Flashback (1)

166 13 1
                                    

I'm comeback. Jangan lupa Vomment ya.

*******


Apa mungkin itu dia? Kenapa di acuh?

Atau mungkin dia sudah tidak mengenaliku?

#Flashback

Aku benci laki-laki. Aku sangat benci laki-laki. Terutama setelah masuk SMP. Mereka itu, ugal-ugalan, berisik, dan mereka itu bermasalah. Tapi diantara mereka, Althan dari kelas VII-2, entah kenapa dia selalu terlihat berbeda. Althan tidak tinggi, suaranya tajam, nyaris seperti perempuan. Wajahnya mewakili sifatnya yang tenang, laki-laki yang tidak banyak ulah. Fashionnya yang seadanya, tidak gaul dan tidak kucal. Kulitnya putih bersih. Althan berbeda dari yang lainnya. Mungkin, itulah sebabnya, aku merasa nyaman di sampingnya. Aku tidak membencinya. Aku tidak membenci Delan Althan Saputra.

Aku mengenalnya. Tapi mungkin dia tidak mengenalku. Atau dia hanya sebatas tau aku. Tapi, akhir-akhir ini aku merasa canggung. Dimanpun mata kami bertemu, kami akan mengalihkan pandangan. Lalu, pandangan kami bertemu lagi.

Sore itu, bus yang aku tunggu tak kunjung datang. Aku masih menunggu di halte di seberang sekolah. Gerbang sudah terlihat sepi dari mereka yang berlalu lalang untuk pulang. Tersisa satu dua orang yang masih melangkahkan kaki untuk kembali kerumah. Tiba-tiba, mata ku terbelalak melihat Althan sedang menyebrangi jalan dari gerbang sekolah menuju halte yang aku tempati. Aku menundukan kepala, jujur, aku gugup.

Tik.. tik.. suara rintikan hujan menimpa atap halte yang terbuat dari asbes. Althan yang baru menyebrang segera berlari menghindari rintikan hujan. Berdua, hanya aku dan dia yang berada di halte bus sekarang. Kini aku duduk, aku duduk di ujung bangku halte. Dia menaruh pantatnya di ujung yang lain.

Aku menatapnya, wajahnya basah terkena air hujan. Beberapa bagian seragamnya juga basah. Dia membalas menatapku. Sungguh, aku tak sanggup berhenti menatapnya. Ku palingkan wajahku. Jelas, aku tak sanggup terus menatapnya. Tidak mungkin aku terus menatap wajahnya terang-terangan. Dia memalingkan wajahnya menatap obyek lain. Hening, itu lah yang aku rasakan. Hanya suara rintikan hujan yang jatuh membasahi bumi yang aku dengar saat ini. Aku mengusap merapikan rambutku yang basah.

"Hujannya, turun tiba-tiba ya?" Degg, jantungku berdetak. Dia membuka suaranya. Mengajakku bicara. Aku yakin dia bosan dengan keheningan ini. Jujur, aku pun bosan. Suaranya terdengar ragu untuk mengatakan. Wajahnya masih menatap obyek lain.

"I-iya.." Jawabku gugup. Payah, kenapa aku menjawab 'ya'. Seharusnya aku menjawab yang lebih lucu. Jawaban pendek itu terlihat keadaan-ku yang gugup. Mengapa aku merasa gugup. Kenapa ya? Bukankah itu membuktikan bahwa aku memiliki perasaan. Apa? Mustahil. Aku, jangan-jangan, malu sekali. Aku harus mengatakan sesuatu, jika tidak. Ini akan sangat memalukan.

Bus yang aku tunggu tak kunjung datang. Keheningan kembali melanda kita berdua. Ingin sekali aku membuka percakapan. Tapi kegugupan membuat bibirku bungkam, tak bisa berkata. Biarlah ini menjadi sesuatu yang memalukan. Udara dingin sedikit demi sedikit menusuk kulitku. Sial,aku tidak membawa jaket. Aku menggosok kedua tanganku, berharap suhu tubuhku naik. Berharap, tubuhku tidak kedinginan lagi. Aku menunduk, menyerah akan suhu yang rendah ini.

Mataku terbelalak, saat melihat dia, Althan. Duduk di sampingku, tepat di sampingku. Jarak kami kurang dari sejengkal. Sebari meletakan jaketnya diatas kepalaku. Menutupi kepalaku dari sedikit rintikan hujan yang mulai memasuki halte. Deggg.. aku gugup. Aku menatapnya. Dia menoleh, menatapku, lalu kembali menatap jalan yang basah.

"E-eh?" Responku. Sungguh, kali ini, bibirku tidak bisa diajak kompromi. Aku gugup. Darahku mengalir deras, jantungku berdetak kencang. Aku yakin, seketika wajahku memerah. Aku menunduk, mengusap pipiku. Aku tak mau dia tau wajahku memerah. Aku kembali menoleh menatapnya, kini ku tutupi wajahku dengan jaketnya yang ada di kepalaku. Dia tak menjawab, hanya tersenyum dan mengangguk.

About DelanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang