Semua sudah selesai

140 4 0
                                    

Ia menarikku menuju taman buatan yang saat ini temaram dan sunyi. Hanya suara tawa geliku yang terdengar saat kami berlari kecil menuju ke tengah taman yang dibangun khusus untuk memperindah bangunan condominium mewah itu.

Ia membangunkanku di tengah malam buta hanya untuk membawaku ke tengah taman. Ia tidak membiarkanku mengganti baju tidurku. Ia hanya memberiku pakaian tidurnya untuk menutupi baju tidur minimku dan langsung membawaku turun dari lantai kami.

"Kamu bilang ingin jalan-jalan berduaan denganku. Aku hanya mewujudkan keinginanmu."

Ia membentangkan tangannya lebar-lebar. Aku mengikuti tingkahnya. Memandang jauh ke atas sana. Melihat gelapnya langit dan ribuan bintang yang menyinari kami. Suara jangkrik di sekitar kami mengisi suasana. Bau tanah setelah air menyirami tanaman-tanaman yang memenuhi taman luas itu membuat hatiku semakin ringan.

Tangannya melingkari pundakku. Aku melihat wajahnya menggantikan langit gelap. Aku melihat senyumnya dan aku merasa bahagia.

Aku memeluk lengannya dan kami mulai melangkah perlahan menyusuri taman. Aku sandarkan kepalaku dengan nyaman di lengannya.

"Kamu suka?" Aku mendengarnya bertanya kepadaku dan aku dapat membayangkan ia tersenyum kepadaku.

Aku hanya mengangguk.

"Kita bisa melakukan ini setiap malam. Setiap kamu terbangun jika kamu mendapatkan mimpi buruk. Aku bisa membawamu kemari untuk menghiburmu.", usulnya.

Aku mendongak. Kakiku berhenti melangkah dan ia berbalik memandangku. Menatapku dengan senyum tulus.

"Kamu tahu kan kalau aku harus kembali pulang ke rumah bagaimana pun juga. Aku tidak bisa bersamamu setiap hari seperti ini.", ucapku.

Senyum itu pudar dari wajahnya. Kami terdiam selama beberapa saat. Aku melihatnya mengangguk singkat lalu kembali menatapku. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh wajahku dengan lembut.

"Kita harus segera menemukan siapa di balik rencana pembunuhan terhadapmu dan aku harus segera pulang."

Ia hanya mendengarkanku. Tidak tersenyum, tidak juga cemberut. Ia menyentuh wajahku dan semakin mendekat kepadaku.

"Terkadang aku tidak ingin menangkap siapa dalangnya hanya karena aku tidak ingin kamu pergi meninggalkanku." Matanya menatapku dalam-dalam.

Keseriusan di dalam matanya membuatku terpaku.

"Apa maksudmu?" Suaraku terdengar tipis. Aku memandangnya penuh rasa tanya. "Apakah ada yang tidak aku ketahui? Ada yang kamu ketahui dan kamu tidak memberitahuku?"

Aku melihatnya merasa bersalah. Dia menyembunyikan sesuatu.

"Ada hasil tapi kamu tidak membaginya kepadaku? Apakah betul mertua adik tirimu di balik semua ini? Orang tua temanku yang sedang mengincar nyawamu?", tanyaku bertubi-tubi.

Kedua tanganku memegang pinggulnya. Pertanyaan demi pertanyaan semakin bermunculan di dalam benakku.

"Betulkah itu?", tanyaku memaksa. Ia sama sekali tidak membuka mulutnya dan menyiksaku menjadi penasaran seperti ini. "Arti mimpiku tentang vas itu menunjukkan siapa pelakunya? Apakah salah satu tersangka yang tertangkap sudah memberikan pengakuannya?"

Tanganku berusaha mengguncang tubuhnya tapi dia berdiri terlalu kokoh. Anggukan kepalanya membuat perasaanku bercampur seketika.

"Belum ada bukti, tapi sudah ada pengakuan dari office boy yang baru saja sadarkan diri. Motif sudah diketahui. Lebih tepatnya mertua anak haram itu menargetkan aku lenyap agar menantunya mendapatkan segalanya. Aku masih mencari tahu apakah anak haram itu ikut andil dalam hal ini." Akhirnya ia membuka mulutnya.

"Tapi mereka sedang pergi jauh. Kamu yang memberinya kesempatan untuk berbulan madu." Aku sendiri tidak mengerti bagaimana aku masih bisa membela temanku dan suaminya. Meski aku bimbang, namun aku masih tidak menyangka temanku turut andil dalam hal ini.

Ia mendesah panjang. Setelah melepaskan tangannya dari wajahku, ia menggandeng tanganku dan kami kembali berjalan menyusuri trek sunyi.

"Mereka bisa menggunakan sekian banyak orang untuk menjalankan misi mereka. Tidak menjadi jaminan dengan berada jauh di sana berarti dia tidak ada andil.", ucapnya pelan. "Keterlibatan pihak keluarga temanmu benar-benar memberikan titik terang. Membuka kejelasan akan kejadian di resepsi mereka."

"Bagaimana dengan yang menyerangku dan pengasuhmu?"

"Pasti akan segera tertangkap. Sudah ada titik terang...."

Aku melihat seseorang menyerang dari belakang kami sebelum ia menyelesaikan apa yang akan ia katakan.

Aku melihat sepasang mata di belakang kepalanya. Teriak kagetku hilang di dalam dekap kuat sebuah tangan ke atas mulutku. Tanganku terpisah dengan paksa darinya dan aku merasakan diriku ditarik menjauh darinya.

Mataku terbelalak menyaksikan beberapa tubuh tegap mulai mengitarinya. Aku menggelepar di dalam pegangan seseorang di belakangku. Beberapa tubuh tegap di depan sana mulai memukulinya. Ia mencoba untuk melindungi dirinya namun pukulan-pukulan yang datang bertubi membuatnya kalah.

Tubuhku terangkat di udara. Aku menyaksikan mereka menyerangnya. Mereka memukuli tubuhnya membabi buta dan pukul yang terakhir di tengkuknya membuatnya tersungkur.

Kakiku menendang ke udara. Teriakanku tidak terdengar. Tertutup telapak tangan berbau bensin.

Aku masih dapat melihatnya dengan jelas. Aku melihat mereka memasukkan tubuh besarnya ke dalam sebuah kantong sampah berukuran besar. Aku merasakan tangan-tangan lain di tubuhku. Aku mencoba mengentakkan tubuhku agar aku terlepas dari tangan kuat mereka. Aku melihat wajahnya tidak sadar diri sebelum seluruh tubuhnya tertutup di dalam kantong.

Jangan....! Jangan biarkan dia...!

Jarak di antara kami, teriakanku yang tertahan dekap tangan penyerang tak terlihat itu, semua menggambarkan kejadian di dalam mimpiku dengan sempurna. Lalu sentakan keras di belakang tengkukku membuat kegelapan menghentikan mimpi burukku.

———

Aku berakhir di sebuah rumah tua terbelengkalai. Entah bagaimana aku bisa berada di dalam salah satu ruangan. Dengan tempat tidur besi berkarat, kain tirai jendela yang robek dan dinding yang lembab.

Aku melangkah ke jendela dan melihat langit masih gelap. Aku berada di lantai dua rumah tersebut. Tanpa ada cacat atau luka secuil pun pada tubuhku.

Aku melihat dari tempatku berdiri. Lampu sorot yang menyinari halaman rumah itu menunjukkan kegiatan aneh di sana. Perempuan-perempuan dengan pakaian compang-camping terlihat sibuk di tengah malam buta seperti ini.

Suara tidak mengenakan terdengar menakutkan. Pintu kamar berderit ketika seseorang membukanya. Aku tidak mengenali wajah mereka. Perempuan-perempuan itu mendatangiku. Aku hanya menoleh dan memandang mereka dalam diam. Tidak ada rasa takut, hanya aku tahu apa yang mereka inginkan dariku.

Mereka menarikku dengan paksa. Membawaku keluar ruangan lembab dan berbau tidak enak. Menyusuri dinginnya lorong rumah yang sama menjijikkannya dengan ruangan sebelumnya. Aku melihat banyak orang lain memandangku. Memandangku diam seperti mereka tahu aku akan segera mendapatkan giliranku.

Semua yang aku lihat hanyalah perempuan dengan pakaian compang camping.

Perempuan-perempuan itu membuka pintu sebuah ruangan di ujung lorong. Salah satunya menendang pintu itu sampai terbuka membentur dinding. Mereka menyeretku masuk ke dalam sebuah kamar mandi luas dengan sebuah jendela besar.

Banyak bilik di dalamnya. Ini bukan rumah.

Banyak bilik dan jamban-jamban kotor di dalamnya.

Mereka mendorongku sampai aku terjerambab ke atas lantai. Aku mendongak dan melihat mereka mengelilingku. Aku tahu apa yang akan terjadi berikutnya.

Aku akan mati. Mereka akan membunuhku dan tidak ada yang dapat menyelamatkanku.

Mereka hanya berdiri di sana. Melingkariku sementara aku berusaha untuk berdiri. Aku berdiri dan membiarkan mereka mengamatiku dengan mata kosong mereka.

Ketika aku sudah berdiri tegak dengan kedua kakiku, aku mencoba untuk melangkah ke depan. Aku berusaha mendekat ke jendela besar di sana. Paling tidak biarkan aku menghirup udara segar untuk terakhir kalinya.

Mereka hanya diam memandangiku sementara aku melangkah ke sana. Dan aku tidak menemukan hal ini aneh. Tanganku mencengkram pinggir jendela. Jendela besar ini tidak memiliki tirai. Aku melihat ke luar. Melihat gelapnya langit, dinginnya udara, dan perempuan-perempuan yang sama di bawah sana.

Mataku memandang sekali lagi ke bawah sana. Melihat lebih jelas kesibukan apa di sana. Dan aku melihatnya.

Meski kedua matanya terpejam, aku bisa mengenali seringainya. Dia terbaring di sana. Di atas tanah dengan sekian banyak perempuan mengelilinginya. Setiap wanita membawa sebilah pisau.

Aku melihat jelas seorang perempuan menghumuskan pisaunya. Mengangkat tangannya ke udara malam dan pikiranku seperti yakin mereka semua memiliki pisau yang sama.

Tangan perempuan itu teracung sangat tinggi. Aku melihatnya menghentakkan tangannya lurus ke bawah. Menuju tepat ke tengah dada setanku yang tertidur di sana. Nafasku tercekat seketika.

Dan kedua mataku terbelalak....

Bulir-bulir keringat membasahiku. Aku terbangun dengan terengah-engah.

Aku melihatnya berbaring beberapa meter di hadapanku. Banyak tali yang mengikat tubuhnya. Aku melihatnya berbaring dengan salah satu pelipisnya menyentuh tanah. Sama sepertiku.

Aku melihatnya memandangku dengan wajah kuatnya. Aku melihat rasa takut di dalam matanya. Tubuhnya tertelungkup dengan model yang aneh. Sama sepertiku.

Aku melihat bercak darah di sekitar pelipisnya dan warna pakaian tidurnya menjadi hitam kusam. Dan aku menyadari aku juga mencium bau darah di dekatku.

Aku melihatnya masih bernafas. Sama sepertiku.

"Semua akan baik-baik saja.", bisiknya dengan tersenyum nakal. Namun hatiku tahu semua tidak akan baik-baik saja.

Aku mulai menangis ketika seseorang berdiri di antara kami dan menendang perutnya dengan keras. Aku semakin menangis mendengar ia melenguh kesakitan.

Inikah akhirnya?

Sosok tubuh tegap lainnya menjambak rambutnya sampai aku bisa melihatnya mendongak kesakitan dan aku menangis semakin keras.

Laki-laki lainnya datang dan membuatnya berlutut. Mereka semua mengenakan masker untuk menutupi wajah mereka sehingga aku tidak bisa melihat jelas bagaimana wajah penyandera kami.

Hidungku sempat menarik aroma udara laut. Telingaku mulai mendengar suara burung seakan kami berada di tepi pantai.

Dan aku melihatnya dengan samar. Pukulan pertama yang menimpa wajahnya. Pukulan kedua yang mengenai perutnya. Dan yang hanya dapat aku lakukan adalah menangis.

Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi.

Aku mencoba berdiri dan tersadar tubuhku sendiri terikat kuat. Kedua tanganku berada di belakang tubuhku. Dan aku bisa merasakan kasar pasir dan tanah di wajahku. Aku memaksakan untuk berdiri dengan lutut terasa perih karena menekan kasarnya tanah. Suara menyakitkan di depan sana semakin menyayat ulu hati.

Pria bertubuh tegap yang lain datang menghampiri mereka. Mereka tidak menghiraukanku yang mencoba untuk berdiri di belakang mereka. Kilat pisau di tangan salah satunya membuatku semakin berusaha untuk bangkit.

Satu di antara mereka menahan agar setan itu tetap berlutut, dua yang lain berhenti memukuli dan hanya berdiri di sana. Satu yang lain menunjukkan pisau di tangannya.

Inilah akhirnya.... Inilah akhirnya.....

Aku berdiri dengan kekuatanku yang terakhir. Melihat kesempatan yang aku miliki. Hanya satu kali ini. Hanya ini kesempatan yang aku miliki. Ketika mereka meremehkanmu. Ketika mereka tidak memikirkanku.

Aku melihat tangan laki-laki itu siap bergerak. Aku melihat gerakan tangannya. Menarik ke belakang dengan cengkraman kuat di gagang pisau itu. Lalu aku berlari...

Aku berlari dengan kekuatanku yang terakhir.

Aku berlari melewati mereka. Merasakan keterkejutan mereka namun tidak membuat gerakan pisau itu terhenti. Aku berlari dan aku menabrakkan tubuhku ke depan tubuhnya. Aku menabrakkan dadaku ke depan dadanya kemudian yang aku rasakan bukanlah rasa sakit.

Aku melihat wajah lebamnya tepat di depan mataku. Aku merasakan rasa dingin menghujam tubuhku. Aku melihat kedua matanya terpejam berlumuran darah di hadapanku dan aku merasakan tubuhku jatuh menimpanya.

Inilah akhirnya...

Untuk terakhir kalinya aku merasakan aku menangis.

Tidak ada lagi yang menahan tubuhnya, tubuhku jatuh menimpanya dan kami berdua terjatuh.

———

Rambut halus itu.

Rasa dingin di dalam tubuhku. Menembus punggungku.

"Bukan waktunya...", bisik suara dingin.

Malaikat itu menyambutku. Aku melihat wajahnya yang terlihat khawatir dan aku tersenyum. Malaikat dingin itu tidak lagi membuatku takut. Sudah habis waktuku. Aku hanya berharap dia tidak membawa serta setan tampanku bersamanya. Bawa diriku saja, namun jangan bawa setanku pergi. Aku ingin dia selamat.

Aku melihat cahaya terang di sekitarnya.

"Bawa aku pergi tapi jangan bawa dia juga." Dengan segenap tenaga aku berusaha untuk mengucapkannya.

Malaikat dingin itu memandangku diam. Lalu ia meninggalkanku. Hilang begitu saja sementara cahaya terang menyilaukan mataku dan aku kembali larut dalam kegelapan.

———

Bunyi detik tidak mengenakkan di dekat telingaku terdengar sangat mengganggu. Aku tidak merasakan diriku tertidur. Aku hanya merasa kedua mataku terpejam dan merasa terganggu dengan bunyi menyebalkan itu.

Sejurus kemudian aku merasakan bibirku kering. Lidahku berusaha membasahinya namun tenggorokanku semakin terasa kering karenanya.

Berikutnya aku mulai merasa tidak nyaman. Aku tidak bisa merasakan punggungku sendiri. Gabungan ketiga masalah ini membuatku mengernyit. Mataku seakan tidak ada tenaga untuk terbuka.

Telingaku menangkap suara. Suara yang aku kenali mulai terdengar ramai memenuhi pikiranku.

Aku merasakan sentuhan halus di lenganku. Dan aku masih tidak mampu membuka mataku.

Suara menjijikkan yang terdengar berikutnya membuatku semakin bingung. Aku berusaha menggerakan tanganku. Aku merasakan aku tengah menggenggam tangan seseorang namun aku masih berusaha keras untuk membuka mataku.

Silau penerangan mengejutkanku. Aku memutar kepalaku perlahan. Memandangi setiap wajah di hadapanku. Aku belum bisa membuka mataku lebar-lebar. Aku menyipit dan mengenali satu persatu manusia di hadapanku. Mereka memandangku khawatir dan sibuk mengatakan berbagai hal.

Mereka tidak bertanya kepadaku, tapi saling berbicara satu sama lain. Melihat mereka masih sama seperti ketika aku meninggalkan mereka dulu, aku hanya dapat tersenyum kecut.

Dua orang dokter dan beberapa suster langsung datang menyerbu. Saat mereka menggusur orang tuaku, nenekku dan adikku agar segera menyingkir keluar ruangan, barulah saat itu aku sadari bahwa aku masih hidup.

Aku membiarkan mereka memeriksaku. Aku melihat sebuah alat yang menyambung ke dadaku. Aku melihat selang infus di tangan yang lain. Aku mendengar mereka bertanya kepadaku mengenai berbagai hal namun aku masih tidak mengerti apa yang terjadi.

Mataku sempat menangkap gerakan di sudut ruangan. Keluargaku mencoba membiarkan para dokter itu memeriksa keadaanku dengan tenang dan bergegas keluar dari kamar. Pada saat itu aku menyadari aku berada di sebuah kamar rumah sakit. Aku mengenali ruangan itu sama ketika aku harus dirawat di sini setelah penyerangan yang lalu terjadi.

"Bagaimana keadaannya?" Tanganku meraih tangan salah satu suster yang berdiri di dekatku.

"Di mana dia?", tanyaku berdebar kencang. Aku tahu mereka mengetahui siapa yang aku maksud.

Rasa panik mulai memenuhiku. Ingatan bagaimana setan tidak sadarkan diri di hadapanku muncul seketika. Aku mengingat dengan jelas lebam wajahnya. Tubuhnya terikat dan aku menabrakkan tubuhku ke depannya. Menghalangi pisau itu.

"Di mana...?", tanyaku sedikit lebih keras dari yang aku bisa. Aku merasakan rasa sakit mulai memenuhi sekujur tubuhku.

Dua dokter itu memandangku dengan lembut. Yang satu menangkap tanganku. Menepuknya ringan dan menggantikan suster di sebelahku. Ia membuka mulutnya untuk menjawabku tapi seseorang membuka pintu kamar.

Malaikat dingin berdiri di sana. Dengan setelan yang selalu sama, ia muncul begitu saja dan menatapku tajam.

"Dia baik-baik saja.", ucapnya dingin. Tanpa senyum dinginnya, ia melangkah ke ujung ranjang rumah sakitku.

"Bagaimana kondisinya?" Ia mengalihkan matanya kepada dua dokter di sisi tubuhku.

"Semua baik-baik saja. Semua hasil test juga stabil untuk saat ini. Hanya perlu beberapa hari untuk melihat perkembangannya. Luka tusukan di bagian belakang punggung juga tidak seberapa dalam. Tidak sampai mengenai bagian-bagian vital." Salah satu dokter berbalik kepadaku. Tersenyum lembut lalu menepuk bahuku sekilas. "Anda sangat berani."

Dua dokter itu memberikan beberapa perintah perihal pengobatan yang harus dilakukan kepada para suster yang mengelilingiku. Malaikat dingin itu masih di sana dan bertindak sebagai waliku dengan menanyakan berbagai hal sementara aku hanya diam membisu memandanginya.

Salah seorang suster menaikkan setengah ranjangku agar aku bisa duduk dengan nyaman. Lalu mereka semua meninggalkan ruangan. Meninggalkanku bersama malaikat dingin itu.

"Benarkah dia baik-baik saja?", tanyaku begitu ia menutup pintu setelah para dokter dan suster pergi.

Aku menahan tangisku dan berharap apa yang ia katakan benar. Aku hanya ingin melihat setanku baik-baik saja.

Ia melangkah ke sisi ranjangku. Menarik sebuah kursi dan duduk di dekatku. Ia menyelipkan tangan dinginnya ke bawah tanganku yang juga terasa dingin. Tangannya yang lain menangkup tanganku.

Ia menunduk dan mendesah. "Laki-laki itu baik-baik saja."

Aku ingin menekan mata basahku untuk menghalangi air mataku agar tidak terjatuh tapi tidak bisa. Aku tidak memiliki tenaga untuk itu.

Malaikat itu menegakkan tubuhnya. Menaikkan kepalanya kembali dan menatapku. Aku tahu ia mengkhawatirkanku.

Aku tahu.

"Apa kamu yang menyelamatkan kami?", bisikku.

Ia mengangguk. "Aku menyelamatkanmu. Kamu yang menyelamatkan setan itu."

"Bagaimana..?"

"Bagaimana bisa aku menyelamatkanmu?" Ia berdecak. "Bagaimana kamu bisa mengorbankan nyawamu sendiri hanya untuk laki-laki itu? Aku sudah mengatakan kepadamu untuk tidak mencampuri takdirnya. Kamu hanya akan berakhir mengganti nyawanya dengan nyawamu sendiri."

Suara dingin itu menggelegar penuh amarah. Aku bergidik antara terkejut dan takut. Aku tidak pernah melihatnya semarah ini. Malaikat dinginku memandangku marah.

"Aku melihatnya di mimpiku. Aku tidak bisa begitu saja mengabaikan mimpi itu dan membiarkan semua terjadi begitu saja kepadanya." Aku berusaha menjelaskan dengan perlahan.

"Tidakkah kamu menyadari apa yang kamu lakukan?", tanyanya seakan aku bodoh.

Aku mengernyitkan dahiku. Aku menunggu malaikat itu untuk menjelaskan kepadaku.

"Kamu melihat apa yang akan terjadi. Tapi jika kamu menghalanginya, kamu yang akan menggantikannya.", ucapnya penuh penekanan. Ia menatapku lekat-lekat. "Dengan merusak takdir hidup seseorang, berarti kamu bersedia menggantikannya. Menanggungnya."

Dengan nanar aku menatapnya.

"Tidakkah selama ini kamu menyadari? Setiap kali kamu mencegah sesuatu yang buruk terjadi kepada orang lain, dirimu yang menggantikan mereka. Kamu menanggungnya. Maukah kamu menggantikannya terbunuh?"

"Kamu sedang bercanda kan?" Aku ingin memecahkan gurauannya dengan tertawa namun tidak ada tawa yang keluar. Ia masih menatapku dingin.

"Aku selalu mengingatkanmu tapi kamu selalu tidak mendengarkanku. Pikirkan baik-baik semua alasan mengapa kamu tiba-tiba jatuh sakit setiap kali mencegah sesuatu terjadi kepada orang lain. Pikirkan baik-baik setiap peristiwa yang sudah pernah terjadi kepadamu selama ini."

Aku merasakan ia mencengkram tanganku kuat. Ia menatapku dan aku melihatnya tengah memohon.

"Kamu bukan sedang menyelamatkannya.", bisiknya dingin. "Kamu hanya menggantikannya."

Air mataku jatuh begitu saja. "Belum tentu apa yang kamu katakan ini benar. Kamu tidak mengerti....", ucapku lemah.

"Aku mengerti. Aku mengerti karena aku jauh lebih baik darimu dalam hal ini." Ia melepaskan tangannya dari tanganku. Ia menyentak, berdiri dari kursi yang ia duduki. Aku merasakan dingin tangannya menyentuh pundakku. Mungkin ia ingin menguncang tubuhku tapi ia tidak melakukannya. Ia menatapku dengan wajah sedihnya.

"Aku sama sepertimu.", ucapnya di atas wajahku. Ia membiarkanku menatapnya di antara air mataku. "Bahkan lebih baik."

"Dulu aku sepertimu sampai aku menyadari bahwa kita hanya dapat melihat apa yang akan terjadi. Mendapatkan lebih dulu dari orang lain lewat mimpi. Tapi bukan untuk menggantikan mereka dengan nyawa kita. Bukan untuk merubah takdir seseorang. Bisakah kamu mengerti hal ini?"

Aku merasakan cengkraman dinginnya di pundakku. Aku menggelengkan kepalaku. Merasa pusing dan juga mual. "Jika memang aku bisa menggantikannya, aku rela. Aku rela.", ucapku mulai menangis.

"Aku yang tidak rela.", sentaknya sampai aku kembali mendongak dan menatapnya penuh dengan air mata.

"Aku melihatmu dan aku selalu menyelamatkanmu. Meski ini belum saatnya untuk laki-laki itu mati, tapi aku tidak bisa melihatmu seperti ini. Dengan bodohnya kamu memilih untuk menanggung segalanya. Seumur hidup setan kesayanganmu itu akan hanya penuh dengan drama menakutkan, dan aku tidak bisa melihatmu berkorban untuknya." Ada getar amarah di dalam ucapannya.

Aku menangis sementara ia meneriakiku. Aku menangis bukan karena aku takut. Aku menangis karena aku membayangkan bagaimana hidup yang harus di jalani setanku. Penuh dengan rasa iri, politik di dalam keluarganya sendiri, kesendirian.

"Dia tidak bisa melindungimu." Tangan dingin itu menangkup wajahku. Membuatku menatap wajah sedihnya. Mata dinginnya menusuk perasaanku. Di hadapanku ada seseorang yang sama denganku. Dia yang menyelamatkanku. Tapi aku tidak memiliki perasaan yang sama seperti perasaanku terhadap setan itu.

"Aku bisa melindunginya.", bisikku di antara isak tangisku. "Biarkan aku melindunginya.", isakku.

Aku menangis semakin deras. Ia meletakkan dahi dinginnya ke atas dahiku. Memelukku dan aku tidak merasa takut. Rasa dinginnya yang menjadi satu dengan rasa dingin dari tubuhku membuatku merasa nyaman. Hatiku tenang menerimanya.

Malaikat memelukku dan aku merasakan rasanya memiliki seorang kakak.

———

Ketika aku tertidur malam itu, malaikat tetap duduk menjagaku.  Keluargaku membangunkanku di pagi hari berikutnya dan dia tidak ada di sana. Seakan dia hanyalah mimpi.

Aku ingin menanyakan di mana setanku berada. Tapi mulutku tidak bisa terbuka. Keluargaku tidak bertanya atau pun membicarakan apa yang terjadi. Mereka hanya sibuk berusaha terlihat ceria di depanku. Berkali-kali menekankan bahwa aku akan pulang bersama mereka dalam waktu dekat.

Berita tentang penculikan setan tersebar luas di setiap chanel  televisi. Semua liputan berita tidak satu pun mengungkapkan keterlibatanku atau pun menyebutkan di mana setan itu sekarang berada. Dan semua yang berada di dalam ruanganku hanya diam membisu. Seakan aku memang tidak ikut di dalamnya.

Aku menghabiskan waktu menonton setiap berita yang ada. Mempelajari bagaimana malaikat itu bisa datang tepat waktu untuk menolongku. Mengetahui hanya dari televisi bagaimana mereka menangkap setiap laki-laki yang sudah membuat kami sengsara.

Profil setan dibahas dengan detail di setiap berita. Saat ini setiap orang mungkin mengenal siapa dirinya, berapa besar asset yang dimilikinya, dan kasus apa yang sedang dihadapinya.

"Bagaimana kondisinya?", tanyaku tanpa mengalihkan mataku dari televisi begitu malaikat itu masuk ke dalam ruanganku. Ia datang menggantikan keluargaku. Membuatku yakin keluargaku sudah mengenalnya dan mereka mempunyai kesepakatan diluar sepengetahuanku.

Ia terdiam. Menatap berita yang aku saksikan lalu melangkah ke sampingku. Duduk di atas kursi dan merebut remote televisi dari tanganku.

"Jauh lebih baik dari kondisimu.", jawabnya singkat.

Aku berbalik menatapnya. "Bagaimana kamu mengetahui kejadian itu? Bagaimana kamu bisa datang tepat waktu?"

"Sudah aku katakan aku lebih baik darimu.", jawabnya singkat.

Ia tahu aku masih menantinya. Ia kembali membuka mulutnya. "Aku jauh lebih baik darimu. Saat ini aku bisa melihat mimpimu. Aku bisa memasuki mimpimu."

"Masuk tapi tidak merubah." Ia menekankan. "Dua mimpi terakhirmu semakin membuatku khawatir. Dan mimpi yang kamu dapatkan pada saat kamu diculik membuatku dapat menemukanmu."

"Sama halnya dengan penyerangan yang dilakukan ke mobil?"

Ia mengangguk cepat. "Aku melihatnya dari mimpimu. Aku selalu mengikutimu. Aku selalu menjagamu dari jauh. Dan yang terakhir ini membuatku semakin...."

Ia berhenti di sana. Tangannya memegang kepalanya. Memijit pelipisnya sekilas lalu kembali menatapku. "Aku datang terlambat malam itu. Kamu sudah mengorbankan dirimu sendiri dengan membiarkan penculikmu menusukmu. Bekas luka tusukan akan selalu ada di tubuhmu."

"Jika memang setanku ditakdirkan untuk mati, seharusnya aku sudah mati saat ini menggantikannya.", ucapku seketika.

Ia terperangah mendengar pemikiranku. "Apakah kamu berniat untuk menunggu saat itu untuk benar-benar datang menimpamu?", tanyanya dengan wajah terkejut.

Aku memalingkan wajahku darinya. Bersandar nyaman dan memandang ke luar jendela kamar rumah sakit. "Hanya logikaku saja.", desahku.

"Bisakah aku menemuinya? Aku ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja.", tanyaku setengah berbisik.

Dingin tangannya menyentuh tanganku. Tapi aku tidak  ingin memandang wajahnya.

"Yang ia terima hanya luka lebam di wajah dan tubuhnya. Sudah tidak ada lagi yang perlu kamu khawatirkan. Pelakunya bahkan sudah tertangkap."

Mendengar berita mengejutkan itu, aku kembali menatapnya. "Pelakunya tertangkap?", ulangku.

Ia mengangguk. Tangannya mencoba merapikan selimut di atas pangkuanku. Ia mulai sibuk memastikan aku nyaman dan meneliti keperluanku di dalam ruangan itu sambil tetap menjawabku.

"Supir pribadinya adalah salah satu pengawal khusus. Dia yang menghubungi polisi. Ketika mereka sempat kehilangan petunjuk ke mana kalian diculik, aku yang memberitahu mereka apa yang aku lihat. Dan kami menemukan kalian di salah satu perusahaan expedisi di daerah pelabuhan. Pada saat kami datang, kami mencoba masuk dengan paksa ke dermaganya adalah pada saat kamu melindungi laki-laki itu. Kalian terjatuh dari pinggir dermaga.", jelasnya tanpa sedikit pun memandangku.

"Jadi memang benar temanku dan keluarganya yang selama ini mengincar nyawanya?"

Ia duduk ke atas kursi di sisi tempat tidurku. Menyodorkan gelas berisi air kepadaku sambil menggeleng. "Hanya orang tuanya. Laki-laki yang selalu kamu khawatirkan itu sudah mempunyai banyak bukti-bukti yang ia kumpulkan sendiri selama ini."

Yang jahat sudah terbongkar. Bahkan keluargaku pun juga ikut datang. Aku bahkan tidak dapat melihat seperti apa kondisinya.

———

Aku terbangun dan aku tidak tahu apakah matahari atau bulan yang sekarang berada di luar sana. Tirai jendelaku tertutup rapat. Tidak ada cahaya televisi yang menemaniku seperti biasa.

Aku ingin menegur malaikat yang selalu menjagaku setiap malam namun ia tidak ada di sisiku. Aku sendirian di dalam kamar rumah sakit ini.

Aku mencoba untuk duduk dengan perlahan. Berusaha agar setiap gerakanku tidak akan membuat selang di tangan kananku tercabut.

Kaki sudah menggelantung di sisi tempat tidur ketika pintu kamarku terbuka. Aku sudah menyiapkan setiap keluhanku karena aku yakin malaikat itu yang akan muncul di hadapanku. Namun setiap kata yang sudah aku siapkan itu terbang begitu saja dari pikiranku.

Aku melihat wajahnya dan rasa rindu itu muncul begitu saja. Aku melihatnya menatapku dengan wajah kesepiannya. Rasa kesepian itu muncul kembali di matanya dan aku semakin sedih.

Tidak ada kata-kata yang terucap. Aku terdiam. Mungkin karena kaget, mungkin karena aku terlalu mengharapkannya dan dia memilih untuk muncul di saat yang tidak aku sangka. Aku bahkan tidak menyadari aku sudah berdiri di atas kedua kakiku. Aku tidak menyadari aku sudah berdiri di hadapannya. Dan aku juga tidak menyadari aku sudah mengulurkan tanganku untuk menggapainya.

Wajahnya sedih itu tidak terlihat terluka sedikit pun. Wajah sedih itu tidak cacat sedikit pun. Aku merindukan senyumnya. Aku mencari seringai nakalnya.

Setanku...

Dia tidak menampik sentuhan tanganku di wajahnya. Dia hanya menolehkan wajahnya ke samping. Seakan ia memintaku untuk mengikuti arah pandangannya.

Tidak ada lagi dinding rumah sakit. Tidak ada lagi sofa-sofa tempat biasanya keluargaku duduk menungguiku. Tidak ada lagi televisi dan pantry ringkas di sisi sana. Kamarku sudah terbuka lebar. Menghadap pesisir pantai dengan pemandangan matahari tenggelam di ujung sana.

Aku tetap berdiri di tempatku. Melihat dengan jelas di depan sana.

Punggung tua itu berjalan menjauh dari kami. Seakan berjalan di atas air, punggung tua itu semakin menjauh menuju ke indahnya matahari terbenam di ujung lautan.

Hangat matahari terbenam itu menyentuh kulitku dan aku tahu, dia juga merasakan hal yang sama. Aku melihatnya masih tertuju ke punggung tua di depan sana. Aku melihat rasa sedih dan sepi di wajahnya. Tanganku menggenggam tangannya dan ia tetap memandang punggung tua itu.

Pada saat itu aku sudah tidak lagi berada di dalam kamar rumah sakit. Aku berdiri di sampingnya di pinggir pantai. Banyak orang bermunculan dan mereka memandang ke arah yang sama. Ada yang duduk di sepanjang pinggir pantai, ada yang memilih untuk berdiri, dan yang mendekat sampai ke pesisir pantai.

Punggung tua itu semakin menjauh tanpa melihat sedikit pun ke belakang.

Setitik air jatuh di atas tanganku yang tengah menggengam tangannya. Aku menunduk melihat tanganku. Bekas air di sana membuatku kembali memandang wajahnya. Aku melihat wajahnya tidak menangis. Namun aku melihat air matanya.

Air mata setan yang menetes turun.

Kedua mataku terbuka dan aku menemukan diriku sendiri tengah berbaring nyaman membelakangi jendela. Jari-jari tanganku merasakan lembab air dan aku terengah. Benar-benar terbangun kali ini.

Dengan rasa kantuk masih melekat di mataku, aku sedikit menaikkan kepalaku dan memandang sekitar kamarku. Hari masih siang. Tirai jendela terbuka lebar dan aku bisa melihat bangunan-bangunan di luar sana. Televisi masih menyala meski tidak dengan suara. Dan aku tidak menemukan satu orang pun di dalam ruanganku.

Aku perhatikan ujung tanganku yang basah sambil bangkit duduk.

Mimpiku...

Tanganku menyentak selimutku sampai terbuka lebar. Aku berusaha berdiri dengan satu tanganku memegang erat tiang infus yang masih terpasang di tanganku.

Kali ini aku harus menemuinya. Kali ini aku akan mencarinya. Siapa saja bisa menghalangiku bertemu dengannya. Tapi kali ini aku akan menemukannya.

Kakiku merasakan dinginnya lantai. Aku bergegas membuka pintu kamar.

Rasa pening mulai menguasai kepalaku. Tapi tekadku jauh lebih besar daripada itu. Tanganku menarik pintu kamarku sampai terbuka lebar dan aku dikejutkan banyak hal.

Dua orang laki-laki bertubuh tegap dengan seragam batik yang mereka kenakan, berdiri di samping pintuku. Mereka berbalik dan terlihat sama terkejutnya denganku.

Setanku berdiri beberapa langkah di depan mereka. Dengan supir tegap itu di belakangnya, dan beberapa ajudan dengan pakaian serba hitam yang sudah familiar di mataku.

Sorot mataku berhenti di dalam sorot matanya. Ia memakai pakaian santainya yang biasa aku lihat di kediamannya. Dengan lebam  di sisi wajahnya.

Waktu seakan terhenti.

Kali ini aku yakin semua ini bukan mimpi. Aku ingin melemparkan diriku kepadanya. Memeluknya erat dan menangis lega karena aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Namun kakiku seakan membeku di sini. Di tengah-tengah banyak pengawal yang memandangi kami, aku dan dia hanya terdiam.

"Aku akan bicara denganmu di dalam."

Suara beratnya terdengar serak. Supir tegap itu hendak menyodorkan tangannya. Mungkin untuk memapahnya masuk namun ia menolaknya.

Kakiku sudah melangkah selangkah untuk menangkapnya, namun ia menggeleng pelan.

Aku melihat tangan kananku sendiri tengah memegang tiang infus di sampingku dan aku hanya dapat tertawa kikuk.

"Aku lupa aku harus memegangi ini." Aku berjalan mundur kembali ke dalam ruanganku. Ia bergerak masuk tapi tidak sedikit pun ia mendekatiku.

Aku berhenti di tengah-tengah ruangan kamarku. Menunggunya untuk datang kepadaku. Menunggunya untuk memelukku. Tapi dia hanya berdiri di sana. Menyandar tubuhnya di belakang pintu yang sudah ia tutup rapat. Memandangku dengan wajah lebamnya.

"Aku selalu meminta untuk dapat bertemu denganmu.", bisikku. "Kamu baik-baik saja?"

Dengan menyeret tiang infus, aku kembali mencoba untuk mendekatinya. Tangan kiriku terulur dan ujung jariku mulai menyentuh jejak lebam di wajahnya. Bengkak di sisi yang lain wajahnya tidak terlalu besar.

"Sakit?", bisikku sementara kedua matanya masih menatapku lekat-lekat.

Ia tidak membalasku. Ia hanya diam. Membiarkan aku menyentuhnya.

"Aku merindukanmu.", bisikku. Aku mulai bingung dengan diamnya. Aku ingin ia juga mengatakan hal yang sama. Aku ingin dia memelukku dan menunjukkan kepadaku perasaan yang sama dengan yang aku rasakan.

Tangan kananku melepaskan peganganku dari tiang infus yang harus selalu mengikutiku. Aku merasa dadanya. Merasakan detak jantungnya di sana.

"Semua baik-baik saja? Aku selalu memikirkanmu. Aku berusaha untuk keluar mencarimu." Kali ini aku tidak lagi membisikkan perasaaanku. Aku memandangnya dan meminta ia menjawabku.

Namun dia hanya di sana. Berdiri bersandar pintu. Membiarkan aku menyentuhnya dan dia hanya memandangku dalam diam. Dalam sorot kesedihan dan kesepian yang ada di dalam matanya.

"Kenapa kamu hanya diam?" Aku menatapnya bingung. Dia masih setanku yang dulu. Ia berdiri nyata di hadapanku dan aku menyentuhnya. Bukan sekedar mimpi.

Tanganku masih di wajahnya. Tangan yang lain masih menyentuh detak jantungnya. Dan aku mulai merapat ke dalam kehangatan tubuhnya. Aku membutuhkannya.

"Aku baru saja bermimpi.", ucapku dengan perlahan.

"Tentang papamu." Aku mencari perubahan di wajahnya namun tidak ada. "Kamu harus cepat pergi menemuinya sebelum terlambat."

Pada saat itu aku melihatnya. Raut wajahnya berubah untuk sesaat. Lalu tangannya meraih kedua tanganku. Menurunkan tanganku dan membawanya menjauh darinya.

"Mereka sudah menangkap pelakunya. Kamu bisa pergi untuk menemui papamu.", ucapku sambil memandang gerakannya yang membingungkan.

Ia memegangi kedua tanganku di antara kami lalu mengangguk perlahan.

"Terima kasih." Dan seringai itu muncul di wajahnya.

Seringai yang aku kenali. Namun sorot matanya menatapku kosong. Ia menyeringai namun aku masih melihat rasa sepi di matanya.

"Kamu sudah menyelamatkan hidupku. Dan aku tahu ucapan terima kasih saja tidak akan cukup.", ucapnya dengan senyum di wajahnya.

Aku terkejut. "Apa maksudmu?" Aku mencari apa yang tengah terjadi kepadanya tapi ia memandangku sama seperti ketika kami pertama kali bertemu.

"Tugasmu sudah selesai.", ucapnya tenang.

Mulutku terbuka. Aku memandangnya dengan takjub. Bahkan tidak ada satu pun yang masuk ke dalam akal sehatku. Ia masih memegang tanganku dan meremasnya erat.

"Kedua orang tua temanmu sudah menjadi tersangka. Semua bukti yang ada menunjuk kepada mereka dan juga semua pelaku yang dibayar mereka juga sudah mengakui. Jadi tugasmu sudah selesai."

"Ta-tapi.. a-ak...." Tidak ada satu pun yang keluar dari bibirku. Ia sedikit mendorongku semakin menjauh darinya.

"Semua pengeluaran rumah sakit akan aku tanggung. Semua barang yang aku berikan kepadamu, sepenuhnya milikmu. Dan karena aku tahu kamu sudah menyelamatkanku beberapa kali, dan aku tahu semua yang aku berikan tidaklah cukup untuk membayar semua usaha dan pengorbananmu. Aku akan memberikan apa pun kompensasi yang kamu minta."

Caranya mengatakannya. Seringai itu. Ia berusaha melukaiku.

Melukai hatiku.

"A-aku..." Mataku berkedip berkali-kali. Aku  berusaha menahan air mataku. Aku merindukannya. Aku mengkhawatirkannya. Aku menginginkannya.

"....milikmu.", bisikku gemetar.

Ia melepaskan salah satu tanganku dan menarik kepalaku dengan cepat. Ia menunduk sementara ia menarik kepalaku ke hadapannya. Menempelkan bibir kami dengan cepat sampai aku hanya bisa merasakan jejak bibirnya saja di atas bibirku. Bibirnya melepaskan bibirku sama cepatnya dengan ia menempelkannya.

Dengan jarak sedekat itu, aku melihat jauh ke dalam matanya dan aku melihat kesungguhannya.

"Sama seperti dengan perempuan-perempuan lainnya.", desahnya di depan wajahku.

Air mataku menetes dan mengenai tangannya di sisi wajahku. Ia menarik tangannya dari wajahku.

"Aku menghargai totalitasmu menjagaku bahkan sampai ke tempat tidur. Maka dari itu aku berniat untuk memberikan kompensasi sebesar berapa pun yang kamu inginkan."

Ada sesuatu yang terjatuh di dalam diriku dan itu adalah jantungku. Ia melepaskan tangannya dariku. Memberikan jarak di antara kami dan aku tidak lagi merasakan kehangatan dan detak jantungnya di dalam tanganku.

Aku melihatnya di antara air mataku. Seringainya mengirisku.

"Benarkah? Kamu meninggalkanku?", bisikku dan aku menemukan diriku sendiri terdengar mengenaskan.

Ia mengangguk. "Semua sudah selesai. Aku harus pergi."

"Benarkah?", tanyaku sekali lagi. Kakiku melangkah merapatkan jarak kami. Tangan kananku bergerak di luar kendali. Aku memukulnya. Tanganku menempa dadanya. Dan aku melihatnya menyeringai.

"Benarkah?", tanyaku sekali lagi dan kali ini dengan isakku menyertai. Aku memukul dadanya lebih keras dari sebelumnya. Sekali lagi dengan penuh tenaga.

"Benarkah?", tanyaku sekali lagi dan kali ini aku memekik penuh tangis. Tanganku memukulinya berkali-kali. Ia tidak mengelak. Ia membiarkanku memukulinya dan rasa perih yang aku rasakan bukan lagi di dalam tubuhku tapi juga di tanganku, di sepanjang lenganku.

Tangisku menguasai emosiku. Aku menangis dan aku terjatuh berlutut di hadapannya. Tanganku berusaha untuk tetap memukulnya.

"Semua sudah selesai. Hubungi aku untuk mengganti semua yang sudah kamu korbankan untukku."

Telingaku menangkap suaranya. Tidak ada kehangatan di sana. Dan tangisku semakin meledak. Ia terus melukaiku di saat yang tidak aku harapkan. Sekujur tubuhku terasa sakit dan aku merasa lelah. Ia meremukkan hatiku dengan sadisnya.

Setan itu....

"Pergi dari sini!", pekikku di antara tangis. "Pergi dari sini karena semua sudah selesai!!", teriakku sekeras yang aku bisa.

Aku menangis dan dia hanya diam di sana. Aku menangis dan dia pergi. Aku menangis dan aku merasakan dia meninggalkanku tanpa ragu-ragu. Aku menangis dan pintu itu terbuka lalu menutup dengan tenang.

Rasa dingin yang sudah familiar menghampiriku. Aku menangis dan malaikat itu bersimpuh di sebelahku. Memelukku dan menangkap tanganku.

Rasa dinginnya merasuki tubuhku dan aku menangis semakin keras. Aku berharap rasa dinginnya membekukan seluruh perasaanku yang baru saja hancur berkeping-keping.

Malaikat memelukku, menarik tanganku.

"Darah bercucurkan dari tanganmu. Kamu membuat selang infusmu tercabut.", ucapnya dengan suara dinginnya. Suara dingin yang mengkhawatirkanku.

Aku masih menangis dan menangis. Ia mengangkatku dengan mudah. Aku bisa mencium bau darah di sekitarku tapi aku tidak mencium aroma setan itu di dalam ruanganku. Ia datang dan pergi dengan cepat. Datang dengan rasa rindu dan pergi dengan duka. Hanya tangisku yang dapat merasakannya.

Aku memeluk malaikatku erat-erat. Darah yang keluar, rasa sakit di tanganku, semua tidak dapat menggantikan apa yang hati ini rasakan.

"Ba-bawa aaku –per-pergi dar—sini."

Malaikat membaringkanku di atas tempat tidurku namun tanganku masih memeluknya erat. Aku merasakan beban tubuhnya di atas tubuhku. Aku membutuhkan rasa dingin itu untuk membekukanku. Aku ingin ia membekukan semua perasaan yang menyakitiku saat ini. Aku menangis dan tidak dapat berhenti. Aku menangis dan aku tidak bisa mengerti. Aku menangis dan marah.

Bisik dinginnya memenuhi telingaku namun yang aku tangisi adalah kehangatan yang meninggalkanku. Tanganku mencengkramnya, menarik rasa dinginnya untuk membekukanku namun kehangatan yang dulu aku rasakan, yang aku tangisi.

Aku menangis. Dan terus menangis sampai kegelapan memenuhiku dan menarikku jauh dari kenyataan.

The Girl Who Sees Dream : Aku melihat mimpi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang