35. Kelompok Berbahaya

1.2K 170 28
                                    

Baru saja kumasukkan katana ke dalam sarungnya ketika pintu rumahku diketuk dari luar. Dihinggapi perasaan bingung, aku membuka pintu, dan mendapat sambutan dari trio cumi.

Siapa sangka aku akan begini rindu melihat mereka bertiga bersama lagi?

"Eh, beneran udah balik," Ega berkata kepada Indri dan Albert yang ikut memenuhi pintu depanku.

"Wah ini beneran Eka nih? Kita nggak lagi liat penampakan hantunya kan?" Indri berseloroh sambil menepuk-nepuk badan dan wajahku. "Eh, kakinya nempel ke tanah ding! Jadi dia bukan hantu."

Menghela napas, aku tersenyum pada mereka. "Ngapain kalian jam tujuh pagi ke sini?" Kulihat baju Ega dan Indri yang hanya kaus oblong dan celana pendek training lengkap dengan sepatu olahraga, persis peralatan untuk jogging pagi, sementara Albert mengenakan seragam dinas hitam khas K3.

"Kita biasanya lari pagi lewat sini kan?" Indri memain-mainkan alisnya, mengingatkanku bahwa mereka memang sering numpang buat sarapan di rumah ini. "Tapi lima hari rumah ini gelap dan kekunci mulu. Lo kemana sih?"

"Ke mana-mana," jawabku asal. Mereka kan tidak tahu aku ini budak, jadi tidak bisa aku membagikan pengalaman mengerikan Jayasrata kepada mereka bertiga.

"Lo berubah." Albert yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. Dan topik yang ia bicarakan tidak penting juga.

Aku memutar bole mata dengan malas. "Lo udah pernah bilang itu."

"Kali ini beda. Ya kan?" Dia meminta pendapat dua temannya yang lain.

"Yep. Lo akhirnya balik jadi lo yang biasanya." Ega menyahut sambil manggut-manggut setuju.

"Bener banget. Lo dari masuk ke ranking S jadi agak-agak belagu gimana gitu kan ya?" Indri meminta jawaban kedua temannya, yang disambut anggukan mereka berdua secara kompak. "Tapi sekarang muka lo udah enakan lagi diliat. Untung kita ngikutin saran Abet buat main ke sini ya!"

Kutatap Albert yang hanya tersenyum tipis padaku. Kubalas senyum itu dengan ucapan terima kasih tertahan yang sudah ada di ujung lidah. Dia sudah melihat bagaimana rusaknya aku saat melawan Maraditya dulu dan dia pula yang bilang aku berubah. Sekarang setelah aku kembali, dia bilang aku berubah lagi.

Pemikiran aneh terlintas di benakku. "Lo ini tau semuanya atau gimana sih?" tanyaku iseng. "Kita belum ketemu sejak hari pascapenyerangan waktu itu dan lo tau-tau ajak mereka ke sini? Padahal omongan kita akhirnya jelek banget lho."

"Tebakan," jawab Albert tenang. "Lo nggak muncul-muncul selama lima hari. Kita bertiga khawatir tapi mereka berdua ini," Albert menunjuk dua temannya, yang disahuti protes keras, "tadinya nggak mau ikut, tapi setelah gue ingetin kalau lo mendadak nggak keliatan sama sekali selama lima hari, lampu di rumah lo nyala siang-malem, dan nggak ada info apa-apa soal kemana lo pergi, mereka baru khawatir dan keliatan lega—

"Argh! Lo cerewet banget sih!" Indri protes.

"Tumbenan amat congor lo gede gini!" timpal Ega.

Sebelum mereka adu tinju di depan rumah, aku menghentikan mereka bertiga. "Begini, gue mau banget ngobrol, tapi gue ada tugas dadakan hari ini."

Mereka bertiga langsung melotot. "Hari ini? Langsung?" Indri memekik.

"Lo bukannya baru pulang? Sampe semalem gue lewat kemari buat beli nasi goreng aja lampu lo belum nyala," Ega menimpali dengan kekhawatiran yang tulus.

Sejujurnya memang baru dua jam aku beristirahat. "Nggak juga. Gue sanggup berangkat. Lagipula misi kali ini lumayan gawat, kalau gue boleh bilang, jadi nggak boleh telat."

Blood and FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang