Pagi ini aku merasa kacau. Papa dan Mama tidak datang ke sekolah untuk memenuhi panggilan sekolah. Aku dikira tidak memberikan surat itu pada orangtuaku sehingga nanti sepulang sekolah wali kelas dan psikolog hendak menemui orang tuaku. Tapi kenapa psikolog itu ikut-ikutan? Nggak asik.
Aku duduk di kursiku dan menghela nafas panjang. Kazuka, si murid pindahan itu mendekatiku dan duduk di sampingku. Aku hanya melihatnya tanpa berkata-kata. Tangannya menggenggam di atas meja seperti ingin mengatakan sesuatu.
"Hei," sapanya dengan pelan. "Apa kau tidak merasa aneh sejak kemarin?" Dia bertanya dengan sedikit berbisik.
"Aneh? Aku merasakannya. Tapi kenapa? Ada apa dengan semuanya?"
"Kau bahkan tak tahu apa sebabnya? Padahal kau yang menghabisinya."
"Aku? Menghabisi siapa?"
"Preman sekolahan itu."
Sontak aku kaget dan berdiri dari kursiku. Mundur beberapa langkah. "Jangan bercanda!" teriakku hingga seisi kelas memandangku dengan takut. Kemudian Kazuka membuat isyarat agar tidak menimbulkan keberisikan dan menyuruhku duduk di tempat semula, aku mengikuti kemauannya. "K-kau bohong, kan?" tanyaku sekali lagi dengan merinding. "Jika kau tahu kalau aku yang menghabisi mereka, lalu kenapa kau masih mendekatiku? Kau gila ya?" Sekali lagi aku berteriak sampai Kazuka membungkam mulutku.
"Sttt..., diamlah. Sudah kubilang, kan? Jangan keras-keras. Aku tetaplah sama sepertimu. Aku juga manusia," jawabnya dengan senyum. Aku tak tahu ada apa dengan gadis satu ini. Dengan senyuman ramah, dia berdiri dan berlari kecil menjauhiku. "Jika kau mencariku, aku ada di perpustakaan," ucapnya di ambang pintu.
Aku kembali merasakan keanehan sampai pulang. Guru dan psikologi mendampingi di belakangku untuk menuju rumahku. Aku seperti dikawal orang elit. Sesampainya di rumah aku mengetuk pintu kemudian membukanya dengan pelan.
"Tadaima." Aku mengucapkan salam kemudian masuk, mempersilahkan guru dan psikolog untuk duduk di kursi tamu. "Maaf kalau rumah saya kotor. Mama tidak membersihkan rumah sejak dua hari yang lalu. Saya akan memanggilkan orangtua saya. Jadi tunggu sebentar," ujarku dengan senyum kemudian menaikki tangga untuk ke kamar orangtuaku namun aku tak menemukan mereka di sana. Hanya ada selimut yang tertata rapi.
Kemudian aku menjelajahi setiap sudut di lantai dua, tapi aku tetap tak menemukan mereka. Lalu aku hendak menemui guruku di ruang tamu, mereka juga tak ada di sana. Aku mencarinya lagi dan alangkah terkejutnya aku saat melihat guru dan psikolog berada di ruang makan bersama orangtuaku. "Ah..., Papa! Mama!" pekikku. Guru dan psikolog memandangku dengan pandangan jijik campur takut. "Di sini sangat bau, bisakah kita pindah ke ruang tamu?" Aku melihat psikolog itu menyalakan ponselnya dan mengetik sebuah nomor. Nomor polisi! "Tolong! Jangan hubungi polisi!"
"Diamlah, Kurosaki Nozomi!" bentak wali kelasku yang merupakan guru olah raga dengan badan yang kekar. Kemudian mengunci tubuhku hingga aku tak bisa bergerak.
"Kenapa? Jangan polisi! Kumohon! Papa dan Mama akan dipenjara nanti!" Aku mengerang.
"Papa dan Mamamu sudah mati!" teriak guruku. Sontak kata-kata yang terlontar membuatku lemas dan berhenti memberontak. "Orangtuamu sudah tiada."
"Tidak. Tidak mungkin! Aargh!" Aku berteriak hingga polisi datang dan menyuntikku dengan suntikan bius.
***
Aku terbangun dan merasa tubuhku masih lemas. Aku hanya melihat ruangan putih seperti ruangan karantina atau memang ruangan karantina. Aku meraba luka yang ada di leher dan mataku lalu menyadari kalau luka itu sekarang lebih terawat dan diobati dengan baik. Hal terakhir yang kuingat adalah sebuah kata yang diucapkan guruku tentang orangtuaku. Apakah benar mereka meninggal?
Di tengah-tengah pertanyaanku, aku mendengar pintu ruang karantina ini dibuka dan seseorang dengan pakaian santai memasuki ruangan dengan ramah dan memperkenalkan dirinya. Di ruangan itu dia duduk di sampingku kemudian berkata, "Aku turut berduka tentang orangtuamu. Tapi tetaplah semangat untuk hidup walaupun tanpa orangtuamu, ya? Masa depanmu masih panjang."
"Benarkah?" tanyaku.
"Iya. Tentu saja. Aku ingin bertanya sesuatu tentang kehidupanmu di rumah dan di sekolah. Boleh?"
"Ya. Tapi sebelumnya, kenapa orangtuaku meninggal?"
Psikolog itu menarik nafas dalam dan menjawab, "Orangtuamu meninggal dengan cara yang biasa. Seperti orang lain."
"Jangan bohong," ujarku.
"Aku tidak bohong. Sungguh."
"Bohong."
"Eh?"
"Aku telah membunuh mereka."
Ekspresi psikologi itu berubah drastis menjadi ekspresi setengah kaget. Kenapa? Terkejut karena melihatku membunuh orangtuaku? Aku menyadari perbuatanku! Aku masih waras! Aku tidak mungkin membunuh tanpa sadar. Itu konyol sekali. Tentu saja aku bercanda setelah aku membunuh orangtuaku. Aku benar-benar tahu kenapa semua orang bersikap aneh padaku. Aku tahu kenapa orangtuaku tidak datang ke sekolah. Aku tahu kenapa aku dipanggil ke ruang BP dan mendapat tes psikologi. Karena aku membunuh preman sekolahan itu, kan? Aku sepenuhnya sadar dengan apa yang kulakukan. Hei, aku pintar, kan? Aku sudah melawan mereka, kan? Aku memiliki keberanian, kan?
Tak lama kemudian aku diinterogasi dengan borgol yang mengunci tangan dan kakiku. Disuruhnya aku menceritakan semua dari awal. Jadi aku ceritakan saja semuanya.
Tanpa terkecuali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Metamorphosis [END]
Mystery / Thriller[BELUM DIREVISI] Di-bully di luar rumah, di siksa di dalam naungan keluarga. Setiap hari, bagai tak ada hidup tanpa luka. Kehidupan yang bahagia hanya angan-angan dalam mimpi yang terlupakan. Hidup ini tak lebih dari sekedar siksaan untuk masokis...