01. Story of My Life

607 49 15
                                    

Aku adalah orang biasa. Setidaknya itulah yang orang lain pikirkan tentangku. Tapi itu memang benar. Aku memanglah manusia biasa yang mengalami hal tak biasa menjadi manusia teraniaya sampai sekarang. Sejak aku dilahirkan aku mungkin tak diinginkan oleh orangtua dan dunia. Jika begitu untuk apa aku hidup? Aku hidup sebagai robot orangtuaku yang merupakan preman jalanan yang berkali-kali membunuh orang namun dibebaskan karena alasan sakit jiwa tapi mereka malah membuat anak. Ini-itu-semuanya harus kulakukan bagaimana pun caranya. Bahkan jika orangtuaku menginginkan aku membunuh, apakah aku harus melakukannya?

"Gomenasai...
Yamete kudasai...." Aku merengek pada preman sekolahan yang setiap hari meminta -- ups, bukan meminta tapi merampas uang dariku dan semua barang berharga yang kupunya. Setiap hari aku ditendangnya dengan keras, ditonjoknya sampai mereka puas. Aku? Apa yang aku lakukan? Aku hanya diam dan meminta maaf dengan kesalahan yang tak jelas karena aku tahu kalau aku melawan, aku akan mati ditangan mereka.

Sedikit demi sedikit semua orang menjauhiku karena tidak ingin ikut campur dalam duniaku yang ruwet dan penuh kesengsaraan. Mereka hanya tak ingin terbebani oleh celoteh preman sekolahan dan perban yang merupakan calon aksesoris mereka jika berteman denganku. Aku pun tak keberatan jika tak punya teman karena sedari dulu aku memang sendiri. Tapi seberapa pintarnya aku menyembunyikan dan menenggelamkan perasaan manusiaku aku tetaplah manusia biasa yang punya perasaan. Aku bukanlah robot dingin dengan otak yang ajaib.

*     *     *

"Peringkatmu turun, kan?!" Suara serak Papa yang keras diiringi tamparan yang kuat, meninggalkan lebam merah di pipiku. Mama hanya memandangku dari beranda lantai atas, depan kamarnya sambil berlagak layaknya Ratu Elizabeth. Sementara itu Papa terus menghardikku hingga aku lemah dan payah dalam berbicara, hingga hidungku berdarah, hingga aku muntah darah, hingga aku terlalu sakit untuk berdiri tegap menghadapi hidupku yang penuh pukulan dan dorongan pisau menuju jurang keputusasaaan.

Setiap hari selalu begini hingga air mataku susah kuusap karena mengering dan mungkin tak lama lagi akan menjadi air mata darah. Aku berbaring di tempat tidurku sambil mengenakan headphone yang menyalurkan musik dari mp3 player merahku. Berbaring meringkuk lelah dengan seprai penuh bercak merah darah kemarin-kemarin. Mereka tak bersuara, nyatanya aku hanya mendengar alunan yang selalu kudengar. Aku hanya keluar kamar untuk makan bersama orangtuaku. Hanya Papa dan Mama, aku tak punya saudara lagi. Dan sepanjang hari aku mengurung diri di kamar untuk belajar dan membaca buku. Hanya itu sampai hari selanjutnya tiba dan kejadian yang sama terulang kembali.

*     *     *

"Mana uangmu, sialan?!" Mereka membentak lagi sambil mengacung-acungkang cutter saat pelajaran berlangsung, semua tak memperhatikanku dan menganggap kami tak ada. Pelajaran berlangsung seperti biasa, bahkan guru pun hanya menerangkan kepada murid yang lain. Aku seperti makhluk ghaib yang tak berhak pada duniaku sendiri.

Aku merogoh tas dan kantongku untuk mencari uang yang selama ini mereka ambil dariku. Aku mencarinya sampai berantakan namun aku tak menemukan uang sepeserpun. Aku lupa tak membawa uang! Nyawaku diepertaruhkan saat ini.

"Etto...."

"Apa?!" bentak mereka dengan lagak koboi kesiangan.

"A-aku tak membawanya, maafkan aku!"

Ya, ini sudah kuduga. Aku dipukulnya sampai tak berdaya dan jatuh mencium porselen kelas. Mereka mendekatkan pisau lipat dan cutter mereka ke mataku. Salah satunya dikekatkan ke nadi yang ada di leherku. Ku berteriak sekeras mungkin tapi tak ada yang mendengarku. Bukan, mereka tak ingin mendengarku. Tapi aku terus berteriak, berharap seseorang menolongku. Tapi tak ada yang datang. Sebuah nadi di leherku putus dan mengeluarkan darah tanpa henti.

Sesampai di rumah, orang tuaku tak membawaku ke rumah sakit dan mengatakan bahwa kejadian ini hanya demam remaja yang sudah biasa. Pada intinya aku hampir mati karena 'demam' yang nyaris membuatku terbang. Hanya berbekal handuk yang menyerap darahku sampai handuk itu penuh warna merah dan basah. Bercak merah di kamarku semakin bertambah. Terlebih lagi saat sampai di rumah ayah menghardikku karena aku meninggalkan pelajaran demi masalah sepele. Beliau membuat luka sayatan di kelopak mataku dan merusak mata kananku. Mungkin aku harus menjadi bajak laut konyol mulai sekarang.

"Tak ada yang akan datang. Tidurlah karena kau demam," kata Mama di ambang pintu saat melihatku berusaha bangkit dari tempat tidur sambil memegang handuk merah yang basah. "Malam nanti kau harus belajar giat agar nilaimu tetap yang terbaik. Jadi waktumu tak banyak, Sayang," lanjutnya dengan wajah tak berdosa, merasa dirinya paling benar padahal beliau baru saja mengucapkan kata yang kejam untuk seseorang yang dia sayangi.

Aku ingin menyerah pada kehidupan yang menolakku, pada jalan hidup yang mengacuhkanku, pada dunia yang tak meninginkanku. Aku ingin pergi dari dunia ini. Tapi aku ingin melihat ekspresi penyesalan mereka karena telah menolakku sebagai manusia. Namun, ku tak bisa apa-apa. Aku hanyalah manusia biasa yang ditolak mentah-mentah dan dibuang setelah diinjak oleh duniaku.

Tubuhku semakin lemas sampai-sampai aku tak bisa terjaga lagi. Kemudian mataku terpejam dan aku pun terbangun saat makan malam. Mama sudah membawa pisaunya di ambang pintu kamarku, memandangku dengan bengis karena tidak segera memakan makanan yang dimasaknya dengan susah payah. Aku memandangnya dengan mata lemas dan pucat, tapi itu tak lama karena Papa dengan perlahan menyusul Mama dan muncul dibelakangnya. Aku ketakutan dengan mereka.

Aku berusaha dengan cepat bangkit dari tempat tidurku menuju ke ambang pintu dan makan malam bersama mereka tapi badan ini tak bisa kuajak kompromi. Handuk yang basah karena darahku jatuh ke lantai dan membuat rembesan merah di sana. Leherku masih belum benar-benar sembuh, mata kananku sakit sekali. Sangat sakit untuk dibuka dan digerakkan. Tangan kiriku mencoba meminta tolong pada mereka dan bibirku bergumam lirih. Aku kembali terbanting saat Papa menendang tempat tidurku dengan keras. Mulutnya komat-kamit mengucapkan bentakan dan hinaan padaku.

"Gomenasai gomenasai gomenasai gomenasai...," gumamku terus-menerus. Tapi Papa malah menamparku dan membantingku ke lantai dengan sangat keras hingga headphone merah yang kukenakan lepas dan jatuh di dekat handuk. Kemudian dia menendang perutku sampai aku muntah darah lagi. Itu dilakukannya berkali-kali sampai aku tak bisa berkata-kata. Saat aku mulai lemas payah, beliau mencengram leherku dan mengangkat diriku dengan keji. Aku tak bisa bernafas dan merasa sakit di luka yang memecah nadi di leherku. Tanganku memukul-mukul tangan Papa yang kokoh agar melepaskan cengkramannya dan kakiku menendang-nendang tak karuan. Aku benar benar akan mati!

Setelah Papa melihatku tak berdaya untuk bergerak dan meronta, dia membantingku kembali dengan keras, sekeras-kerasnya pada rak buku hingga buku dan rak itu roboh menimpa tubuhku. Kali ini berapa tulangku yang patah? Entahlah. Aku hanya merasakan sakit yang berlebihan dari biasanya pada tubuhku yang lemas. Menangis? Jangan bercanda! Air mataku sudah kering dan habis. Hanya darah yang dapat keluar dari rongga mata ini. Aku merayap pada headphone merah dan mp3 player yang berada di dekat handuk, mencoba melepaskan diri dari tindihan rak buku yang berat. Pada akhirnya tanganku bisa menggapainya. Aku langsung memasang alat itu di kepalaku dan mendengarkan alunannya sambil menutup mata. Sesaat kemudian aku terkejut saat Mama membanting piring berisi onigiri ke hadapanku. Aku meronta dan berusaha meraih makanan itu karena aku memang lapar. "Berusahalah dengan kemampuanmu sendiri," kata Mama sambil bersedekap kemudian meninggalkanku.

Tak lama kemudian aku berhasil keluar dari tindihan rak buku dan langsung menghampiri makanan itu kemudian memakannya. Sekarang kondisiku mungkin seperti makhluk purba yang busung lapar dengan luka disana-sini. Setelah memakannya, aku merangkak untuk mengambil kotak P3K yang masih sempat kuraih. Aku mengobati lukaku sendiri dengan caraku sendiri. Hanya dari buku dan internet aku belajar bagaimana cara merawat diriku. Dan dengan kondisi yang seperti ini, aku tetap pergi ke sekolah esok paginya dengan hardikan dan tamparan papa sebelumnya.

Metamorphosis [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang