[Epilog] Nara: Mereka yang Pergi

1.3K 162 44
                                    


Enam jam kemudian

Dunia tidak lagi aman.

Sejak kabar itu menyebar beberapa jam lalu, semua tempat di negara ini tidak lagi aman.

Pandangan mataku terpaku pada video yang ditayangkan pada setiap berita di televisi. Sejak petang menjelang dan matahari terbenam, semua saluran berita menampilkan berita mengenai penyerangan ke ratusan tempat seluruh negara ini secara bersamaan oleh sekelompok makhluk misterius. Rupa mereka mirip dengan aruna pada fase peralihan membuat para manusia menuduh aruna yang melakukannya, mereka ketakutan dan mengira Perang Merah kedua tengah dilancarkan di tengah malam buta oleh para aruna. Mereka salah, tapi mereka juga tidak sepenuhnya salah.

Karena itulah aku tidak bisa menyalahkan mereka. Tidak ada manusia yang punya umur cukup panjang untuk mengenal dan mengabadikan makhluk itu ke dalam catatan mereka. Makhluk-makhluk ini sudah ada sebelum sebagian besar manusia bisa mengingat tulisan dengan baik dan mereka bukan hanya musuh manusia, melainkan juga musuh aruna ... terutama aruna.

Mengingat apa yang terjadi di malam itu hanya membuat kepalaku sakit.

Makhluk-makhluk merah tanpa kulit itu memang aruna, tapi itu bukan kami. Aruna sendiri takut pada makhluk itu, aku pun takut pada makhluk itu karena ini bukan pertama kalinya kami bertemu mereka. Kami, terutama yang bertahan hidup dari tragedi masa itu, tahu betapa mengerikannya makhluk itu ... dan betapa mengerikannya orang yang menciptakan mereka. Lebih baik mati daripada menjadi salah satu dari mereka.

Tapi di tengah kengerian ini, aku merasakan kegelisahan, kegelisahan yang kurasakan sejak beberapa jam lalu. Konyol jika aku menunda semua keperluanku hanya satu kegelisahan yang disebabkan oleh sentakan kecil ini. Namun sentakan itu sangat mengganggu, seakan ada yang baru saja berhenti, ada yang baru saja rusak di dalam tubuhku. Rusak dan tidak dapat dibetulkan lagi.

Aku menoleh, menatap Fei yang datang ke ruanganku yang pintunya terbuka lebar. "Ada kabar apa?"

"Sesuai dugaanmu, belum ada manusia yang diserang, hanya ada korban dari pihak aruna. Sejauh ini data pihak yang tewas dan terluka masih didata ulang." Fei menghela napas. Meski dia tidak bertahan hidup, dia masih menyimpan sedikit ingatan dari hari itu, seperti halnya aku. "Mereka muncul dari arah kepulauan Karimun Jawa, menyebar lewat kargo kapal laut dan kapal udara yang dibawa secara ilegal dari sana. Meski dengan semua fakta itu, Dewan Keamanan Khusus masih terus mengeluh dan menuduh kita."

Aku memaksakan diri untuk berpikir di tengah kegelisahan yang tidak mau pergi. "Bisa diasumsikan bukan mereka pelakunya."

Fei mengernyit heran. "Bukankah malah ada kemungkinan mereka pelakunya?"

Mataku terpaku pada berita di televisi. Pembawa berita berdiri di tengah kekacauan. Di belakangnya, semua manusia berhamburan mencari tempat sembunyi, seluruh lalu lintas kacau, semua jalanan lumpuh, dan setiap checkpoint ramai oleh mereka yang ingin masuk maupun keluar. Listrik mati di beberapa wilayah karena ada beberapa gardu yang diserang makhluk-makhluk yang hanya kenal makan dan menghancurkan itu bahkan ada beberapa wilayah yang terisolasi karena makhluk itu memutus satu-satunya akses keluar.

"Tidak. Kalau mereka memang pelakunya, mereka akan menyalahkan kita dan membuat pernyataan, tapi mereka malah bertanya-tanya." Aku berpaling, memandang langit malam yang gelap. Bulan di langit masih berwarna putih tapi di mataku warnanya berubah menjadi merah pekat.

"Kamu sudah punya dugaan kalau begitu?"

"Aku butuh bukti," tegasku. "Cari tahu siapa yang ada di balik semua ini dan konfirmasikan kecurigaan kita apakah orang itu masih hidup atau tidak dan pastikan semua kaum kita bersembunyi ke tempat aman. Lakukan apa yang kau perlu lakukan pada mereka yang tergigit, Fei."

Blood and FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang