Aneh.
Kupikir aku akan teriak, menangis, atau semacamnya. Aku kira akan akan ada rasa sakit, perasaan sesak seperti dihunjam tombak, kehampaan yang tak berujung atau perasaan seolah dunia di sekelilingku hancur.
Tapi ternyata tidak.
Aku tidak merasakan apapun. Rasanya seolah semua ini adalah hal wajar yang seharusnya memang terjadi, sewajar setiap hari yang berganti. Heran rasanya mengetahui diri sendiri masih bisa tersenyum di hadapan kenyataan yang demikian pahit, kejam, dan konyol.
Gemetar di tubuhku berhenti, kebingungan yang melandaku sirna, seiring kebenaran yang masuk satu per satu, menyambung semua logika yang terputus dan menyingkap semua yang selama ini tersembunyi.
Seluruh rasa sakit fisik itu kembali setelah beberapa saat mati rasa. Tangan kananku masih tidak bisa digunakan dan mengeluarkan peluru hanya akan memakan waktu. Musuh di hadapanku kini tidak akan menunggu. Salah satu kakiku juga tidak bisa digunakan, jadi tidak akan bisa lari untuk jarak yang jauh dan waktu yang lama. Kondisiku bertolak belakang dengan kedua musuhku yang saat ini dalam kondisi segar bugar.
Situasi saat ini benar-benar tidak menguntungkan.
Kalau begitu, kenapa aku masih bisa tersenyum di hadapan mereka?
Aku merasakan baik-baik genggaman katana di tanganku dan langsung tahu apa yang harus aku lakukan ... dan seharusnya sudah dari dulu aku lakukan. Rasanya terlalu menyenangkan sampai aku tidak bisa menahan senyum. Beban yang selama ini memberatkan kedua pundak dan kakiku hilang seketika. Tubuhku seringan daun kering yang dapat terbawa angin dengan mudah. Semua jadi masuk akal, pikiranku bersih, dan jawaban atas pertanyaan Yusriza muncul begitu saja di kepalaku tanpa ada keraguan sama sekali.
Dua pedang berdenting dekat sekali di depan wajahku. Bilah pedang yang sedari tadi tertahan di depan wajahku, bermaksud untuk menghentikanku dengan ancaman, menyingkir dengan mudah, lebih mudah dari perkiraan. Dia memang hanya mengancam tanpa mengerahkan tenaga sama sekali.
Tanpa menaruh rasa hormat sedikit pun, aku menatap lekat-lekat mata pria paruh baya yang memegang pedang itu, pria yang memegang komando tertinggi di Komite Keamanan Khusus, pria yang dulu dipercayai kakakku, dan pria yang menjadi tempatku mengabdi selama beberapa lama.
Sekarang, lucu sekali jika mengingat bagaimana aku bisa percaya padanya.
Pria ini tidak kelihatan terkejut menerima jawaban langsung dari pedang yang kupegang. Sepertinya dia sudah menyiapkan diri untuk semua jawabanku atau mungkin saja dia sudah tahu apa yang akan jadi jawabanku sejak lama. Selagi menatap wajahnya lekat-lekat, aku mengingat segala yang ia katakan. Dia benar.
Dua Belas Pilar diciptakan dan bukan lahir begitu saja. Mereka diciptakan melalui serangkaian proses rumit. Aku tidak begitu paham proses apa yang terlibat di dalam sana, namun berdasarkan apa saja yang sudah aku peroleh di sini, aku memahami satu dan dua hal, membuat semuanya masuk akal. Semua proses rumit itu melibatkan Klaus dan spesies langka.
Semua kebusukan ini berawal mula dari mereka berdua.
Darah Klaus digunakan untuk membuat prajurit yang kuat. Yusriza benar-benar tidak berlebihan ketika mengatakannya. Aku ingat tempat karantina itu. Di sana ada beberapa kakak-kakak berwajah tolol yang terus ileran dan meracau tak jelas. Ada sedikit sekali yang mengerti bahasaku dan berinteraksi denganku, sementara ada sangat banyak anak-anak yang tidak bisa bicara dengan baik. Mereka disebut 'anak nakal' dan kami sebagai 'anak baik' diharuskan menghukum mereka setiap kelas yang diadakan satu minggu sekali.
Aku harus membunuh anak-anak itu. Kelas harus dipenuhi warna merah ketika para guru kembali. Sampai sekarang aku masih mual jika membayangkannya. Dan semua eksperimen itu diperintahkan oleh satu orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood and Faith
Vampire[WARNING: YOUNG ADULT FICTION! Anak-anak di bawah 18+ harap menyingkir] [ARUNA SERIES #2] Komite Keamanan Khusus: Badan yang khusus menangani kasus para aruna di Indonesia. Intel, Badan inti, dan Dewan hanya sebagian kecil dari lingkup organisasi...