Setan dengan nama Malaikat

168 11 1
                                    

Dia memberikan uang tips, dalam jumlah besar menurutku, ke dalam tangan room boy. Jadi, aku tidak dapat mengutarakan protesku begitu saja, sampai room boy yang tadi membantu membawakan barang-barangku, keluar dari kamar hotel yang aku pesan.

Dia bertingkah seperti dia akan menghuni kamar hotel ini bersamaku. Dan karena tingkahnya yang sama sekali tidak canggung, aku tidak mampu mengutarakannya di hadapan orang lain.

Akhirnya kami berdiri saling berhadapan di tengah-tengah kamar. Dia menatapku dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana. Tampilannya masih terlihat sama seperti pagi tadi. Seakan segala kejadian sepanjang hari tadi tidak sedikit pun mempengaruhinya.

Aku sempat melirik pantulan diriku sendiri di dalam ornamen cermin di belakangnya. Melihat betapa pucat dan lesunya wajahku.

Pada saat aku mendesah, dia mengeluarkan kedua tangannya dari saku celananya. Menarik sebuah dompet kulit dari saku belakang celananya. Aku mengamatinya mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompet tersebut.

"Simpan ini. Dan hubungi aku jika terjadi sesuatu."

Aku menerima kartu nama yang ia julurkan kepadaku. Mengamatinya lamat-lamat.

Kartu putih itu hanya bertuliskan nama lengkapnya. Tittle yang sudah ia capai, yang menunjukkan bahwa ia sempat bersekolah di luar negeri. Namun tidak ada alamat. Hanya ada tiga nomor telepon. Satu dengan kode negara Indonesia, satu dengan kode negara Amerika, satu dengan kode negara Inggris. Satu alamat email tertera di bagian paling bawah.

Hanya itu.

Perusahaan apa tempat orang ini bekerja?

Tadi aku melihat banyak nama perusahaan tertera di papan nama gedung perkantoran tempat laki-laki ini bekerja. Tapi aku tidak bisa memastikan dia bekerja sebagai apa dan di perusahaan apa. Aku juga tidak berniat untuk membuka mulutku untuk menanyakannya.

Aku masih berkutat memandangi kartu kecil itu dan dia sudah membuka mulutnya kembali.

"Berapa lama kamu akan tinggal di sini?", tanyanya memecahkan alam pikiranku.

"Minggu malam aku pulang.", jawabku cepat. Kami saling berpandangan kembali. Kilas ingatanku muncul pada saat ia tengah menatapku dalam diam. Tadi pagi aku memandang wajah di hadapanku ini dengan penuh amarah. Pagi tadi aku melihatnya masih berantakan. Dan sekarang aku melihatnya dalam kondisi rapi dan telah melalui dua kejadian berat.

Aku tersenyum kecil. "Thank you.", ucapku manis. Aku menelengkan kepalaku ke samping. Benar-benar tulus mengucapkannya. Bagaimana pun juga aku lega setan tampan ini baik-baik saja.

Kepalanya mengangguk kecil. Seakan ia hanya melakukan hal tak berarti.

"Aku harus istirahat. Bisakah..." Kalimat itu sengaja aku gantung. Seharusnya dia mengerti maksudku mengusirnya dengan halus. Aku amat sangat letih dan dia tidak akan pernah mengerti betapa letihnya aku setelah kejadian hari ini.

"Ya. Aku mengerti." Dia mengangguk-angguk setuju. Namun aku merasa dia melangkah menuju pintu kamar dengan berat hati.

Aku membuntutinya sampai di depan pintu. Dia berbalik begitu ia melangkah keluar dari kamar. Ia memandangku dengan ragu-ragu. Rasanya lucu melihat raut wajahnya yang aneh dengan pose seriusnya. Dengan kedua tangan kembali berkutat masuk di dalam saku celana, ia mengerutkan keningnya dan bertanya.

"Kamu akan menghubungiku jika terjadi apa-apa?"

Lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan. Dan aku tersenyum mendengarnya. Aku mengangguk perlahan sambil tersenyum geli.

"Tutup pintunya, lalu aku akan pergi dari sini.", perintahnya.

Aku terdiam. Dia membuatku merasa tidak enak hati. Ia ingin memastikan aku baik-baik saja. Dua kejadian tidak terduga itu membuatnya seperti ini. Membuatku seperti ini. Dari asing menjadi...membingungkan. Ada setitik rasa tidak pasti di sana.

The Girl Who Sees Dream : Aku melihat mimpi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang