"Apa kabar lukaku?", tanyaku pada diriku sendiri sambil meraba luka di leher dan mataku. Masih terasa nyeri sekali walau hanya diraba saja. Walaupun luka ini adalah hiasan atau tattoo alami yang penuh sakit pada orang biasa, tapi luka ini memberi tahu diriku tentang arti kehidupan yang kujalani, bahwa dunia ini kejam. Luka selalu memberikan teriakan yang mengekang. Luka selalu mempengaruhi untuk menjadi pemberontak. Luka selalu menghukumku saat aku tak patuh dan menyia-nyiakan kesempatan. Tapi luka ini selalu memberi tahu bahwa aku masih hidup dan bernafas.
Aku selalu mendengar teriakan-teriakan mengerikan yang setiap hari kuteriakkan dan diteriakkan oleh orang lain. Aku bisa mendengar teroran yang horror itu, semuanya. Hingga membuatku tenggelam dalam kegelapan itu sendiri. Kejadian yang berulang-ulang terus terngiang di kepalaku dan membuatnya terasa seakan mau pecah. Aku selalu merasakan sesak nafas karena mimpi buruk dan kenyataan yang selalu kualami sepanjang hidupku. Sakit, sesak, luka, dan menyedihkan adalah hidupku yang bertepuk sebelah tangan. Aku bahkan dikendalikan dalam jalan hidupku. Jadi bisakah aku?
Aku merendam tubuhku dalam bathtub hingga hidungku. Rasa pedih di leherku sudah biasa ku rasakan. Setelah semua yang terjadi sampai sekarang, rasa yang sangat pedih bagi manusia biasa pun akan terasa biasa bagiku.
"Ya... luka ini akan lama.", gumamku saat di depan cermin sambil mengambil perban untuk membungkus mata dan leherku. Kemudian aku turun untuk makan malam bersama Papa dan Mama. Aku membawa sianida bersamaku untuk jaga-jaga jika aku benar-benar melakukannya.
"Kenapa kau bungkus lehermu dengan kain kotor seperti itu?", tanya Papa dengan sinis saat aku menuang air minum pada gelas mereka. Aku hanya menggeleng pelan.
"Kenapa kau terus menggunakan alat merah di kepalamu? Kita sedang makan malam, kan? Lepaskan alat itu.", pinta Mama sambil membawakan makan malam kali ini, steak dari kedelai. Aku melepaskan headphone yang kukenakan dan memandang makanan yang akan kusantap.
"Anak pintar.", Mama mengusap rambut kuningku hingga acak-acakan. "Sekali-kali melawanlah saat kau disiksa. Aku tak ingin kau lebih menderita lagi." Melawan? Bisakah aku melawan duniaku sendiri? Dunia yang memilihkan jalanku? Bisakah aku berbelok? Kupikir bisa. Karena Papa dan Mama tak pernah salah.
"Iya.", jawabku dengan senyum dan mata yang sayu sambil mengelap pisau dan garpu untuk makan dengan kain yang agak basah karena sianida. Satu hal yang tidak mereka, tahu. Aku sudah menuangkan sianida pada air mereka.
"Ittadakimasu."
Saat mereka mulai meminum air dalam gelas aku membiarkannya sampai mereka memakan satu suapan steak di depan mereka. Pada saat itu aku sedang berjudi dengan keberhasilan 50:50 untuk melawan. Aku menancapkan pisau yang ku genggam ke tangan Papa dan tak lama kemudian Papa dan Mama mengalami sesak nafas. Sianidanya mulai bekerja. "Arigatou!", aku ucapkan terimakasih pada teman kutu buku yang mampir ke hidupku 2 tahun yang lalu sebelum dia meninggal. Walaupun aku belum sehebat dia dalam membuat racun, tapi sianida ini cukup ampuh untuk membunuh manusia. Terimakasih untuk informasinya, teman!
Papa masih menggelepar sesak hingga dia terjatuh dari kursinya kemudian aku menusuknya dengan pisau yang kubawa dan pisau yang sudah kuambil dari rak yang ada di belakangku. Menancapkannya ke tubuh Papa, menyiksanya dulu dengan sesak nafas dan tusukan yang bertubi-tubi hingga dia tak bisa bergerak dan hanya bisa menggelepar. Kemudian Mama.
Aku mendekati Mama dengan senyuman kemudian membunuhnya dengan perlahan. Aku tidak menyiksanya terlalu banyak karena Mama tidak terlalu over seperti Papa tapi dia juga bersalah karena diam saja. Sebelum dia tewas, dia sempat berkata padaku, "Kau telah melakukan hal yang benar, anakku." Saat itu air matanya menetes dan mungkin dia mati dengan damai. Ya sudahlah. Yang penting aku sudah melawan. Dengan begitu aku melempar pisau yang kubawa dan meminta maaf pada temanku yang kedua.
"Gomen... aku tak bisa memakainya sekarang." Jurus tidak kuperlukan sekarang. Mungkin besok untuk mengurus preman sialan itu. Aku susdah membuat rencana untuk hari selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Metamorphosis [END]
Mystère / Thriller[BELUM DIREVISI] Di-bully di luar rumah, di siksa di dalam naungan keluarga. Setiap hari, bagai tak ada hidup tanpa luka. Kehidupan yang bahagia hanya angan-angan dalam mimpi yang terlupakan. Hidup ini tak lebih dari sekedar siksaan untuk masokis...