3. Kisah-Kisah Seram

1.3K 219 26
                                    

Komite menyembunyikan sesuatu?

Organisasi yang menaungi kami menyembunyikan sesuatu? Kedengaran seperti ucapan orang yang terlalu banyak menelan novel konspirasi yang belakangan ini sedang booming.

"Ngaco lo!" Indri menyuarakan pendapatku. "Ada yang denger, lo bisa dapet masalah! Gue nggak ikutan ya! Lo yang pertama ngomong lo!"

Ega menghela napas. "Bener kata Indri, Bet. Anak-anak ijo kayak kita nggak boleh ngomong sembarangan."

"Anak ijo? Lo kata gue taoge?" omel Indri kesal.

Namun Ega tidak mempermasalahkan omelan gadis itu. Dia terus menatap Albert yang kini tampak bersalah sekali seperti maling tertangkap basah mencuri dompet orang.

"Setiap organisasi punya rahasia, Bet. Komite juga bukan pengecualian lho. Kalau lo penasaran itu urusan elo," jelas Ega, tumbenan sekali serius. "Gue sih asal dapet gaji nggak pake pusing-pusing. Toh belum tentu gue masih mau jadi anggota sampe tahun depan."

Indri membelalak. "Eh buset, lo mau ngundurin diri? Belum ada setahun lho!"

"Abisnya taruhan nyawa mulu sih tiap hari. Gue kan gini-gini masih sayang nyawa."

Tak lama setelah komentar ngaco Ega itu, hujan perlahan merintik, awalnya pelan lalu turun semakn deras.

"Alamat bakalan awet nih!" kata Indri seraya memandang langit. Kemudian kedipa jahil mewarnai mata hitamnya. "Eh mumpung di rumah Eka, acak-acak aja yuk!"

Baru saja aku bilang "eh?!" ketika dua dari tiga anak cumi itu menghambur masuk ke rumahku bak lebah mengerubungi bunga. Kalau sudah seperti ini, bahkan Albert yang biasanya pendiam pun akan ikut nimbrung teman-temannya.

***

Untungnya sebelum ada barang yang pindah tempat, aku sudah lebih dulu ada di dapur. Ya iyalah! Mana mau aku mengulang kekacauan di dapur? Baru satu minggu berlalu! Aku tidak mau begadang lagi semalaman hanya untuk membersihkan kekacauan yang mereka buat.

"Hei, telur adanya di kulkas! Ngapain lo ke kamar gue?"

"Lo bisa masak nggak sih? Kok tuang nasi aja berantakan gini?"

"Albert, lo kalau nggak mau bantuin keluar aja deh!"

Mendadak aku merasa jadi ibu tiri Cinderella yang kerjanya cuma nyuruh-nyuruh. Bedanya, kalau di cerita itu hanya Cinderella yang kusuruh, sekarang tiga-tiganya, ya, si Cinderella (entah siapa yang jadi Cinderellanya) dan dua saudara tirinya yang sama jadi objek omelanku. Mulai sekarang aku tidak akan berburuk sangka lagi deh pada ibunya Cinderella karena ternyata jadi ibu tiri yang nyuruh-nyuruh juga tidak mudah.

Yah ini lebih baik daripada aku yang jadi Cinderella mereka bertiga di rumahku sendiri.

Setelah berhasil menghindari kekacauan di dapur, kami semua makan nasi goreng Jawa hangat di ruang depan buatan Indri. Aku dapat porsi paling banyak, bukan karena mereka bermurah hati, tapi karena aku merampok duluan nasi ini dari penggorengan.

"Eh mumpung gelap dan ujan-ujan, cerita seram yuk!" kata Indri kemudian menyuapi nasi goreng ke mulutnya. "Ternyata emang nasi goreng gue paling enak!"

Yah kalau yang itu kuakui sih.

"Apanya yang paling enak? Keasinan gini kok!" protes Ega dengan mulut penuh.

"Lidah lo rusak! Tuh Eka aja belom apa-apa udah abis separo!"

Ega menatap piring porsiku dengan mata membelalak. "Eh buset, tuh perut apa karet?"

"Suka-suka gue! Ini kan perut gue!" jawabku sekenanya sambil berharap rasa malu tidak tercermin jelas di wajahku. Habisnya apa yang dikatakan Ega ada benarnya. Nasi goreng di piringku yang tadi bertumpuk tinggi kini kelihatan sama porsinya dengan yang lain.

Blood and FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang