Setan!

208 11 6
                                    

Entah sudah berapa kali aku berdecak kesal. Adikku yang juga sudah merasa tegang, menyetir mobil dengan level tertingginya. Berusaha keras menyalip di antara padatnya mobil dan truck di jalan tol menuju ke bandara.

Aku sengaja membeli tiket penerbangan paling pagi agar adikku bisa mengantarkanku ke bandara sebelum ia berangkat kerja. Dan karena semalam setelah terbangun dini hari, mataku seperti melawan keinginanku untuk tetap terbangun. Sebelum matahari terbit, tanpa aku sadari aku sudah jatuh tertidur dengan posisi duduk di atas tempat tidur sambil memegangi remote televisi.

Suara alarm yang sudah aku persiapkan sehari sebelumnya yang membuatku terbangun dan semenjak itu segala persiapanku menjadi terburu-buru.

"Aku takut ditinggal pesawat.", desahku khawatir sambil memandang keluar jendela.

"Nggak mungkin ditinggal. Kamu sudah check-in khan?!", tanya adikku sambil menyalip salah satu truk container dengan lihai.

Otomatis aku berbalik untuk memandang sisi wajah adikku.

"...mm...aku nggak sempat check-in.", ucapku sambil tersenyum salah tingkah.

Tanpa aku sadari aku sudah menggigit bibirku bawah sendiri. Aku bisa melihat wajah adikku mengeras kesal. Dan seperti biasa, jika ia marah ia hanya akan diam membisu dan menekuk wajahnya sedemikian kaku sampai-sampai aku bisa ikut-ikutan marah.

Sambil merasa bersalah sendiri, aku mengalihkan arah tubuhku dan duduk bersandar nyaman kursiku. Aku berusaha keras memikirkan sisi positif dari kejadian ini dan bagaimana aku bisa mencairkan suasana yang sudah beralih dari tegang ke marah menjadi normal kembali.

"Kalo memang ditinggal pesawat, ya sudah." Aku mencoba terdengar super santai. Sengaja aku lambatkan suaraku agar terdengar aku sudah pasrah dan tidak lagi ambil pusing. "Nanti begitu aku turun di sana, kamu langsung tinggal aja. Aku langsung lari ke counter untuk check-in. Kalo mereka nggak mau menerima aku, aku akan beli langsung tiket penerbangan selanjutnya."

Adikku tetap diam. Dia sama sekali tidak menggubrisku dan juga tidak mengurangi kecepatan mobil. Bahkan aku rasa dia semakin berusaha mengeluarkan segala talentanya dalam mengendarai mobil ini.

Kakiku otomatis menginjak rem imaginasi pada saat adikku dengan gesit berkelit dari jalur laju mobil kami. Tangan kiriku mencengkram seatbelt dan tanpa sadar aku berusaha menggigit bibirku.

Meski aku tahu belum ada satu orang pun yang bisa mengalahkan adikku di jalanan di bagian negara mana pun yang pernah kami hinggapi. Mesti bahkan papaku sendiri mengutarakan keinginannya untuk membuat adikku mempunyai segala tipe SIM baik SIM lokal maupun internasional. Namun bagaimana pun aku tetap tidak ingin untuk membiarkan adikku menyetir dalam keadaan kesal.

"Santai aja. Kalo emang aku ditinggal pesawat, aku bisa beli tiket lagi kok. Nggak usah terburu-buru sekarang.", aku kembali berusaha meyakinkannya.

Kali ini adikku membuka mulutnya. Tanpa menolehku, hanya memberikanku tatapan sadisnya. "Kamu bisa beli tiket lagi. Tapi aku nggak mau telat sampai ke kantor hari ini."

Sekali mulutnya terbuka dan mulutku tertutup rapat untuk seterusnya. Aku tidak bisa membantahnya kali ini. Aku hanya dapat menatap ke depan lalu mengambil nafas panjang.

Selama sepuluh menit ke depan aku dan adikku tetap diam. Sama-sama hanyut dalam pikiran masing-masing. Sesekali kakiku ikut menginjak rem 'imaginasi'ku. Dan sesekali aku menggigit bibirku agar tidak melontarkan peringatan-peringatan spontan yang muncul di kepalaku.

Adikku yang pertama kali membuka pembicaraan dan kali ini seperti tidak pernah sekali pun ia marah ketika mobil kami berhenti tepat di bagian drop off.

The Girl Who Sees Dream : Aku melihat mimpi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang