[7] Hide and Seek

2.5K 226 24
                                    

Jangan pernah main petak umpet dimalam hari.

Karena kau takkan tahu penyesalan apa yang akan datang dalam hidupmu.

•●•●•●•●•●•●•●•●•●•●•●•●•●•●•●•●•●•●•

Seruan suara adzan menggema di gendang telingaku. Menandakan matahari mulai membenamkan diri di ufuk barat. Cahaya yang mulai redup, memanggil sang malam keluar dari tempat persinggahannya. Begitupun juga denganku, keluar dari rumah untuk melaksanakan ibadah sholat maghrib berjamaah di musholla. Teman-teman ku telah setia menungguku di depan rumah. Kami pun bersama-sama melangkahkan langkah kaki kecil kami yang masihlah murid berseragam merah putih.

3 rakaat usai sudah kami laksanakan dengan khusyuk, dipimpin dengan seorang imam yang umurnya sudah berkepala 4. Begitupun dengan sholat Isya' 4 rakaat. Kami laksanakan dengan khusyuk.

Seperti biasa, kami selalu bermain selepas sholat Isya', bersama-sama melepas penat di hari Kamis ini yang begitu padat dengan sejumlah tugas sekolah yang menumpuk. Hitung-hitung sebagai hiburan, jarang-jarang kami bisa bermain bersama-sama seperti ini.

"Ayo, kita mau main apa?" tanya salah satu temanku--Eza--sembari membenarkan sarung yang dipakainya.

Yang ditanya hanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Bingung mau main apa mengingat hanya ada 4 orang disini.

"Hmm...gimana kalau lempar sandal. Kan seru tuh!" usul temanku--Vena--lalu menunjukkan sandal swallow yang dipakainya.

"Enggak ah," timpal temanku--Sasa-- menolak ajakan Vena "aku kan pake klompen. Kamu mau aku lempar pake sandal ini?"

Vena hanya mengacungkan 2 jari di hadapan Sasa, menandakan perdamaian.

"Oh ya! Gimana kalau petak umpet aja? Kan kita udah lama nggak main tuh" usulku bersemangat. Memang diriku sudah kangen dengan permainan tradisional yang satu itu.

Sejenak, ketiga temanku hanya menekuk wajah mereka berpikir antara setuju atau tidak.

Eza menatapku, "Iya yah, udah lama nggak main game itu. Ayok main itu aja yok. Lagian kan nggak ada game lain yang kita tahu, cuman itu-itu doang" cerocos Eza.

"Tapi kan....takut..." Sasa, dengan muka ngerinya, bergidik sembari menatap suasana kampungku ini yang memang...sepi.

"Kamu itu penakut banget. Percaya ama yang begituan," cibir Vena lalu menjulingkan matanya kearah Sasa "Udah deh, itu aja. Skali-skali kan"

Akhirnya, tanpa menunggu ayam jantan bertelur, kami pun setuju untuk memainkan petak umpet di lapangan dekat musholla. Seperti petak umpet pada umumnya, pastilah ada hompimpah-nya dulu.

Kami pun melingkar dan mengipas-ngipaskan telapak tangan kami, "Hompimpah Alaium Gambreng!"

Putih semua

"Gambreng!"

"Eza! Kamu jadi!"

Karena Eza yang keluar duluan, ia pun terpaksa harus menjadi yang njaga dalam game ini.

"Kuitung sampe 5 ya, jangan jauh-jauh" ujar Eza dan dibalas anggukan oleh kami.

Eza pun mencari tembok untuk membenamkan wajahnya disana.

"Satuu..."

Kami saling berpencar. Mencari tempat yang aman untuk sembunyi.

"Duaa..."

Vena udah dapet tempat persembunyian.

"Tigaa..."

Gerobak yang aku jadiin tempat sembunyi ternyata dipake sama yang punya. Akhirnya cari tempat lain.

JANGAN DIBACA!!!! ✔ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang