Aku mencintaimu

140 6 0
                                    

Malaikat membawaku pulang.

Bersama-sama dengan keluargaku, ia selalu menemani sampai kakiku kembali menyentuh rumah. 

Aku tidak akan membiarkan seorang pun melihat aku menangisi cinta yang gagal. Seakan aku tidak pernah mengenal setan, aku hanya diam dan akan membiarkan malaikat dan keluargaku membantuku kembali dalam keseharianku.

Tangan dinginnya menahanku agar aku kuat melangkah keluar dan menerima kenyataan bahwa setan sudah pergi meninggalkanku.

Senyum dinginnya menghiburku setiap kali senyumku menghilang. Senyumnya seakan menyindirku dalam diam. Menyindir bahwa pikiranku sudah terbang melayang menuju ke sisi lain dunia, membayangkan laki-laki yang sudah membuangku sementara ada dirinya di sisiku.

Malaikat selalu berada di sisiku sampai-sampai aku merasa bahwa dia memang bagian dari keluargaku.

Aura dinginnya terasa memang seharusnya berada di dalam rumahku. Ia selalu ada setiap kali aku berpaling. Ia selalu ada ketika aku membutuhkannya.

Ia meletakkan semua koperku di sisi lemari. Matanya menyusuri kamar tidurku. Aku tertawa kecil melihatnya memperhatikan setiap detail kamar berukuran mungil ini.

"Nyaman?" Ia berbalik setelah mendengar suara tawaku.

Aku mengangguk. Tidak merasa aneh dia berada di sana. Dia yang menepuk bantal di belakang punggungku. Dia yang bersikeras untuk berada di sini.

"Kamu mau membongkar isi kopermu?"

Ia menunjuk ke deret koper di sisi lemari tanpa melihatnya. Senyumku hilang. Aku menatap semua koper baru yang tidak aku kenali. Seakan setan nakalku ada di sini. Diwakili dengan keberadaaan benda-benda itu. Semua pemberiannya ada di dalam koper itu.

Aku menggeleng. Masih menatap semua barang itu dengan mata kosongku. Sedikit berharap malaikat ini keluar agar aku bisa menangis kembali.

"Jika aku membukanya.....", bisikku.

...aku akan melihatnya. Jika aku membukanya, aku akan mengingatnya. Dan jika aku membukanya, aku akan merasakan dia ada di sini.

Tiba-tiba malaikat dingin menjatuhkan tubuhnya di sisi ranjang. Sengaja ia menghalangi pandanganku dengan membentangkan tangannya dan menekan ranjang di kedua sisi tubuhku.

"Aku akan berada di sini. Bersamamu dan tidak pernah meninggalkanmu.", tegasnya. Ia menarik tanganku dan menangkupnya di antara tangan dinginnya.

Ia menatapku lamat-lamat, dan aku kembali menginginkan rasa dinginnya untuk membekukan hatiku yang terasa perih.

"Dia langsung ke Singapura setelah kemarin datang menemuimu."

Aku menutup kedua mataku. Rasa hangat mulai mengaliri mataku. Turun ke sisi wajahku. Aku bisa merasakan rasa kehilangannya karena aku melihatnya di mimpiku.

"Aku melihatnya dan aku mengatakan kepadanya untuk pergi sebelum terlambat.", kataku dengan kedua mataku terpejam. Aku bisa merasakan aku mulai menangis. Setelah aku berusaha keras untuk menahannya. Aku tidak bisa membendung air mata ini.

"Ini yang terbaik.", bisiknya sambil menepuk tanganku pelan.

"Segalanya sudah berakhir dan aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia meninggalkanku begitu saja.", bisikku di antara tangis yang mulai deras keluar meski aku tetap menghalanginya dengan terpejam.

"Aku ingin merasa marah karena ia meninggalkanku. Tapi aku juga merasa amat sangat lega mengingat ia selamat dan baik-baik saja.", isakku.

"Mulai saat ini...." Aku membuka mataku dengan perlahan. Menatap kabur wajah dingin di hadapanku. "....setiap kali aku melihat semua pakaian, semua barang yang ia berikan kepadaku, aku akan selalu teringat kepadanya."

"Mulai saat ini, setiap kali aku menatap layar televisi, aku akan mencari berita tentang dirinya. Mulai saat ini,  setiap kali aku berbaring di tempat tidur ini dan menunggu untuk terlelap....." Aku menarik nafas panjang. "....aku akan berharap untuk bermimpi tentang dirinya." Lalu aku kembali membiarkan diriku menangis keras.

Malaikat mendekatkan tubuhnya. Dan aku menyerahkan diri ke atas pundaknya. Membiarkan ia merasakan air mataku membasahi pundaknya. Ia memelukku erat.

"Aku akan selalu ada di sini untuk melindungimu dan menghapus air matamu.", bisiknya di telingaku.

Tangisku semakin lebat. Aku membalas dekapannya seakan berharap rasa dingin itu berubah menjadi kehangatan yang sudah terbiasa aku rasakan.

———

Dia duduk di ujung sana. Di antara banyak barang-barangku bergeletakkan di sana sini. Malaikat dingin itu menganggap keadaan sekitarnya tidak mengganggu sama sekali. Ia terlihat seperti ia memang sudah lama pantas untuk berada di sana.

Terkadang dia akan ikut memperhatikan pekerjaanku dengan teliti. Berdiri di antara diriku dan pekerja-pekerjaku lalu ia akan ikut memberikan komentar. Dan pekerja-pekerjaku akan mentertawakannya.

Terkadang dia akan duduk di ujung meja kayu besar yang berfungsi menjadi meja kantorku. Dalam diam dia hanya akan memusatkan perhatiannya ke depan laptop dan mengerjakan pekerjaannya. Tenggelam dalam dunianya tapi juga sensitif akan keberadaanku.

Kali ini aku menyandarkan tubuhku ke depan meja. Meletakkan sikuku ke atas meja dan menumpu daguku. Mengamati profil wajahnya.

Tujuh hari semenjak aku pulang kembali ke rumah. Lima hari semenjak aku mulai kembali beraktivitas sama seperti sebelum aku pergi meninggalkan rumah.

Pada saat kembali, semua berada di tempat yang sama. Pekerjaan yang sama. Tingkah keluargaku yang tidak berubah. Suasana yang sama. Namun diriku sudah tidak lagi sama seperti yang dulu.

Tanpa sadar jari telunjukku yang lain mengetuk meja dengan perlahan. Aku bertemu malaikat dalam mimpi dan dia tidak pernah meninggalkanku semenjak itu.

Dalam dingin ia menjagaku, memastikan aku baik-baik saja, membuat aku takut tapi juga menciptakan rasa sayang di dalam diriku. Ia bagai saudara yang hilang dan baru saja aku temukan. Rasa takutku terhadap dirinya dulu seperti tidak beralasan karena dia sekarang ada di dekatku. Selalu berada di sisiku.

Aku membayangkan diriku berdiri dari tempat dudukku. Mendatanginya dan memeluk tubuhnya dari belakang. Aku membayangkan diriku menerimanya sama seperti aku membiarkan diriku menerima setan itu.

Tidak.

Bayangan itu terasa salah. Aku tidak dapat memberikan jalan yang sama menuju ke sisi hatiku di sebelah sana.

Ia menoleh kepadaku. Ia menarik sudut bibirnya. Senyum kecil itu membuatku tersenyum lebar. Ia memergokiku tengah mengamatinya dan ia hanya tersenyum dan kembali memandangi layar laptop di hadapannya.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?", tanyanya tanpa mengalihkan matanya.

Aku juga tidak merubah apa yang sedang aku lakukan. Aku tetap mengamatinya sambil tersenyum. "Aku memikirkan bagaimana kamu bisa terlihat seperti saudaraku yang baru saja aku temukan. Kamu terlihat cocok duduk di sana. Kamu terlihat seperti salah satu anak yang baru kembali pulang ke rumah."

Ia menegakkan tubuhnya. Menghentikan pekerjaan lalu menatapku. Meski ia masih tersenyum. Senyum itu bukan lagi senyum yang sama dengan semula.

"Aku bukan saudaramu yang hilang.", ucapnya tenang. "Keluargamu menerimaku karena aku memang cocok untuk masuk ke dalam keluargamu."

Ia bangkit berdiri dan aku mengikuti gerakannya. Ia mengitari meja dan menarik sebuah kursi di sebelahku. Menempelkan kursi itu persis di sebelahku dan duduk di sana.

Tangannya mengitari tubuhku dan meletakkannya di atas punggung kursi. Aku menyandarkan kepalaku ke atas pundaknya. Rasa dingin dari dalam tubuhnya membuat hatiku tenang.

"Kamu tidak pernah mengatakan bukan hanya dirimu yang istimewa.", ucapnya dari puncak kepalaku.

Tangannya melingkari pundakku dan aku merasakan tangan dinginnya menyentuhku.

"Sebuah keluarga di jaman penjajahan Belanda dulu saling menjodohkan anak mereka. Setelah menikah, sang istri selalu keguguran. Setelah keguguran untuk ketiga kalinya, mereka pergi ke sebuah pohon jauh di pedalaman. Mereka memohon seorang anak dan pada saat mereka kembali, sang istri langsung hamil. Tidak lama kemudian anak itu lahir. Anak perempuan yang sehat. Mereka memberikan nama kepada anak itu sama dengan nama pohon di pedalaman. Yang mereka tidak sadari sampai anak dewasa ini adalah pohon itu sudah memberikan bukan seorang anak biasa, tapi seorang anak yang memiliki sebuah keistimewaan."

"Cerita sungguhan?", tanyanya penasaran begitu aku menyelesaikan ceritaku.

Ia merasakan aku terkekeh mendengar pertanyaannya. "Hanya secuil info yang diceritakan kepadaku dan adikku begitu keluargaku mengetahui bakat terpendam kami.", sahutku.

"Karena itu dia bisa melihat wajah? Karena itu kamu dapat melihat mimpi dan adikmu bisa melihat mahluk dunia lain?" Ia terdengar penuh minat.

"Sewaktu pecah perang, tepatnya pada saat Jepang masuk menggantikan Belanda, setiap keluarga terpisah. Mereka harus terpisah dan mengungsi. Tidur di satu bangunan bersama-sama dengan keluarga lainnya. Banyak yang mengetahui tentang bakat perempuan ini. Waktu itu dia jatuh sakit di penampungan. Setiap orang berusaha menanyainya. Bertanya bagaimana keluarga mereka yang terpisah dari mereka. Dan pada saat itu pasangan suami istri itu menyadari bahwa bakat istimewa yang dimiliki anak mereka bisa mengancam keselamatan anak mereka. Sejak saat itu, mereka pindah. Memulai hidup baru jauh di tempat lain. Anak perempuan itu tumbuh besar sambil berusaha menutupi apa yang ia miliki."

Aku mengangkat kepalaku. Memandangnya dengan tersenyum. "Aku rasa kamu semakin tertarik untuk mempekerjakan keluargaku di dalam bisnis kasino-mu."

Tawa dinginnya terdengar memenuhi ruangan kerjaku. Baru kali ini aku melihatnya tertawa lepas.

"Aku sudah bagian dari keluargamu.", jawabnya sambil tertawa.

———

Aku melihat bayangan diriku sendiri di dalam cermin. Aku memutar tubuhku lalu memutar kepalaku agar aku bisa melihat sedikit bagian punggungku. Aku ingin melihat jelas bekas luka di sana. Luka panjang yang akan selalu ada di sana untuk mengingatkanku padanya.

Teringat kebodohanku sendiri setelah mengingatnya, aku hentikan niatku dan aku menarik pakaian tidur bersih yang sudah aku siapkan. Mengenakannya kemudian keluar dari kamar mandi.

Aku tidak bisa menunduk untuk membuka selimut ranjang karena bekas jahitan di punggungku belum sepenuhnya mengering. Aku duduk di atas tempat tidur sambil mendesah panjang. Mataku tertumbuk ke arah koper-koper besar di sebelah lemari. Selama seminggu mereka masih berada di sana, tak tersentuh. Masih tertutup rapat dan tidak ada yang berani membukanya atau pun membahasnya.

Lagi-lagi aku merasa bodoh karena pikiranku kembali ke sana. Aku kembali mendesah berat. Aku sandarkan punggungku ke atas bantal nyaman. Aku naikkan kakiku ke atas tempat tidurku dan aku alihkan pandanganku kepada layar televisi di depan sana.

Televisi yang selalu menyala tanpa suara.

Dan di sana aku melihatnya...

Aku terdiam. Pikiranku berputar. Bahkan layar televisiku pun sanggup mendatangkannya untuk aku lihat.

Aku melihat wajahnya yang tertunduk. Setelan formal yang ia kenakan dan gayanya menyembunyikan kedua tangannya di dalam saku celanannya, masih seperti yang aku kenali. Wajah lesu itu tertunduk dan pada saat itu aku menyadari apa yang aku lihat adalah kenyataan.

Tanganku meraih remote televisi. Jantungku berdebar kencang. Aku mengetahui apa yang sedang terjadi. Aku bisa merasakan apa yang sedang ia rasakan di sana.

Tajuk utama berita muncul di bagian bawa, bersamaan dengan suara pembawa berita yang mulai terdengar jelas. Aku tidak mampu lagi bersandar. Aku menatapnya lekat-lekat.

Program berita itu menayangkan berulang-ulang momen setiap kali ia keluar masuk sebuah rumah sakit di Singapura. Tajuk utama berita di bagian bawah layar menuliskan dengan jelas bahwa mimpiku benar-benar terjadi.

Bunyi suara handphone terdengar. Tanganku bergerak mengambilnya tanpa mengalihkan tatapan mata dari layar televisi. Jariku menekan tapi pikiranku masih ada di layar televisi.

"Papanya meninggal...." Suara dingin di ujung sana terdengar jelas di telingaku begitu aku menempelkan handphone ke ujung telinga.

Aku mengangguk. Rasa rinduku seperti tidak dapat terobati karena aku terus menerus terpaku melihat wajahnya.

"Aku melihatnya.", ucapku nyaris berbisik.

"Tadi pagi meninggal dan akan dibawa kembali ke Indonesia." Malaikatku tidak terdengar bersimpati dan aku tidak perduli kepadanya. Aku bahkan tidak ingin berkedip karena aku takut ketika aku berkedip aku tidak dapat melihatnya lagi.

Arah kamera menyorot wajahnya dari dekat. Mungkin mereka baru saja mengambil rekaman itu. Tidak ada seringai di wajahnya. Ia masih menunduk. Ia keluar dari pintu rumah sakit dan ia langsung dikepung ajudan-ajudan yang menghalangi kamera untuk mengambil gambar atau video.

Jantungku berdebar. Aku tahu aku merindukannya karena aku ingin memeluknya saat ini. Aku melihat caranya berdiri menunggu di sana. Dengan kedua tangan di dalam saku celananya, menunduk meski sesekali mendongak untuk melihat sesuatu. Dan ketika ia mendongak untuk kesekian kalinya, sorot matanya tertuju lurus ke dalam kamera. Seakan menembus layar televisiku.

Seakan setan sedang menatapku...

Sontak tangisku pecah.

Aku melihatnya. Aku melihatnya kepedihan mendalam di dalam matanya. Ada kesepian bercampur di sana dan aku tahu setan jahat itu merasa sangat kehilangan.

Aku menangis. Aku hempaskan handphoneku ke atas tempat tidurku. Cepat-cepat aku seka air mataku karena aku ingin melihatnya jelas. Meski ia menyakitiku sangat dalam. Meski ia tidak membutuhkanku lagi. Tapi aku butuh untuk melihatnya. Aku butuh berada di sini dan turut merasakan rasa sedihnya.

Dan tayangan berita itu berhenti.

Di saat aku masih ingin memandang wajahnya.

Tangisku semakin pecah. Aku menunduk seakan tubuhku kesakitan. Suara sayup dari dalam handphone tidak aku perdulikan karena aku teringat yang lain. Aku memandang koper-koperku di sana. Pada saat ini tubuhku bekerja tidak dengan isi kepalaku. Aku bergegas menghambur koper-koper berat itu. Hatiku yang membawaku. Tanganku berlomba-lomba membuka setiap koper.

Begitu aku melihat semuanya terbuka. Aku melihat pakaian tidurku yang ia berikan kepadaku. Dan aku jatuh berlutut. Menangis di atas semua barang-barang yang muncul membawa semua memori yang aku miliki dengannya.

———

Aku merasa ada yang kurang. Ada yang terasa janggal. Ada sesuatu yang terlewatkan.

Aku berdiri di tengah-tengah kamarku. Berputar sambil meneliti setiap sudut kamarku. Memastikan tidak ada barang-barangku yang hilang. Aku paling tidak suka jika ada barangku yang hilang atau tidak rapi.

Segalanya ada di tempatnya masing-masing. Televisi yang menyala. Pintu kamar mandiku yang tertutup rapat. Lemari pakaianku yang tertutup. Karpet di bawah tempat tidurku tidak terlipat. Sandal rumah menyelimuti kakiku dengan nyaman. Selimutku terbentang rapi menutupi tempat tidur. Meja riasku terlihat penuh namun rapi.

Tubuhku berputar di tempat beberapa kali. Dan tidak ada satu pun yang salah dengan pemandangan di hadapanku.

Apa yang salah? Apa yang terlewat?

Pajangan di salah satu meja nakasku terlihat baru. Pajangan berupa mobil berwarna hitam di pinggir nakas itu bukan milikku dan aku tidak ada niatan untuk ke sana dan menyentuhnya.

Mataku beralih ke meja nakas di sisi lain tempat tidurku. Sebuah cangkir yang tadinya tidak di sana, sekarang ada di sana. Cangkir kopi itu menyeruakkan bau kopi yang aku tidak sukai.

Lalu suara menakutkan terdengar. Aku melirik ke atas kepalaku. Lampu kamarku terlihat akan jatuh menimpaku. Lampu itu masih menyala. Namun terlihat miring. Kapan pun bisa saja terjatuh dan menimpaku.

Aku ingin segera menyingkir tapi seseorang tengah memukul kaca jendelaku. Spontan aku merunduk dengan kedua tanganku menyilang di depan dada. Aku merunduk sambil berusaha melihat bagaimana jendela kamarku bisa pecah dan pecahannya berserakan di sekitar kakiku. Mengenaiku namun tidak melukaiku sama sekali.

Sebuah botol menggelinding dan berhenti setelah menyentuh ujung kakiku. Di antara serpihan pecahan kaca, aku melihat botol wine utuh. Tidak pecah dan terbaring di sana membingungkanku.

Ketika aku menunduk untuk melihat botol itu, aku menyadari kedua tanganku tengah memegang sesuatu. Sebuah pistol abu-abu tiba-tiba berada di dalam tanganku. Aku terperangah menyadari sedari tadi aku memeluk pistol ini di dalam dekapanku. Beratnya, dan bentuknya membuatku takut.

Aku takut pistol itu meledakkan peluru secara tidak sengaja. Pistol itu tampak berbahaya di dalam tanganku. Terasa nyata dan aku yakin pistol ini berpeluru.

Samar-samar aku mendengar suara dari luar kamarku. Samar-samar aku menangkap suara berat seorang laki-laki. Suara berat yang tidak mungkin aku lupakan.

Pistol itu masih di dalam tanganku. Aku tidak berani menggerakkan tanganku. Aku hanya menggeser tubuhku dan melihat melewati jendelaku yang sudah menganga di sana.

Aku melihatnya. Setanku berdiri di luar sana. Ia berdiri menghadapku sedang berbicara dengan dua orang lainnya yang tengah membelakangiku. Aku melihat seringai nakalnya dan gaya santainya.

Aku melihatnya tertawa di tengah pembicaraan mereka. Salah seorang dari dua laki-laki itu berbalik menghadapku. Aku mengenalinya. Mataku tertuju ke dalam tangannya.

Ia menggenggam sebilah pisau dan aku menggenggam pistol di dalam tanganku seakan aku biasa menggunakannya.

Tujuanku hanya satu. Dan menyingkirkan laki-laki itu adalah jalan satu-satunya yang terpikir olehku.

"Jangan."

Suara dingin itu muncul di antara kami. Setan itu masih terlihat santai berbincang dengan lawan bicaranya. Dia tidak ambil pusing dengan laki-laki lain yang menjadi targetku. Sedangkan malaikat itu muncul begitu saja di hadapanku. Berdiri di luar ruanganku seakan ia tengah menghalangi niatku.

"Jangan.", ucapnya sekali lagi.

Aku menatapnya bergantian dengan target di depan sana. Malaikatku tidak berteriak. Malaikatku tidak panik seperti yang tengah aku rasakan. Dia terlihat dingin.

"Jangan." Aku tidak melihat bibirnya bergerak. Aku hanya dapat mendengarnya namun aku yakin itu adalah suaranya.

Aku tidak bisa mengurungkan niatku. Tanganku mengarahkan pistol di dalam genggaman tanganku dengan yakin. Aku yakin aku harus melakukannya.

Aku melihat wajah setan itu di balik laki-laki jahat. Aku yakin dengan apa yang harus aku lakukan dan memang aku lakukan dengan cepat.

Begitu aku menarik pelatuknya. Tubuhku tersentak ke belakang. Suara ledakan dan hentakan di depanku membuatku terpelanting ke belakang.

Aku tersentak dan melayang di udara. Bertanya pada diriku sendiri dengan kedua mata terpejam.

Bagaimana peluru itu mengenaiku?

———

Dia tahu aku menantinya.

Malaikat muncul di depan rumahku jauh terlalu pagi dari biasanya. Begitu dia melihatku sudah menunggunya di depan pagar rumahku. Aku menatapnya dan melihatnya mengerti apa yang tengah aku rencanakan.

"Tidak." Ia menjawabku tanpa perlu menyapaku terlebih dahulu.

Tanganku menangkap lengannya. Menghimpitnya ke pagar. Mendongak dan memastikan ia menatap lekat-lekat mataku.

"Aku mohon bantu aku.", ucapku rendah.

Semua orang masih ada di dalam rumah. Begitu mereka melihat kehadirannya di rumah alih-alih di tempat kerja, aku yakin mereka akan menghalangi kesempatanku untuk berbicara dengannya.

"Aku tidak dapat membantumu.", jawabnya dingin.

Aku tahu, dia tahu bahwa dia harus membantuku. "Kamu masuk ke dalam mimpiku."

"Dan berusaha merubah mimpimu.", balasnya cepat.

Tanganku mencengkram erat lengan dinginnya. "Kamu tidak bisa merubah apa pun. Aku harus menemuinya. Dia harus tahu ada pelaku lain yang belum tertangkap. Kamu juga melihatnya di dalam mimpiku."

Ia mengangkat tangannya yang bebas dan ia menyentuh sisi wajahku. Lalu kepalanya menunduk dan aku melihat kepedihan di dalam matanya.

"Aku sudah berusaha menunggu agar kamu melupakannya.", ucapnya sedih. "Aku tidak ingin kamu terluka."

"Aku akan baik-baik saja. Kamu melihatnya sendiri di dalam mimpiku.", bujukku. Aku tahu air mataku hanya sedikit lagi untuk tumpah. Aku tahu dia juga melihatnya. "Tolong bantu aku."

Aku merengkuh erat lengannya. Aku tatap kedua matanya sungguh-sungguh. "Bawa aku untuk menemuinya terakhir kali. Setelah aku membantunya kali ini, aku akan kembali. Aku berjanji."

Ia menunduk dan menempelkan bibirnya ke atas dahiku. Merengkuhku lebih erat sebelum ia melihat tangis air mataku.

———

Sebuah ucapan duka cita memenuhi satu halaman koran di dalam tanganku. Ini adalah koran keempat yang aku pegang dan semuanya memuat ucapan duka cita yang sama. Tidak ada berita mengenai keluarga setan itu di koran-koran lokal. Hanya ucapan duka cita yang tercetak besar.

Sambil mendesah panjang, aku meletakkan tanganku yang masih memegang koran ke atas pangkuan. Aku membalikkan kepala ke jendela pesawat. Awan putih di luar sana terlihat dalam berbagai bentuk akan tetapi di dalam bayanganku hanya ada setan itu dan dua orang lainnya.

"Sebentar lagi kita akan sampai."

Aku berbalik dan wajah dingin di sampingku memandang dengan wajah cemasnya. Tanganku langsung menangkap tangan dinginnya.

"Aku sudah berjanji. Ini untuk terakhir kalinya.", ucapku berusaha menenangkan. Namun percuma, karena tangan dinginku juga menunjukkan kecemasanku sendiri.

"Aku tidak mempunyai bukti." Aku menambahkan sebelum malaikat di sisiku berubah pikiran. "Aku hanya mempunyai mimpi. Aku hanya dapat melindunginya."

Ia menampik tanganku dengan cepat namun semua itu hanya untuk mencengkram tanganku kembali. Aku tahu malaikatku marah. Ia juga sedih. Aku dapat merasakan dan melihat perasaannya yang bercampur aduk di setiap arti tatapannya. Tapi aku tidak bisa melepaskan ikatan yang aku rasakan terhadap setan itu begitu saja.

"Yang kamu miliki adalah kebodohan. Kamu bukan melindunginya, tapi kamu mengorbankan dirimu sendiri. Dan aku lebih bodoh daripada kamu karena aku membiarkanmu pergi untuk...", geramnya.

Cepat-cepat aku rengkuh lengannya. Tidak memperdulikan koran yang terlepas jatuh dari pangkuanku. Aku sandarkan kepalaku ke atas bahunya. Aku takut ia menghalangiku untuk melindungi setan yang aku cintai.

"Jika aku bisa kembali....", bisikku.

Tangannya melewati wajahku. Ia membalikkan tubuhku dan merengkuhku erat. Aku merasakan berat kepalanya di atas pundakku.

"Tidak ada kata jika." Ia merengkuhku sangat erat. Ada rasa lembab di pundakku tapi tidak ada tangis yang terdengar. Ada rasa nyaman di tubuhku tapi tidak ada rasa hangat. Ada rasa sakit di hatiku tapi ada rasa cinta yang jauh lebih besar daripada itu.

———

Aku duduk di dalam mobil bersama malaikat. Di belakang kami ada mobil lain yang disiapkan malaikat dingin ini untuk menyertai kami. Aku terlalu mengkhawatirkan apa yang akan terjadi nanti daripada mempertanyakan sebenarnya seberapa menakutkan pengaruh malaikat dingin di sisiku ini. Aku terlalu memikirkan kapan mimpiku ini terjadi daripada menanyakan tentang siapa ajudan-ajudan yang selalu mengenakan seragam batik di sekelilingnya.

Mobil kami berhenti di depan lobi gedung kondominium megah yang aku kenali. Meski hanya beberapa saat aku menempati salah satu lantai di gedung itu, tapi rasa rindu di dalam hatiku tidak terbendung.

"Kenapa kamu membawaku ke sini?", tanyaku masih dengan sorot mata terpancang ke luar. Berada di tempat ini membuat memoriku bersama setan kembali muncul.

"Menurut info yang aku dapatkan, setan itu baru tiba di Jakarta pagi tadi dan ia tetap memilih untuk tinggal di sini selama prosesi pemakaman. Aku juga masih menyewa lantai penthouse, jadi aku bisa membawamu masuk dan..."

"Memintanya untuk bertemu? Bagaimana jika dia tidak mengijinkan aku untuk menemuinya?" Aku berpaling dan menatap malaikat dengan khawatir. Ia masih terlihat dingin dan marah.

"Kita berdua tidak bisa memastikan kapan mimpimu itu akan terjadi.", sentaknya marah. Meski malaikat dingin itu marah, ia juga terlihat terluka. Aku yang sudah melukainya sangat dalam dengan memaksanya.

"Kamu memintaku untuk membantumu. Bagaimana kamu berniat untuk melindunginya jika kamu tidak mengetahui dengan pasti kapan mimpimu itu akan terjadi?! Yang terbaik adalah menemuinya sebelum ia pergi ke tempat persemayaman. Kita tidak bisa membuntutinya setiap saat dan menunggu dua orang itu muncul.", imbuhnya marah.

Aku terhenyak, bersandar kembali ke kursiku. Kepalaku menoleh keluar di mana di depan pintu lobi hanya ada beberapa wartawan asing yang terlihat sibuk berdiri. Mereka pasti tengah menunggu setan itu keluar.

Setan itu sudah berpikir aku tidak membutuhkannya lagi. Mungkin dia bahkan akan menolakku sebelum aku dapat menceritakan kepadanya apa yang aku sudah lihat di dalam mimpiku. Ia mungkin tidak akan percaya kepadaku. Mungkin berpikir aku hanya mencari alasan setelah ia mendepakku begitu saja. Terlebih saat ini, saat dia sedang sedih setelah kehilangan ayahnya.

"Tapi bagaimana jika mimpi yang aku lihat itu akan terjadi saat ini?", gumamku.

Seharusnya aku memikirkannya sendiri. Tapi bibirku membisikkannya begitu saja.

Bagaimana jika saat ini setan itu bersama....

Pada saat itu aku melihat gerak para wartawan asing di depan lobi terlihat mulai antusias. Aku tidak menghiraukan tanggapan tidak jelas dari sampingku. Punggungku sudah tegak dan kepalaku terjulur maju untuk melihat ke dalam lobi.

Jantungku berdebar kencang dan aku melihat sosok yang aku rindukan di sana. Beberapa meter di depan sana. Di dalam lobi aku melihatnya berdiri seperti baru saja keluar dari sarangnya. Meski banyak ajudan mengelilinginya. Aku masih dapat menemukannya dengan mudah. Meski jauh, aku mampu melihat wajah sedihnya.

Tanganku segera membuka pintu mobil. Di saat yang sama, aku melihat om gendut yang menjijikkan itu di sebelahnya. Direktur gendut itu berdiri di sebelahnya. Tersenyum licik dan tidak terlihat sedih sama sekali.

Aku berdiri di samping mobil dengan pintu terbuka lebar. Baru menyadari malaikat sudah berdiri di sampingku lalu aku segera menyentuh tangannya.

"Bagaimana orang itu bisa ada di sana?", ucapku mulai panik.

Aku melihat setanku hendak bersiap untuk keluar. Ajudan-ajudan mulai menahan beberapa wartawan dengan sikap tenang.  Mereka hanya mengambil foto dan merekam dari jarak yang sudah diberikan. Aku melihat setan itu hendak melangkah keluar. Ia banyak menunduk dan aku yakin ia tidak melihatku. Ia mendengarkan entah apa yang sedang dibicarakan pamannya di sisinya.

"Jangan panik. Tetap bersamaku." Perintah dingin itu mengejutkanku.

Aku melepaskan pandanganku dan berbalik melihat sekelilingku. Para ajudannya sudah berdiri di sekitar kami. Sudah bersiap dan aku tidak mengetahui kapan malaikat itu memberikan perintah. Seakan ia tahu apa yang akan aku lakukan berikutnya.

Malaikat itu meraih tanganku. Dan aku menepisnya. Aku kembali memandang ke depan. Melihat penjaga lobi membukakan pintu lobi. Aku melihat setan melangkah dengan perlahan. Segalanya terlihat bergerak dengan amat sangat lambat.

Tubuhku bergerak dengan sendirinya. Aku melangkah perlahan ke depan, sambil berusaha menepis malaikat yang hendak menghalangiku. Logikaku bermain cepat dengan mengedarkan kepalaku ke arah jalanan. Mataku memperhatikan dengan kemampuan yang aku miliki. Melihat setiap bangunan dan tempat yang terletak berlawanan arah dari tempat ini.

Aku merasakan malaikat berusaha menarik tanganku namun aku sudah berlari. Aku bahkan tidak menyadari kapan aku mulai berlari. Para ajudan setia berseragam batik mulai berbaur dengan ajudan-ajudan berpakaian hitam di depan sana.

Aku berlari. Aku berlari menuju ke arahnya. Matanya terlihat terkejut melihatku berlari ke arahnya. Detik itu aku tahu segalanya akan terjadi.

Aku kembali berpaling darinya. Berlari ke arahnya sambil mencari di mana letak laki-laki yang siap membidiknya. 

Pada saat aku merasakan tangan hangatnya menyentuhku. Mataku menemukan yang aku cari. Aku melihatnya dari tempat aku berdiri. Laki-laki di mimpiku yang siap di seberang sana dengan sesuatu di dalam tangannya.

Aku berpaling sepenuhnya, menghadap setanku. Setengah melompat lalu melingkarkan kedua tanganku ke atas lehernya dan memeluknya erat. Aku merasakan hangat tubuhnya dan sedetik kemudian aku mendengar jelas suara tembakan keras dan sentakan keras mengenai punggungku.

"TIDAAAAKKKKKK!!!!!"

Suara teriakannya memekikkan telingaku. Suara teriakannya menutupi keributan yang ada. Suara teriakannya menyadarkanku bahwa mimpiku sudah terjadi.

Ketika mataku terbuka, aku sudah melihat wajahnya di depan mataku. Air matanya membasahiku dan aku sudah tidak lagi memeluknya. Ia yang memelukku. Tanganku sudah tidak lagi berada di atas pundaknya.

Bau darah yang sangat pekat masuk ke dalam hidung.

"Kamu terluka?", bisikku.

Ia menangis. "Kenapa kamu kembali? Kenapa!!!!!" Ia berteriak dan menangis.

Banyak yang ingin aku katakan kepadanya, tapi mulutku tidak dapat terbuka. Banyak yang ingin aku tanyakan kepadanya, tapi aku tidak ada tenaga untuk itu.

Aku melihatnya menangis, berteriak, menyentak marah dan keributan di sekeliling kami membuatku menyadari bahwa ia sudah bersimpuh di atas tanah dengan tubuhku berbaring di dalam pelukannya.

"Aku merindukanmu."

Bahkan ungkapan itu terasa berat untuk keluar dari mulutku. Bukan karena aku tidak ingin mengatakannya. Tapi ada rasa sakit yang mulai menjalar dan menghabiskan tenagaku. Aku merasa tidak akan ada lagi waktu untukku. Dan aku tidak menyesalinya.

Aku berusaha mengangkat tanganku, menyentuh sisi wajahnya dengan jemariku. Rasa dingin menggigil mulai memakan tubuhku. Aku merasakan ketakutan yang mendalam karena aku tidak bisa merasakan hangat tubuhnya lagi.

Aku berusaha untuk mengeluarkan sisa-sisa tenaga yang aku miliki.

Sebelum terlambat...

"Aku...mencintaimu...", paksaku.

Dan kelopak mataku menutup tanpa aku inginkan. Bahkan tubuhku sendiri menolak untuk mendengarkanku. Telingaku masih menangkap teriakan pilunya namun kegelapan membawaku pergi menjauh bersama gema teriakan sedihnya.

The Girl Who Sees Dream : Aku melihat mimpi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang