Kejadian yang kedua berawal saat ada murid pindahan lagi pada tahun kedua saat SMP, satu tahun setelah kejadian yang pertama. Lebih tragis dari pada kematian kutu buku yang lalu. Langsung mati di tempat tanpa harus mengunjungi rumah sakit.
Dia menyukai keadilan dan terus mengagungkannya diatas semua yang ada di muka bumi. Dia juga merupakan atlet karate yang hebat. Suatu hari dia melihatku disiksa habis-habisan oleh preman sekolah. Mungkin dia geram degan apa yang dilihatnya. Baginya kejadian itu sama sekali tidak adil dan merugikanku, merupakan kegiatan yang tercela. Dengan gagah berani, dia berlari dan menghabisi preman yang memerasku hingga semunya berlutut di hadapannya sambil meminta maaf.
"Kau tidak apa-apa?", tanyanya padaku sambil mengulurkan tangan. Aku mengangguk perlahan kemudian bangkit dan berterimakasih. Setelah itu, kami berteman dan melakukan semuanya secara bersamaan. Dia mengajari cara membela diri dan meningkatkan kemampuan fisik padaku. Kemudian aku bergabung dengan dojonya karena orang tuaku juga mengizinkanku asal nilaiku tidak jatuh. Itupun aku minta dengan sangat sampai aku dibantingnya.
"Sebenarnya kau itu kuat. Tapi kau hanya kurang pelatihan saja. Kau tahu? Kau bisa menghabisi semua preman itu sendirian. Aku benar-benar salut padamu!", ujarnya dengan penuh senyuman aku hanya tersenyum dan memandangnya di saat matahari mulai tenggelam. "Kau cukup pendiam dan suka membaca buku, ya? Ilmu apapun yang kau dapat, kau takkan bisa memanfaatkannya dengan maksimal tanpa kekuatan fisik."
"Hanya sebuah lagu tentang diriku.", jawabku.
Di sebuah malam, sepulang dari dojo di hari pertama, aku berjalan beriringan dengannya sambil bercanda. Namun sekelompok preman sekolah yang banyak menghadang kami saat berada di jalan tembus berupa gang sempit. Dia langsung memasang kuda-kuda, aku belum tahu apa-apa hanya bisa membela diri sebisaku dan dengan sekali tendang, aku terjatuh. Berbeda dengannya yang masih bertahan membela dirinya. Tapi dia lengah dan mendapat luka tusuk di pinggangnya kemudian tumbang dengan perlahan.
Sakit itu pasti cukup pedih untuknya yang cuman mendapat luka pukulan, bukan tusukan. Setelah itu mereka menyeretnya dan membantingnya ke tembok hingga dia lemas lunglai, memukul dan menendangnya berkali-kali hingga dia mimisan dan muntah darah.
"Yamete yo...", rengekku pada mereka dengan tanggan yang mencoba meraihnya dan tak kesampaian.
Dengan pipa besi, mereka memukulnya, menusuknya dengan draft dan pisau. Aku melihatnya namun tak bisa berbuat apa-apa. Hanya berteriak dan memohon. Aku berteriak kecencang-kencangnya saat 'pemanis' berupa kapak ditancapkan ke kepalanya hingga otaknya keluar. Naas, sadis, dan kejam. Setelah itu mereka meninggalkanku dan mayatnya. Aku benci diriku dan hidupku. Setelah kutu buku, ahli karate lalu apa?!
Aku meringkuk di kamarku hingga Papa mendobrak pintu kamarku dan melemparku seperti boneka beruang yang tak dibutuhkan lagi, menginjakku seperti sampah. Keadaan di luar dan di dalam rumah tak ada bedanya. Oh iya. Papa kan juga preman dan Mama kan pelacur jadi itu sama saja dengan mereka, kan?
Setelah kejadian itu aku hanya mempelajari karate dari dojo online di internet.
Semua orang di sekolah memandangiku saat aku menuju ruang BP dan di ruang BP aku hanya diberi tahu agar tidak melibatkan orang lain karena sudah ada 2 jiwa yang melayang karena urusanku. Aku tahu itu. Aku tahu kalau aku harus berhenti melibatkan orang lain tapi aku juga seorang makhluk social. Jalan kelaurnya adalah aku harus menutup pergaulan dan perasaan kasihan, kecewa, berharap, dan kesedihan dalam hatiku. Aku harus kuat sangat kuat sampai aku bisa melihat wajah penyesalan mereka. Hari ini, semua jendela informasi membahas tragedy pembunuhan di gang kemarin malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Metamorphosis [END]
Gizem / Gerilim[BELUM DIREVISI] Di-bully di luar rumah, di siksa di dalam naungan keluarga. Setiap hari, bagai tak ada hidup tanpa luka. Kehidupan yang bahagia hanya angan-angan dalam mimpi yang terlupakan. Hidup ini tak lebih dari sekedar siksaan untuk masokis...