BAB XII

1.2K 146 0
                                    


Um ... situasi macam apa ini?

Hening. Sangat hening. Belum ada satupun yang memulai bicara antara aku, Dilla, Kevin, dan ... Reyndra.

Ekspresi Reyndra memang terlihat sangat terkejut. Sepertinya Kevin tidak menceritakan apapun kepadanya. Bagaimana mereka bisa akrab, ya? Aku ingin tau.

Tapi ... terlalu lama seperti ini membuatku ingin pingsan!

"Vin ...?" Reyndra membuka pembicaraan.

"Apa?"

"Jadi ini rencana lo nyuruh gue gak usah bawa motor?"

Oh, iya juga. Kalau Reyndra bareng, otomatis dia juga ikutan naik angkutan umum, kan?

"Enggak juga, sih. Lagian Risa itu sahabat-baru-banget gue." Kevin nyengir tidak jelas.

"Risa? Gitu, ya ... haha."

Dan, kemudian hening kembali.

Dapat aku hitung, sudah sekitar sebelas orang atau kelompok yang membicarakan betapa anehnya kelompok yang terdiri dari kami berempat ini. Kelompok yang tidak jelas apakah ini bisa disebut seperti itu atau tidak.

"Kalau masih hening, mendingan kita duluan aja, Ris!" protes Dilla yang sudah tidak tahan dengan semua keheningan ini.

"E-eh ... jangan gitu, lah!"

"Yaudah, gue sama Dilla jalan duluan. Terserah kalian mau nongkrong disini sampai gila atau ikut." Aku mengangkat kedua bahuku sebelum berjalan sambil terus menggandeng tangan Dilla.

Dan sepertinya mereka ikutan berjalan. Aku dapat merasakan langkah kakinya.

"Kenapa lo gak bilang kalau temennya sahabat baru lo itu si Reyndra?" tanya Dilla dengan suara kelewat pelan.

"Ya, tau deh, susah juga jelasinnya." Aku mengangkat kedua bahuku.

"Hmm ... kalian, mau mampir ke Cafe gak?" Pertanyaan Kevin membuatku berhenti berjalan, Dilla juga otomatis berhenti karena aku memegang tangannya.

"Aduh," ringis Kevin dan Reyndra secara bersamaan. Mereka menabrak aku dan Dilla dari belakang.

"Kenapa berhenti, sih, Ris?" tanya Dilla.

"Ca ... Cafe? Haha. Gue pass, silahkan kalian sendiri, gue pulang!" Sebelum aku ingin berlari, Reyndra memegang tanganku.

"Masalah itu, gue minta maaf. Tolong lupain aja," ucapnya.

Lupain? Segampang itu dia pikir? Hah. Bodoh.

Bagaimana bisa seorang cewek melupakan kejadian itu. Melupakan cowok yang sudah menciumnya? Dia pikir segampang itu?

"Lo ... cuma seorang cowok. Gak akan pernah ngerti perasaan cewek." Aku melepas tanganku secara paksa darinya.

Kevin menatap kami dengan bingung. Sudah pasti dia tidak tau. Tapi aku tidak ingin melibatkan siapapun. Biarlah Kevin jangan tau dulu. Dilla juga sepertinya mengerti situasi dan lebih memilih untuk diam.

"Sorry, gue pulang duluan," ucapku dan langsung berjalan.

"Risa, tunggu!" Dilla menghampiriku dan berjalan di sampingku. Dia menatap wajahku.

Aku sangat yakin Dilla sudah melihat air mataku yang mengalir deras, karena dia tidak berkomentar apapun.

...
...

Kevin POV

Sebenarnya ... aku sudah sangat tau apa masalah mereka. Reyndra adalah temanku dari kecil, bahkan dari sebelum dia memiliki keluarga baru. Reyndra sering menceritakan masalahnya kepadaku, makanya aku tau.

Yang di Cafe itu ... aku juga tau. Dan melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku berada di sana.

Aku memang selalu bermain bersama orang-orang dari kelas Reyndra. Entahlah, aku tidak bisa akrab dengan orang yang ada di kelasku. Karena ... suatu masalah, mungkin.

Memang, aku sengaja mendekati Risa karena ingin dia dan Reyndra menjadi teman. Hanya sekedar teman saja. Reyndra harus tau apa yang orang lain lakukan setelah Reyndra mulai menjauh dari Risa, dan Risa mulai dekat dengan kakaknya Reyndra itu.

Soal pot itu ... bukan aku yang tidak sengaja menjatuhkannya. Tapi seseorang dari kelasku, yang sudah pasti cewek. Dia sangat tergila-gila dengan kak Ifandy, sampai nekat melakukan hal itu.

Cewek itu yang membuatku tau kalau Risa menjadi bahan bully di sekolah, walau baru sampai menjatuhkan pot saja, tapi tetap saja itu sudah sangat kelewatan.

Reyndra juga sedikit berubah. Dia sudah tak pernah berantem lagi semenjak dekat dengan Risa, walaupun dekat karena keadaan yang memaksa. Aku senang melihat Reyndra seperti itu, bukan maksud aneh-aneh ya. Maksudku, mana ada teman yang tidak senang melihat temannya berubah dan berubahnya mengarah ke yang lebih baik?

Tapi sepertinya ini lebih sulit dari dugaanku.

"Vin, makan bakso yuk," ucap Reyndra tiba-tiba.

"Males."

Reyndra langsung merangkul pundakku. "Gue yang traktir."

"Tetep males." Aku sedikit membungkukkan badanku agar rangkulannya lepas.

"Gak asik lo."

"Lo lebih gak asik, bro."

"Lo lagi PMS, ya?"

What the hell, Rey.

"Ha ... ha." Aku menatapnya dengan wajah datar.

"Sumpah gue nyesel banget gak bawa motor. Jadi harus jalan ke stasiun, kan." Reyndra menghela napasnya.

"Kenapa gak naik angkot? Kan gue gak minta lo ngikutin gue."

"Maksud gue--"

"Karena Risa gak jadi pulang bareng lo?" Aku menatap tepat di matanya.

"Apa-apaan sih lo?"

"Kenapa hidup lo penuh drama, ya, Rey. Padahal lo sendiri alergi sama drama," ucapku sambil mengangkat kedua bahuku.

"Ya, gue mana mau sih hidup kaya gini."

"Orang-orang di sekitar lo juga penuh dengan drama. Gue juga salah satunya."

"Kalau lo sih, lo sendiri yang buat dramanya." Minta diapain ini anak.

"Contohnya ...?"

"Sok kalem, sok dingin, sok misterius di kelas. Karena lo pikir dengan cara itu lo bakal populer, ya 'kan? Padahal mah...."

Aku segera menjitak kepalanya. Pengennya sih mulutnya yang dirobek. Tapi sadis banget kayanya.

Reyndra memegangi kepalanya. "Lo yang mancing gue."

"Ah ... udah di stasiun aja. Ini kenapa gue jadi nganterin lo ya? Rumah gue kan gak perlu naik kereta."

"Yaudah, gini deh, malem ini gue nginep di rumah lo. Besok kan hari sabtu. Gimana, Vin?" Reyndra menaikkan alisnya beberapa kali.

"Oke lah."

"Yes, makan bakso di deket rumah Kevin ...!"

"Yang sampai terakhir bakalan traktir!" Dan aku memulai start duluan.

TBC

Haiiii! Author ganti username hahahaha.

Btw, guys, When Otaku in Love satu chapter (+ satu epilog) lagi akan tamat lohhhh.

Dan tamatnya maksa banget. Jadi author ada rencana buat bikin extra chapter tentang masa lalu reyndra, dan kevin (apalagi kevin nih, dia baru nongol) hehehe.

Ditunggu aja ya!

When Otaku in Love [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang