Keesokan harinya aku terbangun di kamarku dengan keadaan yang kacau, penuh darah. Aku menemukan luka baru berupa cakaran di lengan dan kakiku. Ya sudah ini luka yang biasa. Ini karena Papa yang memberontak sebelum mati.
Sekolah berlangsung dengan biasa. Murid pindahan itu sedikit menjauh dariku dan duduk di samping orang lain. Ya sudah. Itu lebih baik daripada dia berakhir sama seperti orang lain yang dekat denganku. Semua orang dapat bernafas lega.
"Hei! Berikan uangmu!", sapa preman sekolahan dengan membawa pipa besi. Dan seperti biasa juga aku memberikan semua uang yang kubawa kepada mereka. Tapi terjadi lagi. Uang yang kubawa tak cukup untuk mereka. Kali ini aku akan menuruti Mama dan Papa untuk melawan mereka.
Aku berlari sekencang-kencangnya untuk menghindari kejaran mereka. Berbelok ke koridor lantai 2, menuruni tangga untuk ke lantai 1, kemudian berlari ke belakang gedung A untuk bersembunyi. Dengan nafas yang tak beraturan aku duduk memeluk lututku dengan tangan yang mencoba mengambil sesuatu. Aku menyembunyikan pisau lipat bersianida di kantongku untuk membela diri dari preman sekolahan itu.
Mereka datang! Aku mendengar pijakan kaki pada daun kering di belakangku dan suara serak yang memanggil namaku. Aku menunggu sampai mereka menemukanku dan aku mengetahui jumlah mereka untuk memastikan presentasi keberhasilanku. Biasanya jika ada orang yang membangkang, mereka akan membawa pasukan untuk mengeroyok pengkhianat sampai mereka sekarat dan meminta ampun dengan mencium kaki kotor mereka. Pastilah banyak! Tapi aku hanya lelaki kacangan. Jadi tak mungkin mereka bersikeras membawa banyak saudara mereka. Keberuntungan! Aku berdiri dengan tiba-tiba untuk mengejutkan mereka sehingga keseimbangan mereka melemah. Pada saat itu aku akan menyerang mereka dengan karate yang diajarkan dojo online yang kupelajari semalam. Itu adalah rencana yang kupersiapkan dengan dukungan mendiang kutu buku, mendiang master karate, gadis yang tersenyum bahagia, dan kedua orang tua yang mendukungku dengan sekuat tenaga.
Aku sudah mengantongi sianida yang sudah kumasukkan dalam suntikan yang berada dalam kantongku, bersama stun gun yang biasa digunakan Papa untuk menenangkanku dan pisau Mama. Semua orang bersamaku sekarang. Jadi aku tinggal mengagetkan mereka, menyuntikkan sianida dan menyiksa mereka hingga mencium kakiku dan memohon ampun padaku. Semuanya akan mudah jika semua orang bersamaku.
Mereka datang! 3 orang ya? Hanya 3? Mereka terlalu meremehkanku. Mengagetkan mereka dengan teriakan sehingga keseimbangan mereka rusak. Pada saat itu aku menyuntikkan sianida ke tubuh mereka satu persatu dengan cara meloloskan diri yang diajarkan dojo karate online yang selama ini kupelajari. Bukan hanya itu. Aku juga menendang dan memberikan pelajaran berupa rasa sakit pada mereka dengan karate yang kupelajari di internet. Tak masalah walaupun sendiku terkilir, toh nanti aku juga akan membenarkannya sendiri. Tak lama kemudian mereka sesak karena kehabisan oksigen.
"15 menit. Waktu kalian untuk bertobat hanya 15 menit.", aku berkata dengan tersenyum pada mereka.
"Maafkan aku Kurosaki! Aku tidak berniat untuk menyiksamu! Aku tidak bohong!", tahi yang berputar telah berbicara. Tapi aku tidak percaya karena fakta tak berkata begitu. Dari yang kulihat selama ini mereka menyiksaku dengan penuh kepuasan dan kebinatangan mereka. Itu sudah cukup untuk membuktikan semuanya.
"Bohong." Kemudian aku meninggalkan mereka dengan keadaan yang parah dan kacau! Sangat tragis. Sama seperti keadaan temanku yang sudah meninggal, dengan patah tulang dan luka di sana-sini dan berdarah-darah seperti otak yang keluar dari kepala dan usus yang berceceran. Aku juga sudah mencabut beberapa mata dari mereka. Itu pantas mereka dapatkan, kau tahu? Mereka yang membuat mereka seperti ini. Sekarang aku tahu, aku hanya perlu memberontak untuk menjalankan ceritaku dan membuat diriku menjadi tokoh utama. Aku tersenyum sampai aku tiba di kelas dengan darah dan luka.
Aku kembali dengan penuh luka dan darah, seperti biasanya. Beberapa sendiku mungkin ada yang terlikir. Aku memang selalu begini. Tak membawa apapun saat aku kembali.
"Tadaima...", salamku saat pulang. Mungkin wajahku sangat pucat sekarang.
"Apa-apaan dengan bajumu itu?!", bentak Mama sambil duduk. Papa berdiri dari kurisnya dan menghampiriku, menghantamkan sebuah tamparan keras padaku. Aku membuang muka dengan wajah datar. Mulai bosan dengan dunia yang menyiksaku perlahan. Papa mengambil payung dari tempat payung dan menghantamkan payung itu ke punggungku saat aku hendak pergi ke kamarku. Kemudian beliau menendangku dengan keras hingga aku tergopoh-gopoh menuju kamarku. Tentu saja itu hanyalah bayanganku. Aku selalu melihat kejadian yang sama terus berulang seperti kaset yang rusak.
Aku merebahkan diri di tempat tidurku, menutup mataku. Aku merasa hari ini berjalan tak seperti biasanya. Ada yang aneh. Tentu saja aneh. Karena aku menulis kisahku sendiri mulai sekarang. Ya... mungkin saja. Aku mengganti pakaianku dan mandi.
"Malam yang hening.", gumamku saat malam tiba sambil mendengarkan musik yang selalu kuputar. Mama tak memanggilku untuk makan malam seperti biasa. Sudah jelas. Karena aku sudah membunuhnya, kan? Aku sudah melawannya. Aku turun untuk melihat mayat orang tuaku yang terkapar di ruang makan.
Di ruang makan aku melihat Mama dan Papa duduk di kursinya masing-masing namun tak ada apapun yang bisa dimakan diatas meja. Jadi aku membuka kulkas dan melihat ada apa di dalamnya, hanya ada buah dan sayuran. Lalu almari dapur, ada sekardus mi instan yang bisa dimakan. Ini hari yang aneh. Papa dan Mama hanya memandangiku dan tidak menghardikku. Mungkin mereka melakukan hardik dengan metode membuatku kelaparan atau menyuruhku menyayat diriku sendiri. Konyol sekali. Aku ingin tertawa saat melihat keadaan mereka yang tragis dan konyol!
A/n: thank's buat support-nya. Author gaje yang barusan di bakar oleh Dewa Matematika. Yup. Saya lg UN sekarang dan saya kebakar. Math killin' me so much! Seret @kristalputih :'v doakan saya besok minna.
Vomment? Or maybe follow? *dibakarlagi*
Yosh! Thank you so MUCH!
KAMU SEDANG MEMBACA
Metamorphosis [END]
Misteri / Thriller[BELUM DIREVISI] Di-bully di luar rumah, di siksa di dalam naungan keluarga. Setiap hari, bagai tak ada hidup tanpa luka. Kehidupan yang bahagia hanya angan-angan dalam mimpi yang terlupakan. Hidup ini tak lebih dari sekedar siksaan untuk masokis...