"Hei, apa kamu masih hidup?" Terdengar suara tinggi seorang gadis. "Hei! Uhm... kayaknya ini mayat, Kak."
"Oh, mayat ternyata." Terdengar suara seorang pemuda juga. Kedua suara itu terdengar sama-sama dekat. "Kalau gitu, ayo kita kubur. Kasihan kan di sini terus."
Perlahan, aku membuka mata, menerima cahaya matahari yang menyakitkan menusuk masuk ke mataku.
Yang paling kuingat adalah penampilan mereka berdua yang merupakan perwujudan dari kata 'usang'. Wajah mereka berdua tertutup debu serta dari tubuh mereka, menguar bau tanah yang kuat dan bau apak seperti orang tak pernah mandi. Rambut mereka berdua jauh dari kata rapi, lebih dekat ke kata berantakan, dan tak lupa penuh debu. Sang pemuda hanya mengenakan kemeja dari kain yang di kemudian hari kukenal sebagai kain belacu dan celana hitam yang warnanya sudah kumal, sedangkan yang gadis mengenakan baju terusan yang terbuat dari kain yang sama.
Dan mereka menatapku seperti menatap setan.
"Dia bukan manusia." Sang gadis, yang berdiri paling dekat denganku, berjengit. Matanya menatapku nyalang. Penuh kebencian. Saat itu juga dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kumal yang tersampir di pundaknya. Sesuatu yang tipis dan berkilauan dalam sinar mematikan.
Belati. Dengan panjang yang cukup untuk menghunjam jantung. Aku akan tamat. Setelah selamat secara ajaib dari semua serangan itu, aku akhirnya akan tamat. Di tangan seorang manusia rendahan, seorang gadis pula. Belati itu sudah terhunus di atas kepalaku.
Tunggu.
"Nggak usah repot-repot, aku nggak iba sama monster kayak kamu!"
Aku ditimpa banyak reruntuhan dan tidak bisa bergerak! Kamu masih mau membunuhku dalam keadaan seperti ini? Benar-benar manusia rendah!
Gadis itu menyeringai menghinaku. "Mohon belas kasihan aja pake cara sekasar itu. Kalian benar-benar makhluk sombong nggak tau diri!"
"Chandra, cukup." Suara itu menghentikan ocehan tak berguna gadis ini. Baik aku maupun gadis itu menoleh ke arah lain. Tak jauh dari kami, di atas puing-puing, duduk dengan santainya pemuda yang aku lihat saat sadar tadi. Berbeda dengan sang gadis yang tampak berapi-api, pemuda itu tampak setenang air. Tapi penampilan bukanah tolak ukur, tenang bukan berarti tidak lebih berbahaya dari yang berapi-api. "Toh dia nggak ngelawan kan?"
"Tapi, Kak..."
Kakak. Mereka bersaudara. Pantaslah gadis ini menurut. Ternyata pemuda iu memang lebih tua. Jika dilihat baik-baik, beberapa fitur di wajah mereka memang sama, terutama mata dan hidung mereka, sesuatu yang luput dari pengamatan awalku.
"Hei," Pemuda itu menatapku dengan wajah tanpa ekspresi, "bukannya lo salah satu pemimpin mereka? Kenapa penampilan lo kayak keset kaki begitu?"
Jangan menghina orang yang posisinya lebih tinggi darimu, Bocah!
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood and Faith
Vampire[WARNING: YOUNG ADULT FICTION! Anak-anak di bawah 18+ harap menyingkir] [ARUNA SERIES #2] Komite Keamanan Khusus: Badan yang khusus menangani kasus para aruna di Indonesia. Intel, Badan inti, dan Dewan hanya sebagian kecil dari lingkup organisasi...