Bibir merah di atas bibirnya

152 4 1
                                    

Seharian aku terbaring di atas tempat tidur. Suhu badanku meningkat drastis dan aku tidak bisa melakukan apa pun.

Begitu aku memaksanya untuk tidak pergi menjemput pengasuhnya keluar dari rumah sakit. Setan tampanku berpikir penuh nafsu. Ia beranggapan bahwa aku masih menginginkannya berbagi kehangatan di atas tempat tidur.

Setelah puas menghabiskan saat-saat matahari terbit, mempermainkanku di atas tempat tidur, ia sudah terlalu lelah untuk membantahku.

Untuk sesaat ia pergi meninggalkanku turun ke lantai lobi. Aku melihatnya menggenggam plastik berisi gaunku yang sudah terkoyak. Entah siapa yang dibayarnya untuk menyelidiki. Begitu ia kembali ke kamar, tubuhku sudah penuh peluh dingin. Menggigil selama beberapa saat dan mulai demam.

"Kamu hanya dapat melihat mimpi buruk tentang orang lain? Kamu tidak bisa melihat mimpi tentang dirimu sendiri?", tanyanya.

Dia duduk dengan perlahan di samping tubuhku. Tangannya mulai sibuk menempelkan kain serbet makan yang terpaksa dijadikan kain untuk mengompres dahiku.

"Bisa." Suaraku terdengar lirih. Aku memikirkan kembali beberapa mimpi yang masih dapat aku ingat jelas. "Sebenarnya bukan hanya mimpi buruk. Sering juga aku bermimpi tentang hal-hal gembira. Terkadang kamu juga melihatku menghubungi keluargaku untuk mengabarkan kabar gembira. Yang tidak biasa adalah aku bermimpi jelas tentangmu padahal selama ini kita belum pernah saling mengenal."

Setiap kali aku mengatakan poin ini, seringainya melebar. Dari wajahnya aku sudah bisa mengetahui apa yang ia pikirkan. Meski merasa lemas, aku paksakan tanganku untuk mencubit lengannya.

"Kamu merasa kamu spesial kan?!", cibirku. Ia tergelak sampai kain di atas dahiku bergeser menutupi wajahku.

Tangannya cepat-cepat menyingkirkannya dari wajahku. Ia masih tertawa sampai saat ia menunduk dan menempelkan bibirnya ke bibirku.

"Tentu saja aku spesial." Tawanya menulariku. Aku tidak habis pikir dengan sikap narsis yang ia miliki. Di saat yang sama, aku memang sudah menganggapnya spesial di dalam hatiku.

"Kamu mau tertular penyakitku?", godaku di sela gelak tawa kami.

Tangannya menangkap kedua tanganku dengan cepat. Membentangkan kedua tanganku ke kanan kiri kepalaku. Berat tubuhnya menekanku. Ujung hidungnya hampir-hampir menyentuh hidungku.

"Kamu memaksaku tidak keluar rumah hari ini karena kamu melihat hal buruk yang mungkin terjadi kepadaku atau kepadamu?", ucapnya dengan wajah menggoda.

"Karena aku takut sesuatu terjadi kepadamu.", bisikku lemah. "Bagaimana dengan pengasuh kesayanganmu...?"

Aku bahkan mulai terlampau lesu untuk menyelesaikan kalimatku.

"Dalam perjalanan kemari. Aku menyuruh supir untuk menjemput dan mengurus keperluan untuk keluar dari rumah sakit. Begitu pengasuhku sampai di sini. Aku akan memintanya untuk menjagamu. Ada rapat penting yang harus aku hadiri."

Mataku hampir menutup. Antara mengangguk tapi aku tidak rela ia pergi tanpa membawaku ke sisinya.

"Tidak bisakah menungguku agak baikan?", bisikku lalu aku setengah mendesah. Tubuhku menggeliat karena aku merasa bulir-bulir keringat di dahiku sangat panas.

Aku merasakan berat tubuhnya semakin menekan tubuhku. Aku menghirup aroma tubuhnya sangat dekat denganku. Dan aku menggigil merasakan nafasnya di depan wajahku.

"Jika saja aku tidak manusiawi, aku sudah merobek gaun tidurmu saat ini. Bahkan saat sakit pun, kamu masih bisa mendesah semenarik ini.", bisiknya di ujung bibirku.

"Tunggu aku sedikit membaik. Aku akan menemanimu..." Aku mendesah, semakin mengantuk.

Tekanan bibirnya di atas bibirku terasa layak upayanya agar aku tetap bangun.

The Girl Who Sees Dream : Aku melihat mimpi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang