Flashback (2)

135 11 2
                                    

Comeback again. Part kali ini moga dapet feel-nya ya. Play multimedia-nya kalo bisa. Oke?? :))

******

Jam lima di Monumen Bandung Lautan Api Tegalega. Aku yakin akan baik-baik saja. Dia pasti menepati janjinya. Itulah mengapa aku merasa dia berbeda dengan laki-laki lainnya. Aku yakin dia tahu. Aku yakin dia tahu tanpa aku harus mengatakannya.


Aku sampai. Lama sudah aku menyiapkan semua ini. Kini aku memakai dress berwarna biru muda lima centimeter diatas lutut, tanpa lengan. Rambut ku ikat menjadi satu keatas, dengan poni sedikit terumbai yang menutupi dahiku. Aku mengenakan Slim bag berwarna biru tua, dan flatshoes hitam. Ku lihat sekitarku, belum ada tanda-tanda kehadirannya. Aku masih menunggu. Banyak diantara mereka yang juga akan melihat konser ini, festival ini. Satu menit, dua menit, tiga menit. Satu jam sudah aku menunggu.

"Seharusnya aku meminta no teleponnya." Keluhku sebari menatap layar ponselku yang menunjukan pukul enam lebih lima belas menit. "Apa aku salah dengar. Mungkin jam tujuh." Aku masih tetap menunggunya.

Dua jam menunggu, dia tetap tidak datang. Dia pasti salah paham, apa dia membenciku sekarang? Atau, dia memang tidak mengajakku? Tapi, aku masih sangat ingat saat dia berkata 'Oke, dibawah Monumen Bandung Lautan Api Tegalega jam lima sore.' Ini bukanlah kencan. Aku menunduk menatap sepatuku. Ini salahku, aku yakin dia membenciku. Pasti dia tau jika dia adalah pengecualian. Althan, aku tidak mengerti maksud janjimu. Apa maksudmu? Aku ingin memasikannya. Althan, ayo kita bicara.

Aku berlari meninggalkan tempat itu. Aku tidak ingin air mataku tiba-tiba mengalir, aku tidak ingin orang-orang melihatku menangis. Setelah libur semester. Aku akan menanyakan hal ini.




Libur semester akan segera berakhir.






Bel istirahat berbunyi, siswa siswi kelas VII-1 segera berhamburan keluar, mulai dari anak laki-laki yang langsung berlari ke lapangan, ke kantin, sampai anak perempuan yang berkumpul di satu meja untuk makan dan gosip sana sini.

"Zuhra, ikut ke kantin?" Tanya Reina kepadaku sebari merapikan mejanya.

"Ayo." Balasku yang juga sedang merapikan mejaku. Memasukan buku kedalam tas. Kebetulan arah jalanku menuju kantin itu melewati kelas VII-2. Aku akan menanyakan kepada Althan mengenai konser itu.


"Althan pindah?" Tanya seorang siswa yang aku ketahui adalah kelas VII-2

"Katanya dia pindah saat liburan semester." Jawab siswa yang lain.

"Aku tidak tahu."

"Fauzi, teman sebangkunya pun tidak tahu."

"Tidak ada yang tau nomornya, tidak ada yang bisa mengubunginya."

"Aku tidak percaya."

"Apa ada masalah?"

"Aku penasaran."


Semester dua. Althan menghilang. Ku ketahui dari percakapan kelas VII-2. Dia pasti benar-benar marah padaku.


"Bye Zuhra." Seru Reina sebari melambaikan tangan padaku. Sekolah sudah sepi. Sebagian besar siswa sudah meninggalkan sekolah.

"Bye." Balasku membalaskan lambaian tangannya. Aku bersiap menyebrangi jalan, sedangkan Reina langsung menaiki angkutan umum.


Tik.. tik.. tik..

Rintik hujan seketika turun, membasahi bumi. Membuat para pengguna jalan, terutama pengguna motor dan pejalan kaki segera berlari mencari tempat berteduh. Setelah melewati jalan raya yang dilalui mobil, aku segera berlari menuju halte untuk berteduh.

Aku duduk bersandar tiang halte. Sepi. Aku melirik sejauh kursi halte berada.

"Mustahil dia ada disana" Ucapku lirih. Dia tidak ada disana. Ku hadapkan wajahku ke depan. Memandang lurus ke depan. Memperhatikan setiap tetes hujan yang jatuh. Ku paksakan bibirku agar tetap bisa tersenyum.

'Hujannya, turun tiba-tiba ya?'

'I-iya..'

"Mustahil!!" Teriakku lirih "Lain kali akan ku jawab lebih lucu". Aku kembali menatap hujan. "Kapan? Lain kali kapan?" Gumamku sendiri. Bayangan itu. Bagaimana saat dia membuka percakapan, walaupun hanya berapa kata. Bagaimana saat dia mendekatiku, meletakan jaketnya di kepalaku.

'Kamu pakai aja. Aku takut kamu masuk angin'

Wajahku memerah, mataku terasa panas. Zuhra, ayo tersenyumlah. Air mataku menetes, tetes demi tetes.

Bagaimana, bagaimana dia mengajakku menonton konser. Bagaimana dia yang tidak menepati janjinya. Dan bagaimana aku..

'Hentikan! Benar-benar menjengkelkan itu lah kenapa aku benci laki-laki. Mereka itu menyebalkan. Aku benci semua laki-laki.'

"Ini salahku. Tapi, apa kau tidak tahu bahwa kau adalah pengecualian!!" Pekikku kesal.

Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Air mataku tak terbendung.

Apa aku takkan bertemu dengannya lagi?

Air mata ini. Air mata ini tak bisa berhenti mengalir. Mengalir di setiap lekuk pipiku. Membasahi setiap centi wajahku. Suaraku sudah tak dapat ku kontrol lagi. Bergetar.

"Althan."Seruku lirih.

Aku berdiri. Berlari. Membiarkan tubuhku terkena hujan. Aku sudah tidak takut, aku sudah tidak takut orang melihatku menangis. Karna kini, air mataku telah berbaur dengan hujan.

"Althan, kapan kita bisa bertemu?"

**********

#Flashback off

"Althan." Aku berdesis. Air mataku menetes. Aku tersenyum. Ku tutup buku di meja belajarku. Air mataku menetes lagi.

"Sampul buku gue basah. Haha.." Aku tertawa, entah, ini tawa paksaan atau kebahagiaan.

"Lo cengeng Zuhra." Desisku lirih sebari menyeka pipi. Mengusap air mata yang mengalir. Lucu memang mengingat masa-masa itu.

"Cinta Anak Monyet. Haha.." Aku tertawa, lagi. Lalu tersenyum lagi.

Aku beranjak bangun dari meja belajar. Tidak ingin terbawa masa lalu. "Zuhra, Move On." Teriakku lirih. Mungkin dia bukan Althan, hanya wajahnya saja yang mirip. Toh, aku melihatnya hanya sekilas.

Aku segera beranjak ke tempat tidur. Ku matikan lampu, lalu menarik selimut. Berharap besok aku akan lupa semuanya.


*****

Pendek banget nih yang sekarang. tunggu kelanjutannya ya. :*

Dapet feelnya nggak? enggak ya? vomment yaa.... :))

About DelanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang