisa terulang.

"Gue denger juga, semakin kuat aruna, semakin kuat juga budaknya," Anggi melirikku dengan wajah menyindir. "Apa lo pernah liat kekuatan majikan lo, Ka? Seberapa kuat dia?"

Cowok sialan.

Bahkan dia pun sudah tahu status budakku yang kini telah menyebar luas di seluruh markas utama bagai kebakaran hutan. Awalnya hanya ejekan dan tatapan sinis yang kuterima, namun sejak diresmikannya UU sialan itu, aksesku di dalam markas semakin terbatas. Aku bahkan tidak mendapat izin akses ke ruang dokumentasi yang memuat seluruh catatan misi dan temuan yang dihasilkan oleh para anggota Komite Keamanan Khusus baik di sini maupun di luar negara ini. Mendengar kebanyakan info Anggi dan Elis berasal dari ruang itu yang selalu tertutup rapat, aku ingin sekali mendobrak ke dalamnya dan menelan semua info di sana.

Setelah semua pembatasan akses itu, seolah belum cukup, pandangan sinis dan tuduhan sebagai calon pengkhianat semakin gencar dilayangkan kepadaku. Semua intimidasi itu selalu mengikuti langkahku bagai bayangan. Kesetiaanku tak perlu diragukan lagi adalah milik pihak manusia dan K3, tapi jika majikan sialan itu memerintahkan mulutku untuk bocor, mulutku akan mengungkap seluruh rahasia tanpa ampun.

Maka wajar saja mereka sinis dan senantiasa skeptis padaku.

Menyebalkan. Tapi inilah kenyataannya. Yah kenyataan memang selalu menyebalkan.

"Hei, lo nggak usah liat gue kayak mau nelen kepala gue bulet-bulet gitu!" sanggah Anggi. "Bukannya gue udah pernah bilang kalau lo diawasin?" Ya, dan kalian berdualah yang sepertinya ditugaskan untuk mengawasiku. "Jelaslah gue tau kalau lo budak! Emang lo pikir kenapa budak kayak lo nggak didepak ke basis aruna sampai sekarang?"

Karena pak Riza memberiku kesempatan untuk menjadi K3 tanpa memandang statusku... atau kurasa itu jawabannya. Sepertinya dugaan itu sedikit meleset.

Sepertinya alasan sebenarnya adalah karena aku masih dirasa berguna dan karena ada orang yang berkompeten yang sudah mengawasiku, yang bisa mengurangi sedikit kekhawatiran semua orang.

Blood and FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang