Seminggu sudah semenjak perdebatan kami perihal Rama. Semenjak saat itu juga, kami lost contact, memang sudah biasa jika kami berdua lost contact, tapi yang tidak biasa itu saat kami lost contact dalam keadaan asta sedang marah.
Rama juga seakan tau saat dimana dia harus menjaga jarak saat hubunganku dengan Asta sedang renggang.
Tapi berjauhan dengan Rama rasanya tidak bisa berlama-lama, rasanya seperti ada yang mengganjal.
"Hai, darl." suara Rama datang membuat heboh taman yang sepi.
"Hello, darlung."
"Ih ko darlung, kan gue udah sweet manggilnya darl, masa dijawab darlung."
"Itu berarti lo spesial karna ga ada yang gue panggil darlung selain lo."
"Wah, spesial. Gapapa deh ikhlas gue dipanggil darlung asal jadi yang spesial di hati lo."
"Kata siapa di hati gue, orang di pantat gue, yeuuuu."
"Lah, sial."
Rama bergerak duduk mendekat ke arah ku, tapi aku sedikit beringsut menjauh, tidak ingin ada orang yang salah faham.
"Aaaaaa, Sasa. Gue kangen deh sama lo. Sini peluk sama abang Rama dulu." godanya sambil merentangkan tangannya.
Baru saja aku akan memukulnya tapi dia sudah terlebih dulu menarik tanganku dan mau tak mau aku kini sudah ada dipelukannya.
Hangat.
Lama kami berada dalam situasi seperti ini, sampai ada suara anak kecil yang menginterupsi kami.
"Om, tante, kalo mau pacaran jangan disini dong, ga modal banget."
Engggggg. Awkward.
aku berdeham, Rama menggaruk tengkuknya yang aku yakin tidak dalam keadaan gatal.
Aku tersenyum canggung melihat anak itu masih menatap kami dengan pandangan sinis.
Rama membuka dompetnya dan mengeluarkan uang lima ribuan yang langsung disodorkan ke anak itu, "nih buat beli es krim."
"Ih om-nya beneran ga modal, ini buat beli permen aja ga cukup, om."
"Buset matre juga ternyata ini bocah." Rama membuka dompetnya lagi dan kali ini mengeluarkan uang berwarna hijau, "nih, bilang aja lu mau duit, tong. Gausah ngehina gue ga modal."
"Nah gitu dong, om. Semoga langgeng ya sama tantenya."
"Doain ya, de." ucap Rama.
"Lah doain apa?" kutanya Rama dengan heran.
"Biar panjang umur gitu, he he he."
"Yeuuu dasar pantat kuda."
Setelah itu suasana kembali canggung.
"Enggg, gimana hubungan lo sama Asta?" akhirnya Rama mengatakan inti pembicaraan kami.
Aku bingung, harusnya Rama tidak menanyakan perihal hubunganku, melainkan sikap Asta atau yang lain sebagainya, seakan-akan dia hanya peduli hubunganku dengan Asta.
"Kalau hubungan sih, ya masih. Tapi kalo 'Asta'-nya sedang berada di suasana hati yang tidak baik-baik saja."
"Yaelah, baku banget bahasa lo." Rama mengalihkan pembicaraan, dia tertawa tapi bahasa tubuhnya terlihat sedang tidak tertawa.
"Harus ya ngebahas itu?" aku kembali membawanya ke arah pembicaraan serius, "ga ada yang mau lo bicarain lagi gitu?"
"Oke, oke. Gue minta maaf kalo hubungan lo jadi renggang–
"Lebih tepatnya sedikit renggang."
"Iya sedikit renggang, tapi gue ga ada maksud buat bikin rusak hubungan lo sama Asta, gue niatnya cuma ngajak nonton, oke? Ga lebih kan? Lagian Asta kenal gue, gue kenal Asta. Kita kan temen, remember? Gue temen Rala, lo temen Rala. Kita otomatis jadi temen."
"Cinta tumbuh tanpa memandang status."
Tiba-tiba saja ucapan Asta saat terakhir kami berkomunikasi terngiang, membuatku kembali akan percakapan hari itu.
Inilah resiko sikap Asta yang jarang marah padaku, sekali marah pasti akan membekas dan susah terlupakan.
"Sasaaaaaaa, di dengerin ga?" Rama terlihat kesal saat tau aku tidak mendengarkan apa yang dia ucapkan.
"He he maaf."

KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa
Romance"Aku tau ini salah, membiarkan orang lain masuk kedalam hubungan kita. Aku tau ini salah, membiarkan orang lain mengetahui masalah hubungan kita" Sasa. "Aku tahu ini salah membiarkan hatiku masuk terlalu dalam, aku tahu ini salah membiarkan diriku s...