LDR

63 8 8
                                    

"Sasaaaaaaaa"

Teriakan itu menghentikan aktivitas wanita yang bernama sasa dengan dunianya. Maksudnya, dia sekarang sedang sibuk dengan handphone-nya.

Sasa mendongkak, melihat kepada objek yang sepertinya sudah setengah mati menahan segala umpatan kata yang akan keluar dari bibir mungilnya.

"Gue lagi ngomong sama lo, di dengerin ga sih!" sungutnya berapi-api. Dia terlihat memberengut. Menaikkan kedua tangannya ke dada serta melipatnya dengan sangat erat.

"Dengerin kok." jawab sasa seakan tahu semua isi ceritanya padahal sama sekali tidak ada yang masuk ke dalam otaknya apa yang diucapkan temannya.

"Apa aja coba yang gue ceritain?" tanyanya  mengetes ingatan sasa .

Sasa mengetuk-ngetukkan telunjuknya diatas meja, berusaha berpikir apa saja yang mungkin Rala katakan tadi,
"Pokonya lo cerita banyak tentang Danu, gue bener 'kan?" ucap sasa seraya tersenyum bangga.

"Iya sih, bener cerita tentang Danu, tapi kan gue ceritanya panjang. Sebutin pokok cerita gue, buruan!" dia rupanya belum terlalu puas dengan jawaban yang diberikan sasa tadi.

Lantas sasa pun kembali memutar otaknya. Berusaha mengingat apa saja yang biasanya Rala ceritakan tentang Danu padaku. Sasa bisa saja menyebutkan semua hal tentang danu yang pernah rala ceritakan padanya. Tapi jika salah, sasa pasti akan tertangkap basah kalau dia sama sekali tidak mendengarkan cerita Rala tadi.
"Yaudah sih kan lo ceritanya panjang, masa iya gue ceritain ulang. Kan lama, basi pula" sasa berusaha mencari alibi untuk meyakinkan Rala bahwa dirinya tadi mendengarkan apa saja yang diceritakannya

Kini giliran dia yang berpikir kemudian mendengus pasrah, sepertinya setuju dengan ucapan temannya.
"Yaudah deh, tapi serius deh? Lo kenapa? Daritadi keliatan sibuk banget sama handphone, biasanyakan Sasa yang gue kenal itu Sasa yang jarang banget pegang gadget."

Rala benar, sasa termasuk orang yang jarang sekali 'menyentuh' handphone, terkecuali penting dan ada urusan.

"Biasa, Asta. dia baru contact gue lagi" sasa berusaha menjaga ekspresinya agar terlihat biasa saja.

"udah berapa hari dia ga ngabarin lo emang?" tanya Rala terlihat simpati.

"90 hari kurang lebih." jawabnya masih datar.

"Itu namanya 3 bulan, kenapa harus disebutin pake hari sih?"

"Kan lo nanya nya berapa hari bukan berapa bulan."

"Terserah elo deh ya, sumpah cape gua ngomong sama lo. Dari zaman firaun masih orok juga lo udah keras kepala. Batu aja kalah kerasnya sama lo"

"Dari zaman nenek moyang gue masih orok juga yang namanya Rala tuh pasti aja sensian."

Rala mendengus dengan ucapan sarkatis sasa, dia kemudian merubah ekspersi wajahnya menjadi lebih 'bersahabat'
"Oke jadi gini ya, berhubung gue ini temen lo satu satunya yang baik, cantik, sholehah, tawakal, rajin menabung-

"Enough." cepat cepat sasa memotong ucapan Rala. Percaya saja, jika tidak  hentikan ucapannya, pasti dia akan terus saja membanggakan dirinya.

"Jadi apa yang terjadi kali ini? Tadi gue lupa" tanyanya to the point

Sasa pun melunak, tidak lagi menatapnya garang.
"Asta, dia baru ngabarin gue lagi setelah dia lost contact selama 3 bulan."

Rala terlihat menahan geramannya.
"Cowok lo tuh ya! Si asta....... Astagfirullah al adzim deh gua  kalo jadi lo. Kuat banget bertahan sama itu cowok. Kalo gue jadi elo ya, udah ngibrit gue mah kalo hubungan ldr kek gini. Cape! Males nunggu, chatan cuma lewat perantara teknologi. Helllooooo plis deh ya, elo tuh cantik-

"Makasih."

"Ya oke lah, elo tinggal tunjuk cowok yang mau elo gebet abis itu udah selesai. jadian deh, ga perlu nunggu si asta yang jauh di awang-awang"

"ya, namanya juga hati. Kita tuh ga bisa ngelawan takdir kalo emang gue udah ditakdirin jauh sama asta, ya jalanin aja dulu. Toh cuma sementara kok, ga bakal lama. Paling cuma setahunan lagi" ucap sasa tetap membela hubungannya.

"Setahun? Sebentar? Mata lu pecak apa gimana sih? Satu tahun itu 12 bulan, 365 hari, 48 minggu, 8.760 jam, 525.600 menit, 31.356.000 detik. Dan lo masih bilang itu sebentar?Fix, lo minta di rukiah! Gue aja yang seminggu ga ketemu, udah rinduuuuuuuuu bangettttt sama Danu. Lo yang satu tahun segitu kuat. Salut gua sama elo, strong girl!!!!" ucap Rala menggebu-gebu.

"Yaelah, ga usah se-detail itu kali. Lagian ya, lo tuh lagi muji gue apa hina gue?"

"Dua-duanya mungkin"

Sasa melipat tangannya diatas meja serta merebahkan tubuhnya, lelah dengan sikap temannya yang satu ini.

"Gue cabut deh, sinting gue lama-lama deket lo" ucap sasa kemudian sambil bangkit dari tempat duduk.

"Iya" jawabnya sambil tersenyum ramah.
Nah kan? Sudah jelas kalau dia itu sinting kan? Tadi marah marah ga jelas, sekarang senyum ramah kaya gitu! Jadi disini sebenarnya siapa yang perlu di rukiah, dia atau sasa?

*****
SASA POV

Jarak.waktu.perasaan.

3 hal yang terus menghantui pikiranku belakangan ini, membuatku sesak tiap kali memikirkannya. Otakku seakan buntu, kerap kali mencoba mencari jalan keluarnya. Seakan pertanyaan retoris yang tidak menemukan jawaban dan tidak pantas untuk dijawab.

Asta danuwinata

Ya Tuhan, nama itu, orang itu, laki-laki itu. Dia kekasihku sejak 1,5 tahun yang lalu, dia seperti laki-laki idaman semua wanita menurutku, sikapnya ramah-bahkan terlampau ramah-tatapan lembutnya yang seolah menghipnotisku, genggaman tangannya yang sehangat mentari pagi.

Tapi itu dulu!

Sebelum semuanya terenggut oleh jarak, tersapu habis oleh waktu, tapi masih berceceran harapan dengan beralaskan perasaan.

9 bulan yang lalu, tepatnya pada pertengahan maret, dia yang tengah menatapku dengan tatapan lembutnya dan genggaman tangannya yang seolah tak bisa terlepas dari jemari tanganku. Dia dengan lirih mengatakan harus keluar kota untuk waktu yang lama.

Saat itu aku masih belum mengerti apa maksud ucapannya, ku kira dia hanya pergi dalam kurun waktu satu bulan, tapi ternyata aku salah! Dia kembali menegaskan dia juga pindah rumah. Aku saat itu bingung harus bereksi seperti apa, aku masih saja menghujamnya dengan berbagai pertanyaan tentang apa yang sedang kuhadapi saat itu.

Ku tanyakan perihal kuliahnya, ku tanyakan perihal semua yang sudah dia raih di kota ini-termasuk aku- tapi dia tetap saja diam.

Diamnya dia membingungkanku, diamnya dia menyakitiku, diamnya dia membuatku kecewa.

Dia sama sekali tidak menjelaskan apapun selain mengatakan "semua akan baik-baik saja, termasuk aku,kamu dan hubungan kita. Jarak tidak akan merubah segalanya. Jarak tidak akan merubah takdir baik untuk kita"

"Teknologi sekarang sudah canggih dan beragam, tinggal siap kuota dan pulsa saja." lanjutnya masih dengan memberi kesan humor pada ucapannya.

Aku tidak tertawa, sama sekali tidak! Pikiranku sudah sibuk menerawang jauh ke depan nanti. Bagaimana nanti? Bagaimana kalau semuanya berubah?

"Percayalah, akan terbit pelangi setelah hujan. Kita hanya perlu mengatasinya dengan tenang. Tentang masalah dan rintangan nanti, jangan dijadikan beban. Kamu percaya aku kan?" ucapnya masih tetap meyakinkanku.

Aku tetap tidak yakin, bagaimana kalau ada perempuan lain nanti disana, bagaimana kalau nanti dia berpaling dariku.

Membayangkannya saja sudah membuatku merinding ngeri, apalagi kalau sampai terjadi? Amit-amit.

Dan akhirnya setelah berkelut dengan pikiranku akhirnya aku mengangguk lemah, meng-iyakan semua yang ia katakan. Dengan artian aku setuju atau merelakan ia pergi.

Dia makassar dan aku dibandung. Terpisah oleh dimensi jarak waktu, bersatu dalam bayangan dan harapan semu untuk bertemu.

Ragu sering datang menyesakkan pikiranku, membelunggu menghasut diriku. Tapi satu lagi yang masih tersisa yaitu harapan untuk bertahan yang ku simpan rapat dihatiku.

RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang