1

56.4K 6.2K 351
                                    

Aku menatap tajam ke arah Rega, kalau saja tatapanku bisa mengeluarkan api aku jamin Rega pasti sekarang sudah hangus terbakar oleh tatapanku.

Semakin hari tingkahnya semakin tengil saja, baru juga menjabat sebagai ketua BEM tapi lagaknya seperti seorang Presiden saja.

"Bukannya di rapat kemarin lo bilang lo setuju sama proposal gue tapi kenapa sekarang lo bilang nggak?" Aku membentaknya tepat di depan teman-temannya.

"Anggaran biayanya terlalu gede."

"Kenapa nggak bilang dari kemarin kalau anggaran biayanya terlalu gede?"

"Lupa," jawabnya enteng.

Ingin rasanya aku memukul wajahnya itu dengan tong sampah.

"Nanti kita omongin lagi, gue harus nemuin Pak Syarif dulu."

"REGA!" teriakku kesal, aku benar-benar tidak bisa menahan emosiku lagi. Tanpa mempedulikan keberadaan teman-teman Rega yang kini tengah memperhatikanku--- kulempar novel yang kebetulan ada di tanganku yang tebalnya lebih dari lima centi ke arahnya. Dan novel itu mengenai punggungnya.

Dia menghentikan langkahnya dan menolehkan kepalanya ke arahku "Apa?"

"Gue sebel sama lo!"

"Sayangnya gue cinta banget sama lo," jawab Rega sambil menyeringai.

"Ciyee yang udah halal," ledek teman-teman Rega. Membuatku bukan main malunya.

🌿🌼🌿

"Ana.. Annandhita!"

Aku mengabaikan panggilan Rega. Aku masih sebel sama dia. Bener-bener sakit hati sama tingkahnya yang kaya para pejabat yang hobi banget ngumbar janji tapi ujung-ujungnya nggak pernah ditepati. Dia udah janji bakal acc proposal aku, tapi mana buktinya. Disaat waktunya udah mepet dia malah nolak proposal yang aku buat dengan susah payah.

Tahu nggak sakitnya kaya gimana? Sakit banget, tapi nggak berdarah kan aneh?

"Masih ngambek? Nggak baik ngambek sama suami, nanti kena azab loh."

Aku melotot marah padanya.

Ya Allah jangan azab hamba, sungguh andai suami hamba tidak semenyebalkan dia tentu hamba akan menjadi istri yang berbakti. Tapi kalau suaminya macam Rega bawaannya pengen banget mutilasi dia. Astagfirullah...

"Jangan bengong nanti kalau kesambet gue yang berabe ngurusnya," ucapnya sambil memakaikan helm di kepalaku. Bener-bener nggak sopan nih suami.

"Siapa yang bengong. Gue lagi doa sama Allah biar nggak kena azab gara-gara lo. Rugi banget kalau gue sampe kena azab hanya gara-gara lo."

"Makanya kalau nggak mau kena azab lo harus jadi istri yang manis. Jangan jutek, jangan marah-marah, jangan ngomong kasar dan yang terpenting lo harus layani gue."

"Emang gue babu lo. Gue tuh istri lo!"

Dia tertawa sok ganteng, tapi emang ganteng sih.

"Udah ah cape gue tiap hari adu mulut mulu sama lo. Cepet naik bentar lagi hujan!"

Berhubung aku memang nggak pernah dikasih uang lagi sama Ayah semenjak resmi menjabat sebagai istri Rega Mahardika jadi mau nggak mau pulang pergi ke kampus aku nebeng dia dan kalaupun mau jajan akupun harus minta sama dia. Bener-bener teraniaya hidupku ini.

Aku memukul helmnya saat tiba-tiba dia menggas motornya saat aku belum duduk dengan mantap di belakangnya, hampir saja aku terjerembab ke belakang.

"Gue hampir jatuh," gerutuku sambil terus memukuli helmya.

"Makanya pegangan."

Dengan berat hati akhirnya aku memegang bahunya.

"Ya ampun Ann. Dimana-mana kalau dibonceng itu megang pinggang bukan bahu."

"Berisik. Terserah gue dong. Tangan gue ini yang megang."

"Tapi kan yang lagi lo pegang itu bahu gue."

"Riweuh," akhirnya mau tidak mau tanganku yang tadinya memegang bahunya kini berpindah memegang pinggangnya.

🌿🌼🌿

Padalarang, 19 Jumada I 1141H

I'm With You | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang