Remi pulang terlambat hari ini. Sangat terlambat. Aku bahkan tiba di rumah lebih dulu.
Ibu hampir pingsan melihatnya.
Aku juga.
Jantungku menjadi liar ketika melihat mereka.
Ya, mereka. Remi, dan Armann.
"Apa yang terjadi?"
Ibu panik. Aku panik. Semua panik.
"Sebuah mobil menabraknya."
Ibu jatuh di dekat Remi. Air mata terus mengalir di wajahnya.
Tubuhku terasa dingin. Aku tak kuasa menggerakkannya. Sudut mataku menangkap onggokan sepeda yang sudah tak berbentuk lagi di dekat pintu.
"Kau menabraknya?!!" Ibu berteriak dan teror menghiasi wajahnya.
Aku berpaling lalu mulai mengamati luka Remi. Dia pingsan. Rona merah dan biru kehitaman menggores kulitnya, menyembul dari balik kasa putih dan perban. Di bawah mata dan tulang pipi, di wajah, di lengan dan kaki.
Aku menangis sendiri.
"Maafkan aku, Bu. Bukan aku yang menabraknya. Itu adalah kecelakaan beruntun. Kakakku dan aku ada di sana."
Ibu menangis. Lagi dan terus menerus. "Terima kasih."
"Bagaimana kau bisa menemukan rumah kami?"
"Remi adalah anak asuhku." Tatapan mata Armann menghunus jantungku. "Sejak tiga tahun yang lalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Harapan
Short Story"aku bertanya-tanya, apakah yang dielu-elukan orang tentang harapan, apakah esensi dari semua idealisme itu, mereka membohongi diri dan tersenyum, sampai tiba di satu titik dan mereka bertanya pada angin: masihkah aku memiliki harapan, angin datang...