Langit begitu kelabu.
Seperti hidup.
Dapatkah aku, sungguh, melihat warna selain warna abu-abu?
Dapatkah aku, sungguh, menemukan secercah pelangi dalam kehidupan ini?
Aku tak berkutik. Sama sekali.
Tangan dan kakiku serasa terikat. Terlalu sulit untuk digerakkan dan melangkah.
Aku masih di sini. Tinggal dalam kenangan, dengan dirundung kematian.
Remi bodoh.
Tidak. Aku yang bodoh karena mengizinkannya pergi dengan sepedaku.
Aku seharusnya tahu.
Kematian sungguh dekat.
Tapi aku tak melihatnya. Pada ayah.
Akan lebih baik jika aku yang di sana hari itu.
Ibu, ayah, dan Remi akan lebih baik bersama daripada kami kini.
Betapa muluknya pikiranku.
Aku takut.
Sangat takut.
Apabila mereka satu per satu pergi. Dan meninggalkanku di sini tanpa warna dan pegangan.
Lalu aku tidak mati.
Sungguh menakutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harapan
Short Story"aku bertanya-tanya, apakah yang dielu-elukan orang tentang harapan, apakah esensi dari semua idealisme itu, mereka membohongi diri dan tersenyum, sampai tiba di satu titik dan mereka bertanya pada angin: masihkah aku memiliki harapan, angin datang...